Berkenalan

24 1 0
                                    

"Kabari aku jika kamu sudah sampai rumah!"

Dan dengan itu, Stasiun Jatinegara menjadi saksi perpisahanku dengan Rani. Karena Ayah dan Bunda sudah menunggu di depan pintu stasiun, sedangkan Rani dijemput oleh pacarnya, akhirnya kami memutuskan untuk berpisah di Stasiun Jatinegara.

"Duh, enak banget punya pacar. Ada yang jemput," gerutuku sembari mendorong koper melewati ribuan orang yang sepertinya mengejar keberangkatan kereta mereka.

Sebenarnya, aku tidak masalah menyandang status jomblo pada saat ini. Namun, sepertinya aku merupakan satu dari sekian orang yang terlalu bergantung pada pasangannya. Bagaiamana tidak? Empat tahun sudah aku menghabiskan waktuku bersama dia, dan sekarang aku harus menjalankan hari-hariku sendiri. Tanpa kabar dari seseorang atau telepon hanya untuk sekadar menanyakan keberadaanku. Duh, kenapa isi hidupku hanya misuh?

"Dek, Rani ke mana?" tanya Bunda sesaat aku masuk ke dalam mobil.

"Dijemput sama Dimas. Udahlah, aku bete," jawabku ketus sembari menutupi mukaku dengan jaket.

"Siapa suruh pacaran lama-lama akhirnya diselingkuhin?" cibir Ayah selagi menjalankan mobil.

"Enggak ada yang minta diseligkuhin juga, Ayah. Duh, pusing deh intinya."

"Gimana liburannya?" Bunda dengan cepat mengganti topik pembicaraan, terima kasih Bunda.

"Seru. Aku dan Rani menemukan banyak tempat baru, enggak terlalu ramai juga."

"Ya sudah, sampai rumah harus istirahat. Biar enggak ada sakit-sakitan."

"Siap, Ibunda."

Ayah dan Bunda adalah dua insan yang benar-benar ingin aku lindungi dari segala bahaya dan malapetaka di dunia ini. Aku berterimakash kepada Bunda karena telah menurunkan sifat kesabaran yang melampaui segala ruang di dunia ini untuk menghadapi ketidakadilan yang semesta berikan, dan aku juga ingin berterima kasih kepada Ayah karena telah menurunkan bakat untuk mempelajari seni lebih dalam lagi. Tidak ada yang dapat menggantikan kedua orang hebat yang sangat bermakna di dalam kehidupanku ini.

"Bunda, Adek langsung ke atas, ya? Capek banget, mau rebahan," ujarku sesampainya di rumah.

"Iya, enggak apa, Dek. Istirahat yang cukup."

Senyuman lesu terukir di bibir mungilku saat Bunda mengecup puncak kepalaku, entah apa yang harus kulakukan jika tidak ada Bunda sekarang. Kakiku mulai menggeret badan yang sebenarnya sudah tidak kuat untuk mengarah ke kamarku.

Berwarna. Satu kata yang dapat mendeskripsikan kamarku, dengan dinding berwarna biru ditambah dengan hiasan dreamcatcher berwarna-warni. Kamarku terletak di lantai dua, sedangkan kamar lainnya terletak di lantai pertama. Salah satu kelebihan dari kamarku adalah kamu dapat berteriak sekencang apapun, tidak akan ada orang yang merasa terganggu dengan suaramu.

"Duh, astaga. Capek juga."

Sanctuary yang dinyanyikan oleh Joji menjadi teman dalam mengisi kesunyian di kamarku. Melupakan sejenak bahwa aku harus mengeluarkan barang-barang yang ada di koperku, aku memilih untuk kembali melihat grup jurusan yang sepertinya semakin ramai.

Ira

Duh, Ga. Stop being an idiot, please?

Arsyana

Arga emang kayak gitu, Ra. Diemin.

Radit

Siapa yang berani bilang Arga idiot?

Disa

Siapa lagi kalau bukan Ira, number one hater Arga.

Radit

Duh, awas aja jatuh cinta.

Arsyana

Arga udah ada yang punya, dilarang di sentuh.

Arga

Intinya bukan punya Arsya.

Manda
Wah, ramai yah.

Disa

Hai, Man!

Agni

Group call, yuk?

Agni started a group call

"Eh? Kok, udah group call aja, sih?" tanyaku sembari melihat siapa saja yang ikut dalam group call tersebut.

Sebenarnya, sudah mulai banyak yang masuk ke dalam grup tersebut. Namun, aku hanya menemukan beberapa orang saja yang benar-benar aktif dalam grup tersebut. Dan inilah saat tersulit untuk mengambil sebuah keputusan, haruskah aku masuk ke dalam group call tersebut? Duh, ini lebih menyulitkan dari mengerjakan soal UN Matematika.

"Halo?" sapaku ragu saat aku sudah masuk ke dalam group call tersebut.

"Hai, Man!" Suara perempuan yang begitu ceria menyapaku secara tiba-tiba, hampir saja aku menjatuhkan telepon yang ada di genggamanku.

"Eh, ada Manda." Kali ini, suara laki-laki yang tidak begitu rendah menyapaku dengan ramah.

"Lanjut ceritanya dong, Ga." Suara perempuan yang begitu berbeda dari suara perempuan yang pertama menggema dengan jelas di teleponku.

"Oh, iya. Yaudah, habis itu gue enggak lanjut deketin dia. Ngapain juga, kan?" Arga, begitulah nama yang tertulis di layar teleponku.

"Duh, Ga. Lo sih banyak tingkah, coba kalo enggak, dia enggak bakal baper sama lo," kritik lelaki lain yang memiliki suara serak.

"Menurut gue, Arga enggak salah, Dit. Mungkin, ceweknya yang terlalu berharap?" balas lelaki lain yang suaranya lebih berat daripada Arga dan Radit.

"Jangan pernah nyalahin cewek, Ni. Kalau udah sampai di tahap antar jemput, harusnya udah lebih dari teman, kan?" Mila, perempuan berambut cepak yang sedari kemarin mengambil perhatianku angkat bicara.

"Topiknya berat banget, ya?" tanyaku yang pada akhirnya berani untuk angkat bicara.

"Iya, Man. Arga banyak tingkah, padahal muka enggak seberapa," jawab seorang lelaki yang pastinya bukan Arga, Radit, maupun Agni.

"Duh, orang ganteng mah beda, ya? Ngerti, Bri. Tenang," canda Radit kepada lelaki lain tersebut, oh, rupanya nama lelaki lain itu Brian.

"Gue tidur duluan, ya? Bye, semua!" Ira, perempuan yang memiliki suara yang terdengar begitu ceria sekaligus penyapa pertamaku.

"Mimpi indah, Ra!" Suara Disa merupakan suara terakhir yang Ira dengar sebelum pergi ke ruang mimpi.

"Manda, enggak tidur?"

"Eh? Ada apa nih, Dit?"

"Nanya doang, Pak."

"Kurasa ku telah jatuh cinta, pada pandangan yang pertama. Sulit bagiku untuk bisa, berhenti mengagumi dirinya."

"Ni, suara lo kayak kucing kejepit pintu."

"Bercanda, Man."

"Tapi, gue emang ngantuk, sih. Gue tidur duluan, ya? Jangan lupa tidur, kawan-kawan!"

Teng!

Radit

Selamat tidur, Man. Mimpi indah, ya?

Perlu beberapa detik untuk memproses semua hal yang baru saja terjadi. Pertama, aku berhasil membuka lembaran baru dan berkenalan dengan orang-orang baru. Kedua, aku berhasil angkat bicara dalam group call yang entah sedang membicarakan apa. Ketiga, ada apa dengan Radit? Oke, mungkin aku hanya butuh tidur.

Manda
Selamat tidur, Radit.

Ikat Aku di Tulang BelikatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang