Kaffa mengarkan dengan saksama setiap kalimat yang diucapkan sang ayah dengan sangat hati-hati seakan takut bila rangkaian kalimat itu akan melukainya. Padalah, tanpa Zibran ketahui, bukan penuturannyalah yang telah membuat hati Kaffa begitu hancur. Tetapi, bagaimana Zibran begitu terluka saat ini.
"Ayah." Kaffa mengeratkan genggaman tangannya pada ayahnya. Memaksa Zibran untuk menatap matanya yang sejak tadi seolah dihindari oleh Zibran.
"Tidak apa-apa, aku bisa melewatinya. Semua baik-baik saja."
Zibran tercenung. Kaffa tersenyum dengan begitu lebarnya seakan semua baik-baik saja, putranya tampak begitu tenang mendengar setelah mendengar penjelasan akan kondisinya. "Kaffa," ucapnya pelan menatap Kaffa lekat.
"Aku sudah menduganya he-he-he, jadi tidak terlalu mengejutkan. Awalnya setelah final nanti mau melakukan pemeriksaan untuk memastikannya, tapi ternyata tidak sempat sampai final," jelas Kaffa dengan tenang.
Tak ada kebohongan dalam setiap kalimatnya, semenjak ia mengompol tanpa sengaja kala itu, ia telah mencari tahu segalanya. Awalnya tentu ia tak percaya akan segala macam artikel yang dibacanya, tapi gejala dan semua hal yang ia alami merajuk pada jawaban pasti, paraplegia.
Kaffa tentu tahu ada yang salah akan dirinya, tapi ia tak ingin siapa pun tahu. Ia tak ingin kebahagiaan keluarganya yang baru saja ia rangkai terusik dengan segala macam keluhannya. Akan tetapi, sepandai apa pun dirinya mencoba untuk menutupi pada akhirnya semua akan terkuak. Padahal Kaffa benar-benar berharap kakinya akan sanggup untuk bertahan hingga ia behasil memberikan piala untuk sekolahnya.
"Bagaimana bisa kamu menutupinya selama ini, kita akan dapat menanganinya lebih awal bila tahu segalanya lebih cepat."
"Tidak, Ayah, cepat atau lambat segalanya akan tetap sama. Bila aku mengatakannya sejak awal, maka semuanya akan lebih cepat pula. Ayah akan kepilkiran sama penyakitku, mencari cara bagaimana agar aku sembuh sampai lupa bagiamana caranya tersenyum, seperti ini, iya kan?"
Kaffa berdecak, ia mendengus melihat ayahnya yang hanya dapat diam tanpa berkata apa pun membuat Kaffa memilih kembali melanjutkan kalimatnya, "dua bulan itu adalah saat di mana aku ingin merasakan kebahagiaan bersama Ayah, tanpa memikirkan apa pun. Karena aku tahu setelah semuanya terungkap segalanya akan seperti ini, Ayah akan-"
"Jangan seperti ini, Nak."
Kaffa mengernyit tipis, membalas pelukan tiba-tiba dari Zibran. "Apa?" tanyanya.
"Tidak seharusnya Kamu memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Katakan sakit bila itu yang kamu rasakan, mengeluhlah seperti anak-anak lain. Jangan memikirkan hal-hal lainya. Jangan menjadi dewasa, sebelum Ayah."
Zibran melepaskan dekapannya dari Kaffa, memandang putranya lamat sembari menggenggam tangannya. Putranya terlampau jauh untuk melangkah, tak sepantasnya anak lima belas tahun tersebut memikirkan segala hal terlalu jauh. Mencoba mengatasi hal rumit seorang diri seperti ini, dengan sikap dewasanya.
Ia ingin Kaffa yang bersikap layaknya anak lima belas tahun lainya. Yang masih kekanak-kanakanan, manja dan keras kepala. Bukan Kaffa yang tenang dengan segala pemikiran ke depannya, bukan Kaffa yang bersikap segalanya dapat ia tangani sendiri. Bahkan ia ingin melihat Kaffa menangis saat ini, guna menumpahkan laranya akan vonis dokter.
"Ayah belum siap dengan kedewasaanmu saat ini."
Tawa Kaffa sontak pecah setelah kalimat ayahnya terucap, ia terbahak dengan keras hingga membuat Zibran memasang wajah bingung membuat Kaffa semakin tak mampu menahan gelak tawanya. Ayahnya benar-benar lucu, di saat orang tua lainnya menginginkan putranya untuk bersikap dewasa, ia malah diminta untuk bersikap manja.
"Aku tidak memaksakan diri, aku sungguh baik-baik saja, ayah tidak perlu khawatir bila aku akan dewasa lebih dulu dibanding Ayah, karena aku sebenarnya masih ingin bermanja-manja dengan Ayah," ujar Kaffa dengan senyum manisnya, ia pun memeluk ayahnya dengan erat begitu manja.
Zibran kehilangan kata, ia tak dapat mengatakan apa pun. Putranya kembali berhasil membuatnya tak dapat berkutik akan sikap dan kedewasaan anaknya tersebut. Berbanding terbalik dengan dirinya, sunguh hal tersebut membuat Zibran merasa gagal sebagai orang tua. Bila putranya lebih dewas, lantas apa gunanya ia?
***
"Kamu seharusnya bersyukur memliki putra seperti itu, bagamaina bisa kamu malah ingin ia menjadi anak yang manja."
Zibran menaruh kembali gelas kopinya ke atas meja setelah ia seruput, lalu menatap Elma yang berada di hadapannya.
Saat ini keduanya tengah berada di kantin rumah sakit, Kaffa menyuruh keduanya untuk makan malam lebih dulu dan juga memberi ruang agar dapat berbicara dengan Firza.
"Aku hanya merasa tidak berguna sebagai Ayah, bukannya aku yang menguatkannya, tapi malah sebaliknya."
Elma tergelak mendengar penuturan Zibran, tapi dibalik senyumnya ia pun merasakan hal yang sama. Dirinya merasa tak berguna dan benar-benar lemah. Ia begitu terpukul akan vonis yang diterima Kaffa saat anak itu dengan tenang menjelaskan segalanya, ia sampai terisak, tapi justeru Kaffa yang malah menguatkannya.
"Dasar bodoh, kamu pikir Kaffa bersikap seperti itu karena apa? Untuk siapa?" tanya Elma, ia berdecak melihat Zibran yang masih tak juga memahami. "Ia kuat untukmu, kamu adalah alasannya untuk bertahan."
Zibran tercenung, cukup lama terdiam sampai akhirnya nemahami segala kalimat Elma.
"Untungnya Kaffa mewarisi kecerdasan ibunya, bukan otak dangkalmu."
"Astaga, Ibu kasar sekali," cebik Zibran yang memilih kembali menyesap kopinya dan membiarkan Elma melanjutkan makannya.
Hening mengambil alih untuk beberapa saat, sampai tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar.
"Kaffa," ucapnya pada Elma yang memandangnya penuh tanya, ia pun segera menjawab pangilan putranya.
"Ada apa, Nak?" tanya Zibran langsung, "Apa? Ayah segera ke sana, kamu tenang, hmm."
Zibran segera beranjak dari duduknya begitu usai mematikan sambungan ponselnya.
"Ada apa?" Elma memandang Zibran panik.
"Kaffa-"
________________________________
Yeayyy dobel up. Sebagai hadiah tahun baru...
Salam sayang dari..
-Kaffa Al Zikra-
Dan.....
-Zibran Milady-
Happy New Year.. Sampai jumpa tahun depan..
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope (End)
Ficción GeneralHarapnya tidak banyak. Mimpinya tidaklah besar, serta angannya sederhana. Ia tak banyak meminta. Satu harapnya, hanya ingin bersama seseorang yang telah ia rindukan. Cover By: @Ramviari.