15

10 3 0
                                    


Sudah tiga hari ini Ellen sadar. Tiga hari pula Ellen mengalami perubahan. Dia lebih suka diam saat gue jenguk dia, walaupun dia masih memasang senyum tulus tanpa modus. Apa gara-gara waktu itu? Gue harus segera jujur sama Ellen. Gue nggak tahan Ellen begini.

"Len,"ucap gue lirih saat gue masuk kamar beraroma obat-obatan yang menusuk.

"Eh kak Gab," jawabnya sambil tersenyum. Gue tahu dia maksain senyumnya.

"Gimana keadaan lo?" Tanya gue basa basi buat mencairkan suasana. Tapi kayanya nggak berhasil karena suasana tetep beku.

"Baik kak," jawabnya singkat. Ayolah mana Ellen yang gue kenal. Tuh kan beku banget ini mah.

"Maafin gue," ucap gue akhirnya.

"Buat?"

"Perasaan gue yang bohong. Gue nggak niat buat bohongin lo, gue cuma. . ." Ucapan gue terpotong saat Ellen manggil nama gue

"Kak Gabriel," ucap Ellen memegang tangan gue dengan tangannya yang dingin. Gue ngeliat wajahnya. Pucat.

"Makasih buat segalanya. Sekarang kakak gak perlu bohong lagi. Ellen udah gapapa. Maaf Ellen banyak ganggu kakak. Bikin kakak harus susah payah menjalani hubungan palsu kayagini. Maaf," tutur Ellen lirih. Tapi entah kenapa menyayat hati gue. Gue sakit, entah sakit karena apa. Harusnya gue lega udah nggak perlu bohong kan?

"Gue gak mau lo jadi lemah gara-gara ini, lo harus kuat,"

"Aku juga pengennya gitu kak," cicit Ellen lirih. Sangat amat lirih.

"Kak aku pengen deh jadi upilnya kakak,"ucap Ellen tiba-tiba bersemangat seperti cicitan tadi tak pernah ia ucapkan. Hah upil?

"Kok upil sih? Nggak ada perumpamaan yang lebih milenial apa, kentut kek, daki atau apa gitu?" Tanya gue heran. Dari beratus ribu juta kosa kata kenapa ia memakai kata upil?

"Iya karena upil dihidung kakak walaupun udah dikorek bakal muncul lagi muncul lagi tanpa lelah," Ellen tertawa. Parau. Gue juga ikut tertawa. Ellen sekuat ini ternyata.

"Yaudah gue ketemu bunda dulu,"pamit gue terus keluar dari ruang yang menyesakkan dada gue.

Diluar gue denger suara isakan. Gue intip dan ternyata Ellen yang lagi nangis dengan tangan memukul dadanya.

"Sesak kak. Sakit hati aku. Kenapa semenyesakkan ini? Andai aku si upil yang selalu mau datang tanpa lelah. Tapi nyatanya aku hanya Ellen yang bisa lelah buat slalu senyum dihadapan kakak! Lelah pura-pura baik-baik saja. Lelah dengan segala hadir yang tak pernah diinginkan. Selelah itu kak,"racaunya dalam tangisan. Dia menutup mulutnya. Tak membiarkan isakannya terdengar. Mendadak kaki gue lemas. Gue topangin diri ke tembok dengan mata menatap langit langit koridor rumah sakit.

"Maafin gue El, lo yang ngasih bahagia buat gue. Dan gue malah bales dengan nyumbang kesedihan. Gue parah El, gak pantes buat lo cinta. Gue separah itu El," gue megang dada kiri gue yang terasa sakit. Gue nggak tau alasan gue sakit. Apa ini rasa bersalah? Atau ini karena gue nggak bisa liat Ellen sedih dengan alasan dia sumber bahagia gue?

Arrghhh!

JURNAL GABELLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang