"Mas, pegel."
"Bawel."
"Mas, laper."
"Bentar lagi sampe."
"Mas."
"Dek, aku turunin kamu di jalan, ya."
"Jahat."
Begitulah pagiku bersama dengan Mas Deni, satu-satunya saudara lelaki yang kupunya dari keluarga Ayah. Aku dan Mas Deni memang selalu jauh dari kata damai, ada saja yang membuat aku dan dia bertengkar. Terkadang hanya sekadar tentang makanan saja, Ayah harus turun tangan untuk melerai kami berdua. Namun, bagaimanapun itu aku tetap menyayangi Mas Deni lahir dan batin.
"Mas, boleh misuh enggak?"
"Dilarang keras. Nanti kalo udah sampe atas, baru boleh misuh."
"Atas mana? Atas pohon? Dari tadi enggak sampe-sampe, pegel!"
"Dek, diem sebentar. Bisa engak?"
"Yaudah bisa."
Membosankan. Satu kata yang dapat mendeskripsikan suasana saat ini. Genap dua jam sudah aku duduk di atas motor merah milik Mas Deni, dan harus beradu dengan angin pagi Yogyakarta yang semakin hari semakin dingin. Sebelum aku sampai di Yogyakarta, Mas Deni berjanji akan membawaku ke suatu tempat yang seketika akan membuatku lupa tentang masalah di dunia ini. Bukannya malah melupakan, malah menambah masalah karena bokongku sudah tidak tahan lagi akan pegal linu yang tiba-tiba saja datang.
"Dek, kamu pasang earphone saja. Terserah mau dengar lagu apapun itu, sebentar lagi sampai, kok. Biar kamu enggak bosen, mending dengar lagu."
"Eh? Iya, sih. Kenapa enggak dari tadi?"
Lowkey yang dibawakan oleh Niki Zefanya seketika menjadi backsound perjalanan menuju ke tempat yang dimaksud oleh Mas Deni. Entah di mana, tetapi untuk menuju tempat itu harus melewati jalanan yang dipenuhi dengan bebatuan keci. Tak hanya itu, Mas Deni pun harus menyalakan lampu kendaraan beroda duanya itu untuk melewati hutan lebat dengan pepohonan tinggi, padahal waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi.
"Dek." Satu tepukan kecil mendarat di lututku, dengan sigap aku membuka salah satu earphone dan membiarkan earphone lainnya terpasang di kupingku.
"Iya?"
"Sudah sampai."
Puncak Gunung Merapi. Tempat yang selama ini selalu ada di dalam pembicaraan aku dan Mas Deni. Tidak, aku tidak berada tepat di puncaknya. Namun, aku benar-benar dapat melihat jelas guratan-guratan yang telah Tuhan buat untuk menjadi pemanis puncak gunung tersebut.
"Kamu enggak bilang kalau mau ke sini."
"Makanya, kamu jangan bawel."
"Takol ku aing, nih."
"Dek, kalo mau ngomong sama aku, pake Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa. Aku enggak ngerti Sunda," jawab Ma Deni sembari melepas helm hitamnya.
Senyuman manis semakin terukir di bibirku ketika mendengar suara motor lain datang. Mba Dita, Mba Kiki, dan Rani menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke tempat ini. Terlihat papan berwarna biru yang sudah lusuh berdiri tegak di tengah-tengah tempat ini, rupanya tempat ini bernama Bukit Klangonan.
"Wah, ini gila, sih! Bagus banget," komen Rani selagi memotret keadaan sekitar.
"Enggak nyangka ada tempat kayak begini," tutur Mba Dita seraya menggosok-gosokkan kedua tangannya hanya sekadar menciptakan kehangatan.
Suasananya dingin. Namun, aku tidak merasakan ada angin di sini. Mungkin karena daerah ini dekat dengan puncak gunung atau karena angin terlalu takut dengan kuatnya sinar matahari, entah aku tidak pandai di dalam bidang geografi. Namun, aku pandai dalam mendeskripsikan suasana tempat ini.
Bagai seorang perantau yang akhirnya dapat kembali pulang, aku merasakan tenang dan aman di tempat ini. Melihat puncak gunung yang selalu menjadi topik pembicaraan favoritku dengan Mas Deni, bertahun-tahun sudah aku mendambakan puncak gunung tersebut. Meskipun telah berumur ratusan tahun atau mungkin berabad-abad, ia masih berdiri kokoh ditemani dengan pepohonan di sekitarnya. Meskipun ia mengerti banyak manusia yang menganggapnya sebagai malapetaka, tanpa pamrih ia membantu manusia untuk menghasilkan bahan-bahan dasar pembangunan rumah.
"Tujuan Mas bawa kamu ke sini, sebenarnya simple. Rehat sejenak, ya? Kamu udah terlalu banyak melewati rintangan selama masa SMA, Mas mau kamu sekarang lupain sejenak apa yang ada di pikiran kamu."
"Kamu juga, Rani. Enggak usah mikirin pacar kamu dulu. Terkadadang, kamu harus peduli dengan diri kamu sendiri, lho."
Aku dapat merasakan bahwa Rani sedikit tertegun mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Mas Deni. Bahkan, aku saja tidak percaya bahwa Mas Deni dapat berpikir sejauh itu. Selama ini, mungkin bukan hanya aku dan Rani, tetapi banyak orang yang terlalu memikirkan orang lain. Terkadang, mereka lupa bahwa sebenarnya diri mereka sendirilah yang harus mereka pikirkan. Yah, namanya juga manusia, jika sudah menemukan yang nyaman, terkadang dapat melakukan hal bodoh.
"Enggak boleh lupain kata-kata Mas Kun, ya? Intinya adalah yang kau takutkan takkan terjadi, dan jangan lupa untuk tenangkan hati dan pikiran kalian."
Tak terasa butiran-butiran air mata berjatuhan tanpa malu dari bola mataku, sepertinya aku memang benar-benar sudah di tahap lelah. Lelah dalam memberikan kepercayaan kepada seseorang karena pada akhirnya akan dipatahkan juga, lelah dalam memikirkan orang lain karena pada akhirnya mereka akan meninggalkan kita, dan lelah dalam berpura-pura bahwa aku baik-baik saja selama ini.
"Biarkanlah semesta bekerja, untukmu."
![](https://img.wattpad.com/cover/207762924-288-k522345.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikat Aku di Tulang Belikatmu
Romance"Ikat aku di tulang belikatmu, biar kurebah dan teduh. Sambil dengar ceritamu, ceritaku. Tentang bagaimana kutemukan, rasi bintang di matamu. Agar aku tahu ke mana, aku harus pulang." -Sal Priadi, Ikat Aku di Tulang Belikatmu. Tentang bagaimana suli...