KERANDA GENTAYANGAN

1.2K 115 1
                                    


“War, lu belum pulang jam segini apa gak dicariin emak lu?” Kata seorang pemuda disebuah warung kopi di tengah kampung.

Saat itu tahun 1891. Tentu tempat yang kini menjadi Kota Depok itu masih berupa hutan dan perkebunan. Kecuali beberapa perkampungan kecil dan terpencil. Warung kopi tradisional saat itu menjadi tempat favorit para anak muda menghabiskan malam.

“Kaga lan. Emak gue juga udah tau gue disini. Warungnya Bu Rohaye.” Jawab Anwar kepada temannya Dahlan. Anwar adalah pekerja serabutan yang biasa membantu para tuan tanah membuka lahan perkebunan, sedangkan Dahlan hanya petani yang biasanya menjual hasil taninya ke pasar-pasar di sekitar kampung. Mereka sama-sama berperawakan kurus, hanya saja Dahlan berkumis sedangkan Anwar tidak.

Kala itu daerah sekitar warung masih berupa hutan dan semak belukar. Masih banyak terdapat pohon bambu, rambutan, mangga dan masih banyak lagi. Jarak antar rumah pun berjauhan. Dan di dekat warung hanya ada satu rumah yaitu rumah Bu Rohaye pemilik warung. Suasana sungguh sepi dan minim pencahayaan, di rumah-rumah warga hanya ada beberapa lampu minyak bahkan ada yang tak memiliki pencahayaan sama sekali.

“War, lu dapet berapa gulden bantuin tuan tanah Parung?” Tanya Dahlan.
“Ah, lu gak perlu tau.” Kata Anwar.

“Ajak gue ya. Gue juga mau dapet duit lebih, sekalian liat perawannya babe long-seng.”

“Ah, pikiran lu lan. Perempuan terus, diliatin doang dapetnya kaga.”
Anwar pun menyiapkan beberapa uang logam dari kantungnya dan membayar kepada anak laki-laki Bu Rohaye yang kebetulan sedang berjaga malam saat itu.

“Tong, kite pergi dulu dah. Bentar lagi anjing kompeni pada dateng. Males gue liat mukanye. Nih, duit buat bayar kopi gue sama Dahlan.” Ucap anwar kepada anak pemilik warung. “Iye deh bang. Hati-hati.” Jawabnya.

Mereka berdua pergi meninggalkan Warung dan mulai memasuki jalan gelap yang dikelilingi hutan bambu. Dahlan memegang obor sebagai alat penerangan mereka. Sambil membicarakan banyak hal, mereka berjalan menyusuri gelapnya malam.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba Dahlan menghentikan jalannya. Ia merasakan sesuatu yang tak biasa di jalan yang sedang mereka lewati. Anwar yang terus berjalan pun sadar dan ikut berhenti. Kemudian menoleh ke arah Dahlan.

“Kayanya salah jalan nih kite.” Kata Dahlan. “Jalan ke kuburan ni. Ayo War, balik ke warung lagi.” Kata Dahlan yang kemudian bergegas pergi meninggalkan jalan itu. Namun di tengah perjalanan, dari kejauhan mereka melihat segerombolan orang membawa obor sambil menggotong keranda mayat. Lantas mereka pun berhenti dan menunggu rombongan itu lewat.

“Siapa yang meninggal?” Kata Anwar yang kebingungan. Semakin lama rombongan itu mendekat. Dan saat sampai di depan mereka barulah mereka sadar apa yang sedang dilihatnya. Para rombongan pembawa keranda jenazah itu bermuka rata. Sontak Anwar dan Dahlan kaget bukan main. Dia berdiri kaku mematung dan tak bisa teriak dan hanya memasang wajah ngeri dengan nafas yang tersengal-sengal. Sedangkan Anwar berteriak “Setan!” dan langsung lompat sembunyi ke semak-semak.

Tiba-tiba salah satu sosok bermuka rata menghampiri Dahlan yang sedang ketakutan. “Yah, mampus dah lu lan dibawa setan.” Kata Anwar yang mengintip Dahlan dari semak-semak, Dahlan yang semakin takut hanya bisa pasrah sambil membaca doa. Sosok bermuka rata berhenti tepat di depan wajah Dahlan dan seolah menatapnya. Dan Dahlan hanya berdiri kaku mematung di hadapan sosok tersebut dengan keringat membasahi wajahnya. Sesekali ia mendengar suara ngorok dari sosok bermuka rata yang ada di depannya itu.

“L-lo ngeliatin gue pu-punya mata aja kaga lu.” Kata Dahlan dengan gagap karena ketakutan. “G-Goblok lu lan! Setan lu ledekin, kena kepret mampus lu.” Kata Anwar dari balik semak-semak. Situasi semakin mencekam saat itu dan orang lain yang lewat.

“Haduh lan, dosa apa gue ketemu beginian. Haduh, bangun-bangun makan nasi pake ayam.” Kata Anwar dari balik semak-semak dengan tubuh yang gemetaran. Begitu juga dahlan yang tubuhntya gemetar hebat. “War, udah lemes gue nih.” Kata Dahlan.

Tiba-tiba sosok bermuka rata itu mencolok wajahnya sendiri dengan dua jarinya hingga berlubang, dan mengalir darah yang kehitam-hitaman dari kedua lubang tersebut. Tak lama berselang, keluarlah sepasang mata menatap Dahlan dari lubang di wajah sosok itu seolah menunjukkan kalau dia juga bisa punya mata. Dahlan lagi-lagi hanya pasrah sambil melantunkan doa-doa yang ia percaya bisa mengusir setan.

“Lan? Belom pergi juga tuh setan?” Tanya Anwar dari dalam semak-semak.

“Belom War.” Jawab Dahlan.

“Lari bego!” Kata Anwar yang tiba-tiba lompat dari semak-semak kemudian lari terbirit-birit meninggalkan Dahlan. “War! Tungguin gue!” Kata Dahlan yang ikut berlari mengikuti Anwar dari belakang. Sebelum lari bahkan Dahlan sempat mendorong setan itu hingga jatuh tersungkur ke tanah. “Mampus lu!” Kata Dahlan sambil berlari.

Saat mereka lari, tiba-tiba rombongan setan pembawa keranda berhenti. Sesosok Pocong dengan wajah hancur dan busuk terbangun dari dalam keranda, menatap mereka dan menertawakan Anwar dan Dahlan yang lari kocar-kacir. Begitu juga dengan rombongan setan muka rata yang juga ikut menertawakan mereka. “Hahahahaha.” Suara tertawa setan-setan itu terdengar beragam memekik telinga, datar, bahkan seperti suara anak ayam namun begitu keras hingga memecah kesunyian malam itu. Begitu mengerikan dan mencekam.
Sampailah Anwar dan Dahlan di dekat warung dengan wajah pucat. Para orang suruhan kompeni yang sedang berjaga malam geger melihat mereka yang basah oleh keringat dan wajah pucat ketakutan.

“Ada apa nih? Kaya abis liat setan aja.” Tanya salah satu kompeni.

“Ya emang gue abis liat setan! Disono tuh, jalan ke kuburan!” Jawab Anwar.

Lantas, mereka pun jadi bahan tertawaan para kompeni yang sedang nongkrong di warung Bu Rohaye. “Siape suruh? Sarang setan lu samperin. Hahahahahah...” Ledek para kompeni itu. Si penjaga warung memberi dua gelas air kepada Anwar dan Dahlan yang tampak shock dan kelelahan dengan sambil menahan tawa.

“Gak usah sok nahan-nahan lu, mau ngeledek ya ngeledek aja.” Kata Dahlan yang kemudian meminum air pemberian penjaga warung tersebut.

Akhirnya setelah menunggu beberapa saat di warung Bu Rohaye. Dahlan dan Anwar kembali pulang ke rumahnya. Kali ini mereka diantar oleh rombongan kompeni yang tengah berjaga malam. Di tengah perjalanan itu, mereka terus menerus jadi bahan tertawaan dan ejekan para kompeni tersebut.

Jagad Mistis Nusantara (Kumpulan Cerita Horor)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang