Kedua alisku menjauhi mata. Apa pula maksudnya meminjam suami orang? Mahesa itu manusia bukan benda mati yang bisa seenaknya dipinjam-pinjam. Bahkan kalaupun ia benda mati tetapi sangat kusuka, belum tentu kupinjamkan. Ini suami!
Tanpa sadar aku meraih dan membungkus erat jemari Mahesa. Ia membalas sama eratnya. Kulirik lelaki itu. Mulutnya terkatup rapat. Senyum yang tadi mengembang, menghilang entah ke mana. "Mau apa sih, Ay! Aku lagi sibuk!"
Jawaban Mahesa menambah sedikit ruang kosong di dada. Bulir-bulir udara yang tadi agak tertahan, lebih lancar mengalir di sana.
"Itu, Sa. Mama minta kamu pasang video di layar. Aku coba dari tadi enggak bisa masuk."
"Masa seperti itu aja kamu enggak bisa?"
"Beneran enggak bisa, Sa. Aku enggak biasa pake Macbook."
Mahesa bergeming, menatap tajam Ayrin. Perempuan itu menatap kami bergantian dengan rahang mengeras sebelum berlalu. Setelah Ayrin menjauh, pandangan Mahesa beralih padaku. Senyum lembut terukir lagi di wajahnya. Ia menarik tubuhku mendekat dan pelukannya menyelimuti diriku. Dadaku kembali benderang. Mahesa menepati janjinya seusai mengantarkan Ayrin di Jakarta tempo hari.
"Sa! Hesa!" Suara Mama mengurai pelukan Mahesa. "Coba tolong tayangkan video di layar. Dari tadi Mama lihat Ayrin mengotak-ngatik sendirian, enggak bisa-bisa. Lagian kalian malah diam di sini, bukannya menemani Ayrin. Dia kan tamu juga, Sa."
"Iya, Ma." Hesa menarik tanganku mengikuti Mama mendekat kepada Ayrin.
"Ay, sudah! Biar Hesa aja yang coba tayangkan videonya. Ikut Mama aja, yuk! Sekalian bantu rias wajah Mama. Sebentar lagi Magrib. Kita salat dulu."
Ayrin melirikku dengan senyum tipis seraya mengikuti Mama. Ketika berjalan dagunya diangkat tinggi sepertinya bangga karena ia yang dipilih bukan aku. Namun, aku tak terlalu memikirkan itu. Pilihan Mama sudah benar. Beliau ingin dirias, sangat tepat jika memilih Ayrin. Sejak SMA, perempuan itu sudah sangat mengenal berbagai variasi merias wajah. Sementara aku sampai sekarang hanya akrab dengan pelembab, bedak tabur, dan sheer lipgloss agar bibir tidak terlalu kering dan pucat.
Jadi, kuputuskan mengamati Mahesa yang sedang berkutat menyambungkan kabel data dari laptop ke proyektor. Itu juga tidak lama. Video tayang dengan jelas di layar besar bersamaan dengan azan Magrib yang berkumandang dari masjid dekat rumah Mama.
"Kamu mau ikut ke masjid atau mau salat Magrib di sini?"
Aku memilih ikut ke masjid bersama Mahesa. Toh tak ada hal lain yang bisa kukerjakan lagi di rumah ini. Semua persiapan sepertinya sudah beres. Daripada salat sendirian, lebih baik berjamaah di masjid. Kami pun tinggal di masjid sampai salat Isya.
"Sekalian aja ya, Run. Biar tenang. Mau sampai malam banget juga di rumah Mama enggak masalah. Jadi, nanti kita enggak perlu salat Isya lagi di rumah. Bisa langsung kangen-kangenan, deh." Mahesa melirikku sebelum masuk ke halaman masjid. Tatapannya menggoda.
"Ih!" Mataku memelotot. Namun, tak bisa berlama-lama karena hati memaksa mulut ini menguncup menahan senyum. "Sudah dekat masjid, mau ketemu Allah, kok masih bilang begitu, sih."
Lelaki itu tertawa pelan. Ia meraih bahu dan mencium ubun-ubunku sekilas. "Lho, itu juga salah satu ibadah. Allah suka, kok. Kenapa harus "ih" segala."
Aku tersenyum-senyum sendiri mengingatnya saat menunggu salat Isya. Dada seolah dibelai lembut angin semilir yang mengembangkan hati. Ditambah siraman air wudu yang sejuk membasahi beberapa bagian tubuh, kekesalan yang tadi sempat terpicu, sama sekali tak memperlihatkan wujudnya lagi.
Hati makin mengembang sewaktu kami kembali menuju rumah Mama. Mahesa tak pernah melepaskan genggaman di jemariku. Walaupun melangkah dalam diam, tetapi hati kami seolah terkoneksi. Aku merasakan denyutan bahagia dari kehangatan tangannya yang menjalar cepat membalut setiap inci kulit tubuhku.
Doa terlafal dalam hati begitu saja, memohon agar bisa tetap seperti ini. Rasanya aku bersedia melakukan apa pun untuk mempertahankannya. Aku tidak peduli dengan kehadiran perempuan cantik itu. Kami sudah mampu bertahan sampai sekarang walaupun Mama terlihat masih belum merestui sepenuhnya. Aku tidak ingin apa yang sudah diperjuangkan sia-sia. Semoga Mahesa pun merasakan hal yang sama.
