"Akhirnya, pulang!"
Jam menunjukkan pukul 4 sore, menandakan bahwa aku telah melewati hari Kamis yang begitu melelahkan. Bagaimana tidak? Kelas pertama dimulai pada jam 8 pagi, dan kelas terakhir selesai pukul 4 sore. Hari yang terlalu melelahkan bagi aku yang terlalu banyak pikirian.
"Makan di kantin, kan? Baru, deh, ke kos Manda?" ucap Arsya sembari menaruh tasnya di meja kantin.
"Iya sya."
Saat aku hendak pergi untuk membeli ayam geprek, langkahku terhenti karena ada sesuatu yang menahanku.
"Dit?"
"Man, aku butuh waktu sama kamu. Boleh?"
"Untuk apa? Sudah bosan dengan yang baru?"
"Kamu enggak usah ngaco, Man. Kamu boleh bilang aku brengsek, tapi aku enggak akan main cewek."
"Omong kosong."
"Sekali aja, Man. Please?"
Ya Tuhan, maafkan hamba-Mu yang terlalu bodoh dalam mengambil keputusan. Aku memperhatikan bagaimana Radit berdiri canggung di ambang pintu kamarku.
"Kenapa enggak masuk?" tanyaku seraya melepaskan kaos kaki dan melemparkan tas ke atas kasur.
"Eh, iya." Lagi-lagi, Radit menggaruk tengkuknya yang sepertinya tidak gatal.
"Aku cuci muka dulu, sebentar."
Segera kututup pintu putih yang menghubungkan kamarku dengan kamar mandi. Aku mencoba untuk menilai bayanganku yang memantul di kaca yang tergantung di kamar mandi. Sungguh, aku terlihat seperti mayat berjalan. Muka yang terlihat kusam akibat terlalu malas memakai make up, bibir yang terlihat pucat karena tidak memakai liptint, kantung mata yang berwarna hitam pekat, dan rambut yang terkuncir satu akibat terlalu malas untuk keramas. Akhirnya, aku berhasil membasuh mukaku dengan air yang mengucur dari keran. Semoga segala luka dan sakit hati juga ikut terbasuh, ya.
"Jadi, mau ngomong apa?" tanyaku sesaat keluar dari kamar mandi, mendapati Radit yang sedang merenung di atas kasurku.
"Dengerin aku, ya? Jangan dipotong," pinta Radit seraya beranjak berdiri dan menyapu jarak antara kami.
"Kamu duduk di kasur, aku berdiri di sini. Enggak usah mendekat," jelasku sembari melipat kedua tanganku di dada dan bersandar kepada tembok di belakang ku.
"Man, aku sampai bingung harus mulai dari mana. Aku minta maaf, ya? Iya, aku tahu kamu sudah lelah mendengar kata maaf dari mulutku. Jujur, aku juga enggak tau kenapa aku memilih buat menjauh dan akhirnya menghilang dari hadapan kamu. Aku itu pengecut, Man. Jadi, beri aku kesempatan untuk menjelaskan keadaanku dua minggu terakhir ini, ya?"
"Sewaktu aku pulang ke rumah, Mama dan Papa mendapati aku sedang berbicara denganmu melalui telepon. Karena aku adalah anak satu-satunya dan mereka merasa harus mengetahui segalanya tentangku, mereka bertanya aku berbicara dengan siapa. Dan aku menjawabnya dengan jujur, Man. Aku bilang kepada mereka bahwa aku sedang berbicara dengan kamu. Akhirnya, mereka menanyakan beberapa pertanyaan yang mudah untuk kujawab. Sampai akhirnya, Mama melontarkan satu pertanyaan yang cukup sulit."
"Pasti tentang keyakinanku, kan?"
"Iya, Man. Aku mengatakan hal yang sebenarnya, kok. Aku menjelaskan bahwa keyakinanmu memang berbeda denganku, dan aku juga menjelaskan bahwa aku tidak keberatan tentang perbedaan itu. Namun, mereka menolak, Man. Mereka menolak adanya kata 'kita' di antara aku dan kamu. Seharusnya, aku memberitahu ini kepadamu dan mencari jalan keluar. Aku malah memilih untuk menghindarimu karena egoku terlalu besar untuk menatap kedua matamu yang indah. Aku berani sumpah, demi segala dewa yang ada di dunia ini, aku tidak bermain perempuan. Dan aku juga tidak ingin berhenti memperjuangkan kamu, Man. Tidak untuk saat ini, tidak untuk besok, bahkan untuk hari-hari kedepannya."
Dan untuk kesekian kalinya, butiran-butiran sialan itu terjun bebas tanpa malu dan jatuh tepat di permukaan kedua pipiku. Aku bahkan tidak sanggup lagi untuk menatap kedua mata coklat Radit, hingga aku melihat sepasang kaki tepat di depanku.
