3

23 7 0
                                    


Gue membanting punggung tak berdosa gue ke kasur. Perkataan Andi masih terus muter kaya kaset rusak di kepala gue.

Flashback on

"Gue baru kenal dia tadi pagi,"gue jawab apa adanya.

"Dari kecil dia udah sakit leukimia. Sekarang udah stadium empat. Saat SMP dia sering gak masuk sekolah. Harus bolak balik rumah sakit. Tapi dia gak mau home schooling. Dan lo tau alasannya?Alasan dia bertahan di sekolah umum ini ya karena lo!Dia udah suka sama lo tepat saat mos SMP dan lo sebagai wakil osis saat itu kan"

Gue mengangguk mengiyakan. Menunggu cerita selanjutnya dari si bibir pedas.

"Dia slalu bilang lo suplemennya dia. Dia semangat belajar buat bisa satu sekolah lagi ma lo. Dari situ,please bantu gue. Setidaknya bikin dia bahagia. Bikin dia hidup lebih lama," pinta Andi sambil megang pergelangan tangan gue. Gue mau jawab tapi mulut gue kembali terkatup rapat pas denger suara.

"Andii!Bawa kak Gab ke ruang makan. Makanan dah siap nih!" Teriakan Ellen nyaring di telinga gue.

"Yok makan,makanan kak El enak. Lo harus coba,"ucapnya lagi seolah sebelumnya gak terjadi apa-apa.

Flashback off

Gue coba mejamin mata. Salah gak sih kalau gue sedikit ngasih perhatian ke dia? Lagian dia butuh itu. Tapi gue gak suka ma dia.  Tapi lagi, sesama manusia kita harus saling bantu kan?

"Brukkkk!" Suara benda dibanting menggema bahkan sampai ke kamar.

Gue yang mau tidur langsung lompat lagi. Gue tahu benda apa yang dibanting itu.

"Mau jadi apa kamu hah! Mau jadi apa sama kanvas sama cat ini mau jadi apa kamu!" Bentak papa dan sebuah tamparan mendarat di pipi kanan gue. Sakit. Dan sekarang sakit di pipi gue menjalar ke hati saat gue lihat perlengkapan melukis gue udah hancur bersama harapan gue.

"Kamu papa sekolahkan biar bisa ngangkat derajat keluarga kita! Bukan jadi seniman jalanan!"Bentaknya lagi kali ini berkacak pinggang.

Entah kekuatan dari mana. Hari ini gue benar-benar natap netra coklat terang papa yang menyilaukan api kemarahan.

"Mau kalian apa sih! Jadi juara satu? Udah! Sekolah dengan jurusan sesuai keinginan papa? Udah! Ikut berbagai lomba? Udah. Dan ikut organisasi? Juga udah! Gabriel kurang apa lagi sih Pa? Cuman nyalurin hobi aja bahkan papa nglarang?" Ucap gue nyaring. Gue benar-benar ada di puncak emosi.

"Ma kenapa mama diem aja? Gabriel udah nurutin apa yang kalian pengen. Tapi kenapa Gabriel gak boleh lakuin apa yang Gabriel pengen sih?" Ucap gue sarkasme.

"Mas, udahlah hoby dia nggak ganggu prestasinya juga, "ucap mama akhirnya. Tapi?Papa emang dasarnya batu. Rahangnya tetep mengeras. Dan gue benci situasi ini.

"Apa papa mau aku kaya papa? Kerja nggak kenal waktu tapi cuman buat majuin bisnis orang. Dan papa dapet apa? Cuman sisa. Aku nggak mau jadi pecundang kaya papa!"

"Plak!" Tamparan keras mengenai pipi kiri gue dan kali ini berasal dari tangan halus mama. Nyeri banget, ada bekas warna biru di kedua pipi gue. Dan gue akui untuk kata terakhir gue kelewatan.

"Jaga bicara kamu Riel! Mama gak pernah ngajarin kamu kaya gini!"