Memasuki halaman rumah Mama yang luas, kulihat beberapa mobil sudah terparkir rapi di sana. Rupanya para tamu mulai berdatangan. Mahesa mengajakku lebih cepat memasuki rumah. Tadinya kami berniat masuk melalui pintu samping, lewat belakang rumah. Namun, Mama yang berdiri di dekat pintu depan, memanggil, "Hesa! Sini!"
Aku mencoba melepaskan genggaman Mahesa, bermaksud membiarkannya mendekati Mama sendirian. Toh hanya Mahesa yang dipanggil Mama. Jadi, aku merasa tidak perlu ikut mendekat. Aku tidak ingin rasa canggung mengganggu hati yang sedang mengembang sempurna. Mahesa malah mengeratkan genggaman. Ia mengajakku mendekati Mama.
"Ini Hesa, Las." Mama mengenalkan Mahesa kepada seorang perempuan berbaju kuning kunyit dengan taburan kerlip-kerlip yang berdiri di hadapan Mama. "Sa, ini Tante Lastri, teman kuliah Mama."
"Wah, makin ganteng aja. Saya ingat kamu waktu masih SD, memang sudah ganteng dari kecil." Perempuan itu bersalaman seraya menatap Mahesa takjub. Tidak lama, ia mengalihkan pandangan ke arah Ayrin yang berdiri di dekat Mama. "Memang cocok sekali dengan kamu, siapa namanya tadi?"
"Ayrin, Tante," jawab Ayrin ceria.
Aku mengangkat alis, tidak mengerti dengan apa yang teman Mama ucapkan. Kenapa Ayrin yang dibilang cocok dengan Mahesa?
"Eh, ini Seruni, Tante Lastri. Istri saya." Untunglah Mahesa segera memperjelas posisiku.
"O, maaf. Saya pikir Ayrin yang istri kamu." Tante Lastri menatapku tersenyum. Tangannya terulur mengajak bersalaman.
Aku tersenyum tipis yang bisa jadi terasa masam dalam pandangannya. Bagaimana tidak masam. Sejak tadi Mahesa sama sekali tidak melepaskan genggaman di tanganku. Apa ia tak menyadari? Bagaimana mungkin seorang lelaki berpegangan tangan dengan perempuan lain di depan istrinya? Sepertinya Tante Lastri lupa tidak menggunakan kacamata. Aku jadi penasaran seperti apa Mama memperkenalkan Ayrin kepada temannya itu.
Tak perlu lama, aku menyaksikan bagaimana Mama dengan ramah memperkenalkan Mahesa kemudian Ayrin kepada tamu-tamu yang berdatangan. Selalu Mahesa kemudian Ayrin. Beliau terlihat bangga. Aku diperkenalkan juga, tetapi hanya kepada mereka yang bertanya, "Kalau ini siapa?" Pantas saja para tamu menyangka Ayrinlah istri Mahesa.
Baiklah. Mungkin lebih baik aku menyingkir saja. Supaya Mama makin leluasa dan puas melakukan apa yang ia mau. Daripada hatiku membusuk di sini, menyaksikan kegembiraan yang tak mampu menulariku. Hati ini menciut. Melalui ekor mata kerap terpantau lirikan Ayrin dengan sorot penuh kemenangan.
Ketika Mahesa berpelukan dengan salah seorang kerabat, perlahan aku menjauh. Kaki-kakiku otomatis membawa ke halaman belakang. Di sana terdapat kolam ikan koi yang sangat terawat dikelilingi berbagai tanaman yang menambah keasrian. Temaram lampu taman di beberapa titik pasti membuat keindahannya makin terasa. Jika saja hati sedang senang. Namun, hati ini sudah sejak tadi menciut mengaburkan keindahannya. Gemericik air serasa mengalunkan lagu melankolis mengundang turunnya rintik-rintik air di dada.
"Runi!"
Tersentak, aku menoleh. Ayrin berdiri tidak jauh dari tempatku duduk di bebatuan bibir kolam.
"Kamu lihat, kan? Siapa sebenarnya yang lebih pantas menjadi pendamping Hesa. Kalaupun kamu bilang "tidak" untuk permintaanku kemarin itu, kamu enggak akan bisa membuat keadaan berubah sehingga lebih pantas menjadi pendampingnya. Jadi, tanpa izinmu aku tetap akan melakukan apa yang kuminta."
Mataku membulat. Aku terkesima.
* Bersambung *
🕋💛🕋💛🕋
Salam,
Sesuai janji, teman-teman tidak perlu menunggu lama Runi, Hesa, dan Ayrin datang lagi ke sini.
Duh, Ayrin! Ada apa sih dengan kamu? Bikin gara-gara terus?
Sabar ya, Run. Jangan emosi. Tenangkan diri dulu sebelum kamu bereaksi atas kengototan Ayrin.
Seperti apa reaksi Runi?
Bisa dibaca pada part selanjutnya yang semoga hadir tidak terlalu lama 😁.
Salam hangat dari hati terdalam.
Puspa Kirana
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berhaji
General FictionSalah satu impian terbesar Seruni adalah berhaji bersama pasangan halal. Namun, takdir berkata lain. Dia berhaji sendirian dengan pemandangan kemesraan mantan suami dan istri barunya. Mampukah Seruni melaluinya? 🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛🕋💛