12

12 5 0
                                    


Sepulang rapat gue ngecek lagi handphone barangkali ada balasan dari gadisku. Ciellahh berasa punya pacar gue. Emang punya pacar neng. Pas gue lihat ponsel, gue sedikit terperangah. Bukan sedikit, gue emang terperangah banget. Gak ada balasan chat dari dia. Boro-boro balasan, centangnya aja cuman satu. Ya ampun, ini artinya??

Gue lari sekencang mungkin. Hujan mulai turun menjatuhkan diri dan menemui bumi. Tapi itu nggak bikin langkah gue berhenti. Gue takut terjadi sesuatu. Ya, sesuatu tentang Ellen pastinya. Perasaan gue udah nggak enak gitu.

Gue udah sampai di taman. Gue cari Ellen dimana-mana tapi nggak ketemu. Tentu aja ini bikin gue kalut. Gue acak rambut gue frustasi. Basahnya tubuh ini, gue udah nggak peduli. Ellen lo nggak dateng kan? Jangan dateng. Maafin gue.

Dari kejauhan gue lihat ada anak kecil yang lagi duduk di pinggir taman. Jelas ia menggigil. Nggak salah lagi!

"Ellen!" Gue langsung memeluk tubuh dia yang terasa kecil saat gue dekap. Dia mimisan. Wajahnya pucat.

"Kenapa lo nunggu gue padahal hujan?" Tanya gue parau. Percaya atau tidak gue lagi nangis. Untung hujan jadi Ellen gak akan tahu kalau seorang Gabriel nangisin seorang Ellen.

Ellen gak menjawab. Dia terlihat lemah, lemah banget. Gue langsung bopong dia ala bridal style. Tak hentinya gue merutuki diri gue yang bodoh ini.

***

"Gimana dok?" Tanya Bunda Feby, bundanya Ellen.

"Dia anak yang kuat. Tapi keadaannya benar-benar sudah tidak bisa ditolong, tim medis sudah menyerah untuk keadaan Ellen. Tinggal kita serahkan semuanya pada Pemberi Sakit," tutur dokter Gery. Hati gue mencelos. Ini gara-gara gue. Pasti gara-gara gue.

"Maafin Gab bunda," gue berlutut di hadapan bunda Lee yang udah gue anggep bunda sendiri. Bunda Lee sendiri yang minta begitu.

"Udah berdiri. Bunda justru makasih, berkat kamu Ellen jadi ceria. Sedikit melupakan leukimianya. Dia selalu bilang kalau kamu itu suplemennya dia. Dia emang gitu, nggak mau nunjukkin sedihnya ke orang lain. Dan untuk kejadian tadi, itu Ellen yang keras kepala. Dia malah copot batre di ponselnya biar dia bisa kabur dari rumah sakit," ucap Bunda Lee sambil senyum. Mungkin ia sedang mengingat keceriaan anaknya. Emang bener, Ellen anak yang sangat ceria.

"Yaudah bunda beliin makanan dulu ya, kamu belum makan kan?" gue cuman ngangguk dan gue ditinggal sendiri oleh bunda.

Sepi. Itu yang gue rasa saat memasuki kamar inap Ellen. Ia begitu damainya tertidur. Senyumnya seakan tidak mau menghilang dari bibir manisnya. Gadis malang yang ceria  sedikit banyak telah menyumbang cerita bahagia di alur hidup gue yang sedikit amburadul.

Sebenarnya gue suka gak si ma dia? Itu pertanyaan yang slama ini menghantui gue. Kenapa gue selalu kepikiran dia? Tapi sebagian hati gue menolak buat setuju kalau gue suka dia.

Setelah makan bersama bunda Lee dan Andi gue langsung balik ke rumah. Ada yang harus gue selesain.

"Baru darimana?" Tanya papa dingin. Dia emang nggak suka gue pulang telat apalagi tanpa ijin.

"Rumah sakit," jawab gue singkat dan tanpa mau mendengar kalimat papa selanjutnya, gue langsung masuk kamar. Gue lagi capek, capek sama keadaan kayagini. Gue pengen baikan sama papa dan jalani kehidupan yang harmonis kaya keluarga Ellen. Becanda tanpa paksaan. Serasa damai. Kenapa gue malah lebih nyaman berbaur sama keluarga Ellen?

Gak mau ambil pusing, gue ambil beberapa kanvas yang udah gue isi dengan lukisan hasil karya tangan gue. Jumlah seluruhnya ada sepuluh. Baru segitu. Ia harus menambah koleksi lukisannya. Ia ingin memberi sesuatu pada Ellen sebagai pengganti kencan yang gagal tadi.

"Gue harus ngomong yang sejujurnya sama lo," mantap gue. Gue ragu buat ini. Tapi membiarkan Ellen bahagia dalam kebohongan apakah baik untuknya? Menurut gue sih enggak.

Quotes

Aku nggak tau, sebenarnya hati aku benar-benar nggak suka atau hati aku menolak suka karena kenyataan takut kehilangan?

JURNAL GABELLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang