13 || Pengecut

1.3K 133 11
                                        

Zibran kembali mendapatkan penolakan keras dari Elma untuk kesekian kalinya. Bila di sekolah dirinya tak dapat mendekati Kaffa karena penolakan anak tersebut, maka ia berharap bantuan dari Elma dapat membantu agar Kaffa menerinanya, meski harus memohon pada Elma hingga mendapat perlakuan kasar dari wanita tersebut Zibran tak ingin menyerah.

Setelah bertahun-tahun ia menahan rindu pada putranya, mana mungkin ia dapat kembali melepasnya. Terlebih tanpa adanya Denia sekarang, bagaimana bisa Zibran mengalah akan keadaaan?

"Seharusnya kamu sadar diri dengan Kaffa menjauhi kamu, itu artinya dia menolak kamu sebagai ayahnya. Jadi sebaiknya kamu pergi dari dia jangan, ganggu dis lagi!" Elma lagi-lagi menepis tangan Zibran dengan kasar, mendorong pria yang kini selalu mengusiknya.

"Bu,  Kaffa anak saya. Saya berhak untuknya dan tolong ijinkan dia sama saya, Bu, dia butuh orang tua untuk merawatnya."

"Kamu pikir saya tidak bisa merawatnya? Kamu lupa dia hidup dengan saya selama ini, tanpa ayahnya!"

"Itu karena Ibu yang menyuruh saya pergi! Saya tidak akan meninggalkan Denia jika bukan karena Ibu, dan Kaffa tidak akan terluka seperti ini jika Ibu tidak egois!" Napas Zibran memburu setelah rentetan kalimatnya, jengah akan sikap ibu dari Denia yang selalu memperlakukannya seperti ini.

Hampir setiap hari ia selalu datang memohon kemurahan hati Elma, bersimpuh padanya, membuang harga diri demi mendapatkan belas kasih. Namun, hati wanita tersebut layaknya  batu. Keras.

"Jaga mulut kamu!"

"Jaga mulut saya? Ibu ingin apa? Dihormati? Ibu sudah keter-"

"Pergi, sebelum saya melaporkanmu ke polisi!" sela Elma melayangkan tamparan keras pada Zibran sebelum masuk ke rumahnya, membanting pintu di hadapan Zibran yang hanya dapat  menumpahkan tangisnya.

Zibran beranjak, melangkah mundur meninggalkan tempat tersebut dengan asa yang kembali pupus untuk malam ini.  Lagi dan lagi ia harus gagal, bahkan mungkin setelah ini akan lebih sulit lagi untuk ia dapat memohon.

Frustrasi, Zibran menendang udara hampa sembari berteriak. Masa bodoh bila akan ada orang yang terusik akan kelakuannya saat ini. Ia benar-benar tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya demi mendapatkan Kaffa.

***

"Bodoh!" Kaffa berucap pelan melihat tingkah pria yang tak ubahnya orang gila di sana, berteriak hingga mengusap wajahnya dengan kasar dengan isakan pilu yang membuat dadanya serasa sesak.

Ia menghela napas, mencoba menguarkan sesak yang membelenggu. Untuk kesekian kalinya ia harus melihat hal seperti ini setiap malam, di mana perdebatan neneknya dan Zibran dipertontonkan.

Kedua orang dewasa itu mungkin berpikir Kaffa tak pernah melihatnya, beranggapan bila Kaffa belum kembali dari bermain basket seperti biasa. Mereka salah, entah sejak kapan Kaffa mulai tertarik menyaksikan adegan tersebut. Mendengar bagaimana interaksi tak bersahabat di antara keduanya hingga perlahan Kaffa dapat memahami segalanya lebih jelas.

Ada dua cerita berbeda yang di dengarnya. Selama ini ia tahu bila ayahnya pergi begitu saja tanpa pamit meniggalkan mereka, tapi kini ia tahu bila kepergian ayahnya bukanlah tanpa alasan. Kaffa memahaminya sekarang, bersama rasa kecewa yang dalam pada kedua orang dewasa tersebut.

Neneknya yang egois. Ia tidak pernah menyangka bila penyebab dirinya tak pernah merasakan dekap sang ayah hingga membuat ibunya berjuang membesarkannya seorang diri, selama ini adalah ulah Elma. Dan dengan tenangnya membuat ayahnya dianggap jahat.

