Part 7. Perempuan di Ranjang Kami

2.1K 111 112
                                    

Matahari belum terlalu tinggi pada hari keempat kami di Bali. Jam di telepon genggamku baru beranjak dari angka delapan. Aku sudah berjalan sendirian di pantai sejak pukul tujuh tadi, meninggalkan Mahesa yang sedang di kamar mandi bersiap-siap untuk bertugas. Bukan untuk menikmati suasana pantai yang cukup lengang karena masih jauh dari masa liburan, bahkan aku tak menghiraukan deburan ombak dan embusan angin pantai yang lumayan kencang. Embusan angin itu pasti menerbangkan kerudungku jika tak ditahan oleh cangklongan tas marun kecil. Aku sedang menenangkan diri, menjauh dari mereka yang membuatku merasa tidak diinginkan.

Tadi pagi bukanlah pagi menyenangkan. Pagi membisu karena Mahesa tidak banyak bicara setelah semalam kami berdebat cukup hebat . Belum pernah terjadi perdebatan seperti itu sebelumnya. Entah kenapa aku yang biasanya banyak terdiam,  tak mampu menahan emosi. Semua yang selama ini kupendam, keluar begitu saja dari mulutku.

Aku berjalan perlahan, menatap lautan. Kulihat makin jauh makin biru warnanya. Ombak yang tidak terlalu besar berlarian mendekat menyapu bibir pantai dan meninggalkan buih-buih putih sesaat sebelum menghilang terserap pasir halus membasah.

Tiba-tiba sudut mataku mendeteksi sepasang manusia berjalan bergadengan. Mungkin mereka pengantin baru yang sedang berbulan madu. Si perempuan bergelayut manja. Bibir dan matanya tersenyum. Sang lelaki terpantau berkata-kata, entah apa, membuat si perempuan melirik tersipu-sipu. Sang lelaki tergelak sambil merengkuh bahu pasangannya. Mereka mendekatiku dengan sisi-sisi tubuh melekat erat. Wajah keduanya seolah tidak mampu menahan sinar matahari yang bersembunyi di sana. Semestinya kami, aku dan Mahesa, pun begitu. Aku tidak sendirian di sini. Bukankah kami sedang napak tilas, menelusuri bulan madu kemarin dulu?

Kutarik napas dalam-dalam sambil memejam. Teringat hal yang menyebabkan kami berdebat semalam. Aku protes keras karena merasa sangat terganggu dengan kehadiran Ayrin. Perempuan itu membuat stok kesabaranku habis. Ia hampir selalu hadir saat Mahesa memiliki waktu luang yang sedikit di antara kesibukannya membantu Papa. Entah dengan mengajaknya makan, minta ditemani belanja, atau jalan ke pantai.

Aku tahu, Mahesa sulit untuk menolak karena semua itu didukung Mama, seperti yang ia katakan dalam debatnya. Mama memang selalu menjadi pemicu ketegangan di antara kami selama sepuluh tahun ini. Sejak pertama bertemu Mama, aku tak pernah merasa nyaman. Tingkah laku perempuan cantik—aku jadi tahu darimana suamiku mendapatkan gantengnya—dan dominan itu terlihat jelas tidak begitu suka ketika Mahesa minta restu untuk menikahiku.

Mungkin awalnya kaget, karena anak semata wayang, anak kesayangan, tiba-tiba datang membawa seorang perempuan tak dikenal dan berucap, "Ma, Hesa mau minta restu Mama untuk menikahi Runi. Boleh ya, Ma?"

Aku sendiri kaget ketika Mahesa mengatakan itu. Aku tak menyangka begitu diajak bertemu Mama pertama kali, ia langsung meminta restu menikahiku. Memang seminggu sebelumnya, ketika laki-laki beralis tebal itu mengatakan ingin lebih dekat dengan menjadi kekasihku, aku menolak. Aku mengatakan, "Hesa, enggak ada pacaran di Islam. Allah enggak suka kita melakukan itu. Dan aku enggak ingin melakukan apa yang enggak disukai-Nya."

"Terus, aku harus gimana supaya bisa lebih dekat denganmu? Aku sayang kamu, Run."

Sesungguhnya, saat itu aku seolah berada di taman. Ada banyak bunga berwarna-warni yang indah dan harum di sekitar dikelilingi oleh banyak kupu-kupu. Aku melompat-lompat kecil tersenyum lebar di sana.

Hanya saja, sejak mengenal Hilma, aku memang tak pernah berniat pacaran. Aku tidak ingin mengundang noda yang bisa mengotori hati. Jadi, aku menjawab sambil tertawa pelan  main-main, "Ya, kamu lamar aku dong, Sa."

Ketika Hati BerhajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang