Zibran hanya dapat terdiam, untuk kesekian kalinya ia tak dapat bertemu Kaffa. Langkahnya tertahan di depan pintu megah tersebut setelah kalimat umpatan dan tindakan kasar dari Elma diterimanya.
Berhari-hari telah berlalu semenjak kepergian Denia juga sejak fakta itu terungkap. Namun, Kaffa masih juga tidak pernah keluar dari kamarnya. Hal tersebut tentu saja membuat Zibran cemas akan keadaan putra semata wayangnya.
Zibran takut terjadi hal buruk pada Kaffa, ia takut bila kejadian ini berdampak buruk untuk mental Kaffa mengingat betapa Kaffa sangat terpukul akan kepergian Denia dan betapa mengejutkan fakta yang akhirnya terungkap. Bukan keinginan Zibran untuk membuat Kaffa mengetahuinya saat itu di saat putranya terluka hingga terguncang begitu hebat, ia tidak pernah bermaksud membuat Kaffa mengetahui segalanya terlebih dengan cara seperti ini.
Ia tidak pernah menyangka bila Kaffa akan mendengar apa yang ia katakan, melihat perdebatan dirinya dan Elma saat itu hingga putranya kehilangan kesadaran.
"Maafkan, Ayah." Zibran meluruh, bersimpuh di depan pintu rumah yang tidak pernah terbuka untuknya. Sesak menghimpit, hatinya berdenyut pilu. Tatapan Kaffa yang menatapnya saat itu membuatnya benar-benar hancur, saat di mana Kaffa hanya memandangnya dengan tatapan kosong tanpa ingin disentuh membuat Zibran memaki dirinya sendiri yang terlalu bodoh mengatakan siapa dirinya.
Seandainya saja ia tidak mengatakan apa pun, memilih pergi begitu Elma mengusirnya maka semua tidak akan terjadi. Luka yang dirasakan Kaffa pasti tidak akan separah ini, putranya tidak akan terluka lebih parah dan ia akan tetap dapat bersama Kaffa.
Namun, seandainya dan perandaian lain sama sekali tidaklah berguna. Segalanya telah terjadi dan tak dapat disesali meski memohon untuk kesempatan agar dapat memperbaiki.
***
"Ibu, apa yang harus aku lakukan?" Kaffa bertanya pelan sembari mengusap bingkai kaca yang selama ini berada dalam dekapannya.
Tidak ada seorang pun dapat mengetahui tentang apa yang akan terjadi ke depannya. Termasuk Kaffa, ia tak pernah menyangka akan berpisah secepat ini dengan ibunya. Pelukan hangat kecupan lembut serta merdu suara sang ibu kini tidak akan dapat lagi di dengarnya, meski ia memohon.
Tak pernah terbayang olehnya bila akan menyaksikan bagaimana wanita yang paling ia sayangi dimasukkan ke dalam liang lahat, menyatu dengan tanah dan tidak akan pernah ia peluk lagi untuk selamanya. Sakit. Semua teramat mengejutkan untuknya, bagaimana bisa ibunya pergi secepat ini?
Pagi itu semuanya baik-baik saja. Sang ibu masih tersenyum padanya, memeluk seusai mendaratkan kecupan, berjanji akan berteriak paling heboh saat dirinya berhasil memenangkan pertandingan. Namun, jangankan berteriak. Untuk membuka mata saja ibunya tidak lagi mampu.
"Ibu." Suaranya tercekat, kembali air mata meluruh kala rasa rindu tak mampu terbendung. Ia terisak kembali mendekap bingkai foto yang mengabadikan wajah ibunya di sana, senyum yang tidak akan pernah ia lihat lagi secara nyata.
"Kaf, cukup, Nak!"
Kaffa menghela napas pada akhirnya ia beranjak membuka pintu kamarnya setelah selama ini hanya bergeming dan mengabaikan sesorang dibalik pintu yang kembali mengetuk pintu kamarnya. Tanpa ada niat dari Kaffa untuk membukanya, ia masih belum ingin memberi celah bagi siapa pun untuk berada di sampingnya hingga saat ini.
Dirinya lebih memilih diam bersama dukanya saat ini tanpa seseorang harus melihat pilu isak tangisnya, ia butuh waktu untuk sendiri menerima dan memahami segalanya tentang kepergian ibunya dan sebuah fakta yang kini terungkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope (End)
General FictionHarapnya tidak banyak. Mimpinya tidaklah besar, serta angannya sederhana. Ia tak banyak meminta. Satu harapnya, hanya ingin bersama seseorang yang telah ia rindukan. Cover By: @Ramviari.