Terkadang bukan bara api membara yang dibutuhkan untuk mencairkan bongkahan es dari musim dingin yang panjang, yang membakar dengan kobarannya yang begitu panas, melelehkan dalam sekejap tapi setelahnya tak ada lagi yang tersisa. Menguap, habis tanpa bekas dalam waktu singkat pula.
Lenyap.
Musnah.
Baik es itu ataupun sang Api.
Mengapa tak mencoba menghangatkannya perlahan, terus dan terus hingga batu dingin itu mencair sedikit demi sedikit sampai kembali menjadi air seperti sedia kala. Kembali pada awal mula. Menjadi diri sendiri.
Tak perlu terburu, tak selamanya buruk jika kau sedikit melamban. Segala sesuatu punya masa nya sendiri, begitu juga dengan hati.Jangan memaksakan.
Atau dia akan patah sekali lagi, lagi, dan lagi hingga benar-benar hancur tak berbekas.
--
Hanbin diam-diam tersenyum tipis. memandangi wajah Jinhwan yang duduk menyandar pada sebuah bangku dibawah pohon rindang disebuah taman yang tak sengaja mereka lewati, sementara dirinya berdiri didekat gadis itu sambil menjepret sana sini, menangkap pergerakan kecil disudut taman yang begitu terik dan nyaris kosong.
Wajah cantik dengan mata terpejam itu terlihat begitu tenang, terasa murni dan damai berbanding terbalik ketika kedua mata sipit itu terbuka.
Masih sama cantiknya sih, tentu saja tapi berbeda.Tidak, kali ini Hanbin tak berniat mengambil gambar wajah tenang itu, tak ingin mengganggunya dengan blitz kamera. Dikalungkannya tali kamera seperti membawa tas slempang, kemudian memutar topi yang dia kenakan lalu dengan perlahan merunduk. Mengamati dari dekat wajah Jinhwan.
Beberapa detik tak ada pergerakan, apakah gadis itu tertidur?
Hanbin menarik kembali wajahnya, alisnya tertaut begitu menyadari gadis mungil itu dengan tenang membuka kelopak matanya perlahan dan berpaling ke arah lain.
Ah, jadi dia menyadari apa yang Hanbin lakukan.
Pria itu mengulum senyum, wajah datar Jinhwan merona samar.
Tak ingin melewatkan, dengan gerakan cepat Hanbin sekali lagi mendekatkan wajahnya pada Jinhwan yang langsung tersentak, manik sipitnya membulat kaget, sontak menarik mundur kepalanya walaupun itu tak membantu sama sekali.
Tanpa sadar Jinhwan menahan nafas merasakan hembusan hangat nafas Hanbin yang menyapu wajahnya begitu dekat.
Mereka hanya diam saling mengunci pandangan untuk beberapa detik, tak lama
perlahan Hanbin tertegun sendiri melihat bola mata yang melebar kembali seperti biasa, kembali dingin dan berkabut.Kenapa begini? Dia yang awalnya ingin menggoda gadis itu sedikit dengan mengagetkannya tapi agaknya dia juga yang kena batunya, mata itu seolah menyerapnya, membawanya pada dimensi lain yang begitu beku.
"Ehkhem~ Noona, pipimu terlihat memerah. Kau pasti sangat kepanasan" Hanbin berujar dengan suara terdengar lebih serak, mencoba menarik kembali kewarasannya.
Agaknya kini pipinyalah yang bersemu samar, bukan lagi Jinhwan.
Jinhwan memicingkan mata sipitnya, jari gadis itu terangkat lalu dengan sekali gerakan mendorong wajah Hanbin menjauh.
"Jangan coba-coba menggodaku, kau tak akan bisa" desisnya dingin.
Hanbin hanya terkekeh saja, menegakkan posisi berdiri lalu mengulurkan tangan yang disambut Jinhwan tanpa protes, lalu ditariknya gadis itu untuk beranjak bangun.
"Kita mau makan siang dimana?" Hanbin bertanya.
"Kita? Kapan aku bilang mau makan siang bersamamu?" ketus Jinhwan.