"Hah?Gak salah denger?Apa yang kalian udah ajarin ke Gabriel selain membentak dan menekan seseorang? Apa Ma, Pa? Bahkan apa kalian pernah nanya gimana Gabriel di sekolah? Gabriel punya temen atau nggak? Apa pernah kalian nanya itu? Kalian cuman nanya. Dapat peringkat berapa terus marah-marah. Udahlah ma,pa. Gabriel pergi,"

Tanpa menunggu jawaban, gue masuk kamar buat ngambil kunci sepeda motor dan tas. Gue langsung cabut dari rumah. Pikiran gue entah kenapa tertuju ke rumah seorang gadis.

💔💔💔

"Kak Gab?" Teriak seseorang membangunkan gue dari tidur panjang. Tunggu! Ini gue tidur dimana?

Astanaga! Ini depan rumah Ellen? Kok gue bisa tidur disini? Manalagi gue masih pake seragam kemaren yang gue tutupin pake jaket. Mau ditaruh dimana harga diri gue sebagai pangeran.

"Kak Gab kenapa jemput Ellen pagi banget. Ayo masuk dulu aja,"

Gue pasrah aja saat tangan gue ditarik tuh bocah ke dalam. Entah kenapa gue suka rumah dia yang cukup mewah ini. Hangat dan nyaman.

"Ini siapa nak?Ganteng banget,"ucap ibu-ibu dari arah dapur langsung menoel noel pipi gue. Ini pasti ibunya si Ellen.

"Dia pacarnya!" Wow siapa yang menjawab?Oh Andi rupanya. Gue cuman senyum kikuk aja. Pengen jawab enggak tapi nggak enak.

"Aduh kok bisa jemputnya pagi banget gini sih?Kamu udah makan sayang?" Tanya Ibu Ellen dengan panggilan sayang. Mama gue aja gak pernah manggil gitu ke gue.

"Belum tan,"ucap gue polos.

"Ishh manggilnya Bunda Lee aja oke kan kamu calon menantu. Sekarang kamu duduk aja Bunda masakin ya?" Tanpa menunggu jawaban gue tuh ibu-ibu udah pergi aja.

Gue lupa gue belom mandi. Gimana nanti pas boncengin Ellen gue bau badan?Nggak banget deh.

"Andiii!"Panggil gue pas Andi lewat.

"Gue mau numpang mandi boleh?Gue buru-buru kesini soalnya air di rumah gue mati,"gue beralibi. Dan Andi cuma ketawa sambil jalan nunjukin arah kamar mansi. Gue ikutin aja dia.

"Masuk aja. Pake handuk yang warna ijo itu ok,"dia menunjuk ke handuk yang masih terlipat di pojok atas kamar mandi.

"Oke!"

Sarapan disini suasananya beda. Ada bunda Lee yang cerewet dan kakak beradik yang selalu melempar ejekan. Nggak tau kenapa ujung bibir gue keangkat naik. Gue jadi iri sama Ellen. Apa keluarga gue bisa kayagini?

"Ayo kak berangkat!"Ucap Ellen riang.

"Bun,Gabriel berangkat dulu,"pamit gue menyalami ibu Lee. Harus sopan dong sama camer. Eeee kok camer?

"Makasih ya kak,"ucap Ellen halus saat motor gue dah melaju.

"Hm"

"Ih untung sayang. Nanya kek. Makasih apa? Gak peka," gerutu Ellen yang cuman gue tanggapi dengan tawa.

"Iya makasih kenapa?" Tanya gue akhirnya. Kan gue juga manusia dengan tingkat kebaikan yang tinggi.

"Pelanginya,"

Dia ngomong apa si? Pelangi apa coba? Perasaan gue kagak pernah ngambilin pelangi buat dia. Kalau dipikir-pikir gimana caranya ngambil cahaya? Aduh ini kenapa gue ikutan lemot? Mungkin ini Efek samping orang keceh.

"Pelangi walau sebentar setidaknya ia pernah hadir dan memberi warna kan kak?" Gue bisa denger. Ini bukan pertanyaan tapi pernyataan dia. Gue mengerutkan kening. Gue ndak mudeng ciuss.

"Aku maunya langit aja tuh,dia kadang cerah,berawan,mendung,hujan. Tapi dia ada terus nemenin kita," ucap gue dan gue nggak denger lagi cicitan gadis di belakang gue. Gue salah ngomong kah?

Quotes

Keindahan pelangi dan langit itu ada dimata. Dimana kamu suka semua terlihat indah bukan?

JURNAL GABELLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang