Tak perlu api untuk memantik bara di dada ini. Pemandangan di hadapanku cukup memunculkan lidah-lidah panas dari bara itu. Namun, aku hanya bisa terpana dan tulang-tulang berubah menjadi besi. Baru beberapa detik lalu Mama menyambut perempuan yang baru datang dengan pelukan hangat, seolah seorang ibu yang sangat rindu karena lama tidak bertemu anak kesayangan dan dengan ceria mengatakan, "Ini Hesa, Ay. Pasti kalian kangen banget, udah lama enggak ketemu, kan?"
Adegan berikutnya membuat napas ini tertahan serta mata membulat. Ayrin memeluk erat dan mencium kedua pipi Mahesa mesra. Walaupun, laki-laki itu segera mendorong tubuh Ayrin agar menjauh dan terlihat rikuh seraya beberapa kali melirikku, tapi aku tak mampu memadamkan api di dada yang terlanjur menyala. Ingin menjulurkan lidah-lidah api hingga mengenai wajah putih mulus berias cukup tebal itu. Sayangnya, tubuhku tak bisa diajak kompromi. Aku mengalihkan pandangan dari mereka ke dory berlumur saus keju di meja yang belum tersentuh. Mata ini terdiam di sana sampai Ayrin mendekat dan memanggil namaku dengan ramah.
"Runi! Ya Allah, apa kabar?" Perempuan itu menarikku hingga berdiri dan memeluk erat.
"Baik. Kamu apa kabar, Ay?" Agak kaku aku membalas pelukannya.
"Baik juga. Aduuuhh, kita mesti ketemuan berdua aja. Banyak cerita buat kamu. Kamu juga, kan?" Ayrin mengurai pelukan.
Aku tersenyum tipis menanggapinya. Kulirik Mahesa yang menatap kami. Ada keraguan di senyumnya. Mungkin ia khawatir dengan perasaanku. Walaupun kami sudah lama tak bertemu, tetapi suamiku itu sangat tahu apa yang ada di dada ini jika berhubungan dengan Ayrin.
"Duduk, Ay! Pesan makan dulu." Mama menunjuk ke kursi kosong sebelah Mahesa di hadapanku.
"O iya, ada sedikit oleh-oleh." Ayrin mengeluarkan beberapa barang dari tote bag-nya. "Ini buat Mama dan kamu, Run."
"Aduuhh, parfum favorit Mama! Kamu masih ingat aja, Ay." Sangat girang, Mama menyambut oleh-oleh itu, yang menurutku agak berlebihan. Oleh-oleh parfum hal yang biasa, tidak ada istimewanya, kan?
"Ay Enggak akan pernah lupa, Ma. Mama udah kayak mamaku sendiri. Pokoknya, Mama mau apa, jangan ragu minta aja, pasti Ay kasih. Ay sayang banget sama Mama."
Aku tersekat. Dia yang bukan siapa-siapa saja sangat sayang kepada mama mertuaku. Sementara aku? Namun, bagaimana rasa sayang bisa muncul kalau setiap kami bertemu Mama berkata ketus? Baru kali ini saja Mama mendadak ramah dan hangat padaku. Entah kenapa.
Aku tertegun. Tidak semestinya aku curiga seperti itu kepada Mama. Mungkin ini titik awal aku dan Mama menjadi akrab. Suatu saat aku pasti bisa menyayanginya seperti Ayrin, bahkan lebih. Bukankah itu yang selama ini aku inginkan? Aku menarik napas panjang perlahan. Hanya bisa berdoa semoga saja yang kuharapkan terkabul.
"Nah, kalau ini spesial buat kamu, Sa." Suara Ayrin yang sudah duduk kembali di samping Mahesa, terdengar agak genit.
Ayrin menggeser kursi lebih mendekat kepada Mahesa. Ia memasangkan topi sofbol hitam berlogo merek sepatu terkenal ke kepala Mahesa yang tampak berusaha menolak dengan risi. Namun, Ayrin bergerak lebih cepat. Tanpa dapat dicegah, setelah topi terpasang, kedua tangan Ayrin turun dan mengusap lembut pipi Mahesa.
"Kamu enggak banyak berubah. Hampir sama seperti dulu. Ganteng dan memesona," kata Ayrin pelan.
Tubuhku makin kaku. Lidah api yang sempat mereda, kembali meradang. Panasnya cepat sekali menguasai dada. Aku merasa Mahesa tidak berusaha lebih keras menghindari Ayrin.
"Eh, makasih ya, Ay." Mahesa menepis perlahan kedua tangan Ayrin. Ia mengambil daftar menu dari meja dan menyerahkan kepada Ayrin yang masih menatapnya terpesona. Sepertinya, ia berusaha mengalihkan perhatian Ayrin. "Kamu pesan makan dulu aja. Ini menunya."
"Kalau kamu pesan apa, Sa?" Ayrin melirik makanan Mahesa, tanpa menghiraukan daftar menu tersebut. "Aku ikut pesan yang seperti kamu aja, deh. Aku juga masih sama seperti dulu, selalu suka dengan apa yang kamu suka."
Aku menatap keduanya tak berkedip. Ingin kuberteriak di depan wajahnya. Hei, Ay! Aku istrinya! Berani sekali ia memperlakukan suamiku seperti itu, seolah aku tak ada! Ya, Allah! Panas di dada mulai naik ke kepala. Mungkin sebentar lagi muncul asap dari ubun-ubunku!
Jika tahu begini, aku tidak akan memilih ke restoran ini, menerima undangan makan malam dari Mama. Lebih baik bertemu beberapa teman kuliahku yang lama tak jumpa karena aku tidak sering ikut Mahesa bertugas ke luar kota termasuk Jakarta, kota yang sedang aku kunjungi ini. Sangat menyesal aku memilih mengecewakan teman-temanku itu. Bukan! Bukan karena itu. Melainkan karena menyaksikan kehadiran Ayrin yang tiba-tiba di acara makan malam kami!
Mata Ayrin, perempuan modis itu, kembali tertancap ke wajah Mahesa yang tersenyum rikuh. Lagi-lagi Mahesa melirik ke arahku, entah untuk keberapa kali. Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk bersamaan dengan terdengar suara Mama yang meminta putra tunggalnya memanggil pramusaji restoran.
"Sekalian kamu pesankan makanan buat Ayrin ya, Sa. Ay, minumnya apa? Sama juga seperti Hesa?"
"Iya, Ma. Kita kan kompak sejak dulu. Ingat enggak, Ma? Dulu kan ...." Ayrin mulai bercerita tentang masa lalunya bersama Mahesa. Mereka memang berteman sejak kecil karena bertetangga. Ayrin kerap ke rumah Mahesa. Sikap dan parasnya menarik perharian Mama.
"Iya sih. Habis kamu lucu, cerewet, dan cantik." Mama menimpali.
Percakapan Ayrin dan Mama berlanjut diselingin tawa kecil. Sementara aku terdiam, tak tahu harus melakukan apa karena lebih sering tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Lagi pula mereka sama sekali tidak melibatkanku dalam pembicaraan. Aku bak berada di planet lain, sendirian dan tak terjangkau radar mereka.
Mahesa memang terlihat berusaha melibatkan aku, membuat stok kesabaran di hati bertambah, walaupun dengan pintar Ayrin mengalihkan lagi ke hal lainyang membuatku kembali tersingkir. Namun, ada satu peristiwa yang membuatku benar-benar tak bisa menerima. Ketika itu Mama meminta Mahesa mengantarkan Ayrin ke tempatnya menginap. Pak Subur, sopir Mama, terjebak macet sehingga tak bisa segera sampai di restoran tempat kami janjian makan malam. Jadilah aku diminta Mama menemaninya ke hotel tempat kami menginap dengan menggunakan taksi online. Mama beralasan kurang enak badan tidak kuat kalau harus ikut Mahesa mengantarkan Ayrin dulu bahkan menunggu Pak Subur.
Aku merasa itu hanya akal-akalan Mama saja untuk memberi kesempatan Mahesa berdua-duaan dengan Ayrin. Mama lebih banyak mengobrol melalui telepon dengan beberapa teman sosialitanya dibandingkan terdiam lemah layaknya orang kurang sehat. Tingkahnya ceria sepanjang perjalanan dalam taksi online. Sementara hatiku menguncup membayangkan Mahesa hanya berduaan dengan Ayrin di mobil kami dalam kemacetan. Aku tidak bermaksud mempertanyakan kesetiaannya. Namun, aku ada di antara mereka saja, perempuan itu bertingkah keterlaluan. Kali ini, bukan hanya asap yang berembus dari ubun-ubunku tetapi lidah api menjilat kesabaranku hingga tinggal seujung kuku. Aku benar-benar tidak rela! Aku cemburu! Sangat!
* Bersambung *
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berhaji
General FictionSalah satu impian terbesar Seruni adalah berhaji bersama pasangan halal. Namun, takdir berkata lain. Dia berhaji sendirian dengan pemandangan kemesraan mantan suami dan istri barunya. Mampukah Seruni melaluinya? 🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