Setelah berjalan 23 menit lamanya, Perseus sampai ke sebuah gedung perkantoran setinggi 47 lantai. Nama gedung perkantoran itu dibuat dengan cetakan batu di tamannya. Cetakan batu itu berbunyi 'UNDERTALE'. Ia melihat alamat yang diberikan sudah benar. "Lantai 47 ya?" gumamnya. Ia pun menelepon kliennya tadi, "aku sudah dibawah, bisakah anda turun? Kita bertemu di cafe seberang kantor ini saja. Aku ingin sekalian makan."
"Hm... baiklah. Tunggu aku disana," ujar suara dari seberang telepon. Perseus berjalan ke cafe itu dan menunggu si klien datang. Sembari menunggu kedatangan si klien, ia memesan segelas Cappuchino dan menikmati lagu yang diperdengarkan dari audio cafe. Ketika ia mulai jenuh, segera tangannya bermain didalam tasnya, merogoh notebook dan mengeluarkannya, mulai menulis sampai seorang lelaki paruh baya datang menghampirinya, "sudah lama menunggukah?"
Perseus menghentikan kegiatan menulisnya dan menatap orang yang merupakan kliennya itu. Rambutnya berwarna putih alami, bukan karena uban. Ia menggunakan celana jeans pendek dan kaus putih, lalu jaket jeans biru dengan kerah berbulu sebagai luarannya. Senyumnya lumayan ramah, dan janggutnya yang jarang tumbuh di dagunya, yang membuat semua orang tak percaya kalau dialah pemilik gedung 47 lantai itu pada saat bertama kali bertemu dengannya. "Aku yang meneleponmu, namaku Sans, pemilik gedung Undertale ini. Umurku 47 tahun, dan semakin umurku bertambah, 1 lantai dari gedung ini akan ditambahkan. Lantai 1 sampai 5 adalah mall, lantai 6 sampai 30 adalah hotel dan apartemen, dan sisanya adalah perkantoran. Hebat kan?" Ujarnya menyombong.
Perseus hanya terdiam mendengar kesombongannya sambil mencatat, "hm... hebat. Sans, orang terkaya nomor 7 di negeri ini. Tak kusangka aku akan langsung bertemu, dan kau adalah ayahnya Wimala Ui Frans, bukankah begitu?"
"Tepat. Hebat sekali, padahal aku jarang berkenalan dan diliput para wartawan. Darimana kau tahu kalau dia adalah anakku?" tanya Sans dengan antusias.
"Yah... mudah saja. Aku meng-googling-nya. Jadi, ada keperluan apa kau memanggilku kesini?" Perseus balik bertanya sambil membuka buku tulis yang baru, bersiap-siap menulis tugas yang akan diberikan.
"Hm... baiklah. Tapi kenapa kita tidak bicara di lantai 47 saja? Disana enak, kau bisa melihat pemandangan kota ini dengan indahnya, apalagi ketika malam ini," Sans mulai berceloteh, "atau...? Kau takut ketinggian kan? Ya kan? Masa sih orang sepertimu ini takut pada ketinggian?" cibir Sans dengan maksud mengejek Perseus.
Mendengar ejekan itu, Perseus ingin sekali mematahkan pulpennya, lalu menjejalkan pulpen patah miliknya ke mulut orang tua itu dan memaksanya menelannya. Tapi demi tugas dari permainan si penelepon misterius yang menerornya beberapa waktu lalu, dan harapan akan imbalan yang tinggi, ia mengurungkan niatnya. "Ya, aku takut ketinggian. Jadi sekarang ceritakan apa masalahmu sebelum kupaksa kau menelan pena ini," jawabnya atas cibiran Sans tadi.
"Hah? Benarkah? Wah... ternyata aku berbakat juga jadi detektif ya? Tapi baiklah, mari kita serius. Aku membutuhkan pertolonganmu. Tepatnya ini tentang putriku, Wimala," ujarnya mulai serius.
"Ada apa dengannya?"
"Kau mungkin sudah tahu, karena matanya ia sering dibully, dan juga kurasa ia sering dibully karenaku, menjadi anak orang kaya tidak selalu menyenangkan, pasti ada yang iri. Tapi masalahnya bukan disitu, masalahnya adalah ini," ujar Sans bercerita, lalu mengeluarkan kertas yang sudah lecek berukuran sebesar telapak tanganya dan memberikannya ke Perseus, lalu mulai melanjutkan ceritanya.
"Surat ini ada di mejaku seminggu yang lalu, namun saat itu aku cuma mengabaikannya dan membuangnya ke tong sampah begitu saja. Namun dua hari setelahnya, Ui menjerit dan berlari keluar dari kamarnya karena kertas ini ada di mejanya. Karena aku merasa ini benar-benar serius, aku memindahkannya dari sekolahnya yang lama dan memindahkannya ke sekolah yang baru, agar ia dapat diperhatikan oleh kakaknya. Dan sekarang permintaanku adalah, tolong temukan siapapun pelakunya, dan tolong jaga dia, jangan sampai dia lepas dari pengawasanmu. Kau sudah bertemu dengan anakku, kan?"
"Ya, aku sudah bertemu dengannya. Kami sekelas. Tapi apa maksudmu? Menemukan pelakunya, itu masuk akal. Tapi menjaganya agar jangan lepas dari pengawasanku, aku bukan bawahanmu yang bisa seenaknya kau suruh, dan aku juga bukan babysitter. Memangnya apa imbalannya sampai aku harus menurutimu begitu?" jawab Perseus sambil memikirkan permintaan orang itu.
"Imbalannya? Aku tahu kau tinggal di panti asuhan. Dan keuangan pantimu tidak selalu bagus kan? Sponsor pantimu sudah meninggal tiga tahun lalu, dan penerusnya tidak terlalu memperhatikan kalian kan? Aku tahu kalau kau dan keempat saudaramu yang lainnya bisa bersekolah karena beasiswa, tapi bagaimana dengan yang lainnya? Total ada 7 anak lagi, dan aku bisa memberikan 5 diantara mereka beasiswa sampai di universitas. Nah, tanggunganmu tinggal 2 lagi kan? Aku juga tahu kalau kau sering makan dengan tidak kenyang karena ekonomi kalian. Aku tahu kalau royalti dari buku-bukumu itu tak seberapa, dan kau terpaksa datang ke sini untuk mendengarkan penawaranku, mengambil pekerjaan ini jika imbalannya bagus karena kau sangat butuh uang. Jika kau menerima misi ini, tiap harinya akan kupastikan kalian hidup berkecukupan. Kau tidak akan lagi kelaparan, adik-adikmu tidak akan menangis meminta makanan, mainan, dan baju baru. Tertarik?" tanya Sans sambil menyunggingkan seringai licik ala pebisnis, namun Perseus tahu kalau orang ini benar-benar serius.
Ingin rasanya Perseus benar-benar memasukkan pulpennya ke mulut orang itu, lalu memukulinya wajahnya dan mencekiknya karena penawaran liciknya yang tak bisa Perseus tolak. Perseus berusaha berpikir, hingga ia akhirnya sampai pada keputusannya, "baiklah, aku terima," jawabnya.
"Bagus, kalau begitu tanda tanganlah di atas materai ini dan simpan surat kontrak ini. Aku sudah menanda tangani bagianku, jadi kau santai saja. Dan senang bertemu denganmu Perseus, kuharap kau berhasil karena aku juga ingin begitu," lalu Sans meminta tagihan untuk minuman Perseus dan membayarnya. Setelah itu ia bangkit dari duduknya, berjalan keluar dan menyalakan rokoknya.
"Kenapa harus aku?" tanya Perseus sebelum orang itu pergi.
"Karena aku tahu kasusmu 4 tahun lalu, dan aku juga tahu setelah itu kau bekerja sama dengan kepolisian dan mendirikan pondok itu. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu bagaimana riwayat hidupmu. Dan semoga berhasil."
"Awasi bawahanmu yang bernama Judas, ada tato ular di dada memanjang ke lehernya. Sebaiknya kau berhati-hati karena dia adalah anggota sebuah geng, meski aku belum tahu itu geng apa."
Mendengar perkataan Perseus tersebut, Sans hanya mengangguk dan menghembuskan rokoknya, lalu pergi meninggalkan Perseus.
Perseus hanya duduk tepekur di cafe itu sambil menghabiskan chappucinonya, lalu menatap surat yang sudah lusuh itu. Matanya membelalak ketika membaca isinya. Surat itu berbunyi :
"Bersiaplah Wimala, hidupmu tidak akan mudah. Maut akan mendatangimu dengan menyakitkan dan mencabik-cabik jasadmu".
KAMU SEDANG MEMBACA
Difficult
Fantasy"Aku ingin mendekatimu, tapi aku masih melihat bahaya disekelilingmu. Kau juga masih resah. Kalau begitu, bahaya yang ada di sekelilingmu kusingkirkan dulu, baru kita bergenggaman tangan dengan erat. Boleh ya?" ~Perseus Cord Thycon "Aku ingin bersam...