Zibran mencoba tetap tenang, sambil terus berseru memberi arahan dan semangat pada para pemuda yang berada di lapangan.
Saat ini tim asuhannya kembali tertinggal beberapa poin, lawan yang dihadapi tim asuhannya kali ini benar-benar tangguh. Perolehan angka di antara kedua tim saling mengejar satu sama lain, seakan tak ada yang ingin mengalah dalam pertandingan.
Babak pertama baru berjalan beberapa menit lalu, tapi kedua tim telah saling beradu sengit. Selisih poin yang cukup di antara keduanya semakin menambah keseruan dalam jalannya pertandingan kali ini.
Riuh suara para penonton di tribun pun semakin menggema, berteriak menyerukan jagoan masing-masing dengan lantang guna memberikan semangat.
"Yoshhh!" Zibran tersenyum lebar, ia mengacungkan jempul begitu timnya kembali mendapatkan angka hingga berhasil mengejar ketertinggalan.
"Yo, semangat!" serunya dengan lantang pada seluruh pemainnya. Tapi di antara, kelima pemuda tersebut hanya ada seseorang yang selalu menjadi fokusnya
Bukan karena status di antara mereka, melainkan beberapa kejanggalan yang dapat ia tangkap. Kaffa tidak bermain seperti biasanya, anak itu bahkan kerap kali melakukan kesalahan dan juga langkah putranya tampak aneh.
"Kaffa!"
Baru saja Zibran memikirkannya, putranya itu kini telah tejatuh di tengah lapangan. Zibran tanpa menunggu segera berlari ke dalam lapangan, mengabaikan aturan yang ada.
Seruan dan tindakan Zibran membuat jalannya pertandingan terhenti, Firza yang memegang kendali akan bola basket itu tak lagi peduli akan sekelilingnya. Ia melangkah lebar menghampiri Kaffa dan Zibran sama seperti pemain lainnya.
"Ka- kakiku tidak bisa digerakkan, Ayah!" Firza melebarkan matanya, cukup terkejut akan kalimat yang Kaffa ucapkan pada Zibran telah berada di sampingnya.
Tak hanya Kaffa tampak menitihkan air matanya, ia menggengam tangan Zibran dengan erat yang membuat Firza terkejut dan khawatir, tapi melihat bagaiman air seni sahabatnya itu keluar dan membasahi lapangan hingga membuat orang-orang di sekitarnya memekik dengan berbagai ekspresi.
"Pak-"
"Kamu bisa mengatur jalannya pertandingan ini?" tanya Zibran menyela kalimat Firza. Ia terpaksa mengambil jarak membiarkan tim medis yang datang mengambil alih posisinya untuk memberi penanganan pada Kaffa.
Firza hanya dapat mengangguk, ia masih tenggelam akan keterkejutannya. Pandangan matanya terus memandang kepergian Zibran yang menggedong Kaffa pergi bersama tim medis. Kaffa benar-benar kacau, anak itu menolak dibawa dengan tandu dan memeluk Zibran dengan erat.
"Apa yang terjadi dengannya? Aneh sekali?"
"Dia baik-baik saja?"
"Ya ampun, jorok sekali. Bagaimana dia bisa buang air begitu saja?"
"Tapi, Sepertinya dia sakit parah-"
"Diam!" Firza berteriak, membentak dan menatap tajam orang-orang disekitarnya. "Tutup mulut kalian, atau akan kubuat kalian tidak bisa lagi untuk berbicara."
Firza meninggalkan kerumunan itu begitu saja, menghempaskan diri pada bangku panjang di sisi lapangan sambil mengacak-acak rambutnya. Bila saja Zibran tak memintanya untuk mengatur jalannya pertandingan maka ia telah meninggalkan tempat inI sekarang juga.
Ia benar-benar cemas, kalimat yang diucapkan Kaffa membuatnya benar-benar takut akan keadaan sahabatnya tersebut. Ada apa dengan kakinya? Mengapa sampai Kaffa menjadi seperti ini? Apa yang salah padanya?
Firza menunduk meremat rambutnya dengan kuat, berharap segalanya baik-baik saja. Sahabat yang telah ia anggap adiknya sendiri baru saja menata hidupnya bersama sang ayah, ia telah cukup tersiksa selama ini, jangan sampai terjadi hal buruk padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope (End)
General FictionHarapnya tidak banyak. Mimpinya tidaklah besar, serta angannya sederhana. Ia tak banyak meminta. Satu harapnya, hanya ingin bersama seseorang yang telah ia rindukan. Cover By: @Ramviari.