"Aku enggak maksa kamu untuk maafin aku sekarang juga, Man. Aku ngerti kalau kamu udah enggak mau lagi sama aku, kamu emang pantas untuk mendapatkan yang lebih baik daripada aku."
Hening, hanya ada suara isak tangisku yang berpadu dengan napas berat Radit. Hingga akhirnya aku tenggelam di dalam dekapan hangat Radit. Ia memelukku dengan erat, seakan-akan tidak ingin aku pergi. Sebenarnya, aku juga sedang melakukan hal yang sama. Kedua tanganku menarik keras kaos hitam Radit yang sepertinya sudah basah akibat air mataku, berharap tidak ada lagi jarak antara kami berdua. Rinduku kepada Radit sudah tidak dapat dibendung lagi, dan kondisi hatiku semakin acak-acakan setelah Radit menceritakan kondisinya. Bau khas yang dimiliki sang lelaki itupun tercium asing di hidungku, selama itukah aku tidak bertemu dengannya?
"Berjuanglah bersamaku lagi, Man. Aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan bodoh seperti saat ini. Bahkan, kamu bisa memutuskanku saat itu juga apabila aku melakukan kesalahan lagi. Kamu bisa memegang omonganku, Man."
"Diam. Aku kangen kamu."
"Kangen kamu juga, sayang."
Keningku menerima satu kecupan hangat dari Radit, tanpa kusadari satu senyuman kecil terukir di bibirku. Ia membawa tangannya untuk diletakkan tepat di bawah daguku, mendongakkan kepalaku sampai aku benar-benar melihat jelas wajah Radit. Mulai dari kening, mata kanan dan kiri, pipi kanan dan kiri, dagu, hidung, hingga bibir, Radit meninggalkan tanda kasih sayang hampir di seluruh permukaan wajahku.
"Sayang kamu."
"Sayang kamu juga."
"Terima kasih untuk tetap berjuang."
"Terima kasih untuk kembali."
Kami menghabiskan waktu hanya untuk sekadar berbagi cerita yang terjadi beberapa minggu terakhir, di saat hubungan kami renggang lebih tepatnya. Nyaman rasanya, senang bisa pulang ke rumah.
"Man, udah dengar lagu Sal Priadi?" tanya Radit dengan pandangan lurus ke arah layar laptopnya.
"Belum, sengaja mau dengar sama kamu," jawabku seraya bersandar di bahunya.
"Cheesy, bilang aja lupa." Satu tepukan manis mendarat tepat di punggung Radit, bersambung dengan suara rintihan kecil yang keluar dari mulutnya.
Jari-jari Radit mulai bermain di atas keyboard laptopnya, sedangkan aku hanya dapat melihat lurus ke arah layar.
"Ikat Aku di Tulang Belikatmu, kenapa?"
"Bakal ada penjelasannya, kok."
Sal Priadi merupakan salah satu musisi serta penulis lagu ternama yang sedang naik daun. Eksistensinya semakin terlihat saat ia mengeluarkan lagu bersama Nadin Amizah. Namun, aku tidak terlalu mengikuti perkembangan musiknya. Maka dari itu, ini merupakan kali pertama aku mendengar lagu Sal.
"Ada yang tahu tulang belikat di mana? Tulang belikat ada tepat di punggung bagian belakang manusia. Saya tulis lagu ini karena, ya, ikat saja aku di tulang belikatmu. Aku tahu kok selalu ke mana-mana bisa sama kamu. Namun, aku juga tau dan sadar bahwa kita enggak pernah benar-benar melihat masa satu sama lain. Kita enggak pernah benar-benar bertemu."
Sang musisi pun memulai lagunya dengan petikan-petikan kecil dari gitar coklatnya. Akhirnya, sampai juga tepat di reff terakhir.
"Ikat aku di tulang belikatmu, biar kurebah dan teduh. Sambil dengar ceritamu, ceritaku. Tentang bagaimana kutemukan, rasi bintang di matamu. Agar aku tahu ke mana, aku harus pulang."
"Man, kalau nanti aku harus merelakan kamu untuk orang lain, ikat aku saja ya di tulang belikatmu? Agar aku dapat melindungimu dari kejamnya dunia ini, agar aku dapat menggenggam tanganmu disaat semesta sedang tidak berpihak kepadamu. Aku enggak apa, kok, enggak bisa melihat kedua matamu itu. Karena bagiku, mendengar suaramu adalah lebih dari cukup. Jadi, apabila aku bukanlah jalan yang terbaik untukmu, kamu harus berjanji untuk tetap menjaga diri, ya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/207762924-288-k522345.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikat Aku di Tulang Belikatmu
Lãng mạn"Ikat aku di tulang belikatmu, biar kurebah dan teduh. Sambil dengar ceritamu, ceritaku. Tentang bagaimana kutemukan, rasi bintang di matamu. Agar aku tahu ke mana, aku harus pulang." -Sal Priadi, Ikat Aku di Tulang Belikatmu. Tentang bagaimana suli...