Sementara Zibran, pria itu benar-benar pengecut.  Kaffa masih tak percaya akan apa yang dikatakan Firza padanya beberapa waktu lalu, tentang bagaimana Zibran mengawasinya diam-diam selama ini, mengenai bagaimana Zibran mencoba mendekat tanpa ingin mengungkap siapa dirinya.

"Ibu ...." Kaffa terisak, memukuli dadanya yang terasa sesak. Di balik pohon dan di bawah gelapnya malam ia menangis pilu. Mengapa orang dewasa begitu jahat dan egois? Kenapa tuhan mempermainkannya seperti ini? 

Mengapa Zibran tidak mengatakan segalanya dari awal, mengapa begitu pengecut hingga membuat ia mengetahui segalanya seperti ini? Sampai kapan ia akan terus dibohongi?

Isak tangis Kaffa kian pecah, ia sesegukkan hingga merasa sesak kian menyerangnya sampai kesulitan bernapas. Kaffa merunduk meremat dadanya hingga akhirnya meluruh, setelahnya ia tak merasakan apa pun lagi,  gelap mengambil alih kesadarannya.

***

Zibran tak dapat terpejam, bahkan untuk berkedip pun tidak. Pandangannya  terkunci pada pemuda pucat yang terbaring lemah di hadapannya dengan jarum infus yang menghias punggung tangan putranya.

Ia sempat merasakan ketakutan menyerangnya dengan luar biasa mendapati putranya tak sadarkan diri di balik pohon yang gelap. Entah apa yang terjadi bila dirinya saat itu mengabaikan rasa penasarannya akan suara samar di balik pohon yang di dengarnya saat itu, apa yang akan terjadi pada Kaffa bila dirinya tak ada?

"Nak ...." Zibran mengusap lembut wajah Kaffa, sensasi panas itu masih menjalar di punggung tangannya, meski tidak separah beberapa jam lalu.

Mendapati Kaffa tak sadarkan diri di tempat itu membuat dirinya panik luar biasa, dengan cepat ia mengangkat tubuh putranya, dan membawanya menuju rumah sakit terdekat saat merasakan suhu tubuh Kaffa di atas normal.

"Apa Ayah melukaimu terlalu parah?" tanya Zibran menggenggam tangan Kaffa. "Sampai kamu kesakitan seperti ini?  Berapa lama kamu di sana? Seberapa keras kamu menangis hingga seperti ini?"

Zibran tak sanggup lagi membendung air matanya. Ia terisak di hadapan Kaffa sambil terus menggumankan kata maaf berulang kali sambil menggenggam tanggan Kaffa erat.

"Pergi!" Zibran terhenyak, tangan yang berada dalam genggamannya terlepas begitu saja. Sendu, ia menatap Kaffa yang dengan cepat memalingkan wajah darinya.

Kaffa tak mendengar kata apa pun dari Zibran. Hanya helaan napas kasar dan dan derit kursi yang di dengarnya, lalu tangan yang mengusap rambutnya dengan lembut.

"Ayah akan menjagamu di luar, beristirahatlah."

Kaffa tak menanggapi kalimat Zibran, ia hanya diam membiarkan pria tersebut perlahan menjauh meninggalkannya seorang diri di dalam ruangan yang asing menurutnya.

"Pengecut!" desis Kaffa saat Zibran benar-benar akan meninggalkan tersebut.

Satu kata tersebut berhasil membuat langkah Zibran terhenti dan kalimat Kaffa setelahnya mampu menjatuhkan air mata Zibran dengan begitu parah. 

"Jangan menjagaku di luar, aku tidak mempunyai ayah yang pengecut seperti Bapak."

Zibran tak dapat membalas kalimat tersebut, apa yang dikatakan putranya benar adanya. Langkahnya pun kembali ia ayunkan meninggalkan ruangan tersebut seutunya terisak di balik pintu begitu parah.

"Dasar, pengecut! Kubilang jangan menjagaku di luar, mengapa Bapak tidak paham?" tanya Kaffa menatap pintu ruangannya yang kini tertutup. Ia terisak seorang diri dengan pilu yang menyerang batinnya.

"A-yah. Aku ingin Ayah di sini."

_____________________________________

A Little Hope (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang