1|| Kesempatan

11.5K 438 18
                                    

Langkahnya terayun cepat berlari memasuki bangunan megah di hadapannya dengan terburu. Ia berburu waktu, dalam hati ia merutuki kebodohannya yang bangun kesiangan.

Semalam ia tidak dapat terlelap sama sekali. Semangatnya yang menggebu akan angannya selama bertahun-tahun akhirnya dapat terwujud. Membuat tak dapat terpejam, kesempatan emas yang didapat membuatnya benar-benar bahagia. Hingga berbagai rencana indah pun telah terangkai.

Langkah lebarnya mendadak terhenti, tujuannya untuk segera menuju ruang kepala sekolah terjeda. Mendadak ia terpaku di tempatnya saat mendengar gelak tawa yang dikenalnya, ritme jantungnya mendadak menjadi kacau seketika saat jarak di antara mereka kian terkikis.

Untuk beberapa detik ia terpaku saat dirinya berada begitu dekat dengan pemuda tersebut. Hingga anak itu kembali jauh dari pandangannya. Melewati dirinya begitu saja, berlari meniggalkannya yang masih tertegun.

***

Sejak memasuki ruang olahraga tersebut perhatiannya langsung tertuju pada seorang siswa yang tengah men-dribble bola. Fokusnya terkunci pada anak yang tengah bermain penuh semangat.

Hingga pada akhirnya perhatiannya teralih saat tepukan di pundaknya membawa kembali kesadaran yang sempat tenggelam akan lamunan. Ia beralih menatap Bayu setelah menguap jejak air mata yang tak sanggup ia bendung.

"Kamu akan bersamanya lebih lama mulai sekarang, Zib, tanpa harus bersembunyi lagi."

Zibran mengangguk dan mengikuti Bayu duduk pada bangku yang tersedia di sisi lapangan. Kembali ia mengucapkan terima kasih pada Bayu yang telah memberinya untuk berada di tempat ini.

"Aku hanya dapat melakukan ini, Zib. Bahkan sudah sangat terlambat, seharusnya kamu menemuiku lebih awal dan mengatakannya, aku pasti akan membantumu lebih cepat," ujar Bayu.

Zibran menghela napas, pandangannya kembali tertuju pada anak yang berada di lapangan tersebut. Benar apa yang dikatakan Bayu, jika saja ia menemuinya lebih cepat kemungkinan untuk lebih dekat dengan putranya tak akan lebih mudah.

Bukan ia tak ingin berupaya untuk dapat lebih dekat dengan anaknnya. Namun,  tak ada jalan untuknya. Ia terlalu malu untuk memunculkan diri di hadapan teman masa SMA-nya dulu. Ia juga takut bila jarak dia dan putranya akan semakin jauh saat orang-orang tahu bila ia mengawasi Kaffa secara diam-diam.  Melanggar titah dari mertuanya untuk pergi dan tidak mendekati anaknya sendiri.

Sampai pada saat pertemuannya dengan Bayu tanpa sengaja seminggu lalu pada saat ia menonton pertandingan Kaffa. Ia mencoba menghindar dari Bayu, tapi temannya itu menahan dan menuntut banyak penjelasan.

Beberapa hari setelahnya Bayu kembali menemuinya, menawarkan kesempatan untuk dapat lebih dekat dengan Kaffa. Zibran tentu tak menolak akan hal tersebut, ia meninggalkan pekerjaannya demi dapat bersama anaknya.

"Pasti sangat berat untukmu, bukan?" Zibran mengangguk menjawab jujur pertanyaannya Bayu.

"Maafkan aku, Zib. Jika saja saat itu aku dan yang lain-"

"Semua sudah terjadi, Kak. Lagipula itu kesalahanku. Aku terlalu bodoh saat itu," ujar Zibran menyela kalimat Bayu yang selalu menyalahkan dirinya. "Sekarang aku hanya ingin jadi ayah yang baik untuk Kaffa dan menebus kesalahanku pada Denia."

"Aku akan membantumu!" seru Bayu, tapi Zibran menggeleng tegas.

"Semua masalahku, yang Kak Bay lakukan sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Kak."

Bayu tidak dapat lagi mengatakan apa pun, pria di sampingnya telah sangat dewasa. Berbeda dengan lima belas tahun lalu. Mungkin keadaanlah yang telah membuat Zibran yang keras kepala dan polos kini menjadi seperti sekarang.

"Tapi jangan lupa tugasmu di sini. Kamu adalah pelatih mereka sekarang, tak hanya sebagai ayah Kaffa. Jangan sampai kehilangan kesempatanmu karena hanya fokus dengannya." Bayu menasihati.

"Tenang saja, aku tahu apa yang kulakukan," tanggap Zibran dengan tenang. 

Setelahnya tak ada lagi perbincangan di antara keduanya. Perhatian mereka tertuju pada para pemuda yang bersemangat di lapangan, hingga pada akhirnya para pemuda itu datang pada mereka usai bermain.

Zibran sontak berdiri dari duduknya, di hadapannya ada Kaffa yang wajahnya telah basah oleh keringat. Helaan napas lelah putranya pun dapat ia dengar.

"Duduk-" Kalimat Zibran terjeda. Bayu tanpa ijin mencubit pinggangnya dan menatapnya sekilas.

"Kenalkan dia Pak Zibran, pelatih baru kalian."

Kaku sampai salah tingkah, Zibran memperkenalkan diri pada semuanya dengan mengenggam satu per satu tangan para anggota tim basket penuh semangat bahkan memeluk mereka.

Bayu yang melihatnya hanya dapat mengeleng, anggapannya bila Zibran semakin dewasa ternyata salah. Zibran masih sangat polos.

***

Zibran tak peduli akan tanggapan para pemuda tersebut. Ia puas setelah menggenggam tangan dan memeluk putranya, lagipula ia telah berlaku adil pada semuanya. 

Senyumnya sejak saat itu tidak pernah luntur, ia selalu tersenyum sepanjang  hari layaknya orang yang kehilangan akal. Membuat Bayu turut tersenyum melihat betapa bahagia Zibran saat ini.

"Tidak sampai seminggu, kamu akan kehilangan kesempatanmu," ujar Bayu membuat Zibran menatapnya. "Kamu akan gila kalau terus seperti ini. Kendalikan dirimu, Zib."

"Aku terlalu senang, Kak. Lima belas tahun sejak ia lahir aku tidak pernah melakukannya. Ini untuk pertama kalinya!" seru Zibran penuh semangat membuat orang-orang di sekitar mereka terusik.

Saat ini kedua pria tersebut tengah berada di warung makan pinggir jalan yang cukup ramai untuk makan siang. Zibran mengajak Bayu untuk makan bersama, sebagai ucapan terima kasih perayaan akan apa yang terjadi hari ini.

"Besok aku akan mengajaknya pulang bersama," ujar Zibran penuh semangat. 

"Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan, dia anakmu."

Zibran tersenyum senang mendengar kalimat Bayu.  Pria tiga puluh tahun tersebut benar-benar bahagia hari ini, akhirnya angannya bertahun-tahun dapat tercapai.


___________________________

Assalamualaikum.

Aku bawa kisah ayah dan anak yang akan menemani hari kalian. Jangan lupa tinggalkan jejak yah.   

A Little Hope (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang