chapter II

411 34 9
                                    

Beberapa orang pria dan wanita dengan pakaian khas pendaki lengkap dengan ransel besar dipunggung masing-masing terlihat baru saja keluar dari sebuah restoran di dekat titik akhir jalur keluar pendakian.
Mereka kini nampak tengah saling bersalaman, beberapa juga saling berpelukan singkat sebelum memutuskan berpisah.
Termasuk seorang laki-laki dengan jaket berwarna biru yang berjalan memisahkan diri sambil masih melambaikan tangan pada beberapa orang yang mengambil arah jalan berbeda.

Setelah perjalanan yang memakan waktu hampir tiga setengah jam,
Pria itu berjalan tergesa memasuki gedung apartemen tempat tinggalnya begitu turun dari bus, menekan angka 7 pada deretan tombol lift gedung itu.
Hanya ada dia sendiri, perlahan dia turunkan ransel yang sepertinya berat dari pundak, meletakkannya di lantai dekat kaki lalu menyandarkan punggung pada dinding lift.

Pria itu hanya menyeret ranselnya asal begitu pintu lift terbuka, berjalan menyusuri lorong hingga berhenti didepan pintu 1022. Menekan beberapa digit angka disusul bunyi kunci pintu terbuka otomatis.
Ia melangkah masuk kedalam ruang apartemen yang gelap gulita dengan aroma sedikit pengap karena sudah dia tinggalkan beberapa hari ini.

Dengan santai pria itu berjalan menyusuri kegelapan ruangan, menekan saklar lampu yang tak perlu susah payah mencari letaknya. Ransel yang ia bawa dibiarkan begitu saja masih tergeletak di dekat pintu utama.
Memilih memasuki kamar langsung ke kamar mandi.

30 menit kemudian dia keluar dengan tampilan lebih segar, sudah berganti dengan kaos hitam tanpa lengan dan boxer selutut. Sisa air masih terlihat menetes dari rambut basarnya yang memang sudah agak memanjang.
Sambil menggosok pelan rambutnya menggunakan handuk kecil pria itu kembali berjalan keluar kamar, mengambil ransel yang tadi terbengkalai. Merogoh salah satu saku ransel itu, mengeluarkan benda pipih persegi panjang kemudian menekan tombol power.
Begitu benda itu menyala tak lama bunyi notifikasi berhamburan saling menyahut, namun pria itu hanya mengeceknya sekilas lalu meletakkan smartphone nya diatas meja makan.

Setelah mengambil sebotol air minum dari kulkas dia meraih kembali ponselnya, berjalan keluar dapur menuju ruang duduk. Menyalakan TV begitu menghempaskan bokong di sofa, Meneguk air dari botol sembari kembali mengecek deretan pesan masuk dan panggilan tak terjawab di ponselnya.

Pria itu hanya menyeringai samar melihat rentetan missed call dan pesan yang berjumlah puluhan, ia memutuskan mengecek daftar panggilan terlebih dahulu yang sebagian besar diisi oleh nama kontak yang sama milik kakak laki-lakinya. Alis kiri pria itu agak terangkat menemukan satu nama berbeda menyempil diantara rentetan missed call.
Tanpa pikir panjang ia menekan ikon memanggil.

"Biiin...." pekikan nyaring seorang wanita langsung terdengar begitu panggilan terhubung, Pria itu tersenyum simpul kemudian kembali meneguk air minumnya.

"Hm..."

"kemana saja astaga..."

"Aku baru kembali..."

"Demen banget sih berhari-hari nginep di gunung " mendengar suara menggerutu diseberang pria itu hanya terkekeh pelan.

"Biasanya juga gitu kan, ada apa?"

"Jangan bilang kamu lupa aku memintamu menemaniku ke acara reuni?"

"Huh? Apa itu hari ini?"

"Eoh, nanti malam jam 8"

"Aah... Maaf, aku hampir lupa"

"Ck~ kamu emang lupa"

"Iya... Iya.. Aku lupa, maaf. Yang penting aku sudah kembali kan jadi nanti malam tetap bisa menemanimu"
Terdengar dengusan samar dari seberang sambungan telepon namun pria itu tak peduli banyak memilih menyamankan kepala ke sandaran sofa.

Too Plain To SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang