Part 3. Selingkuh Hati

2.9K 131 75
                                    

Saat napas berhasil kembali kugenggam, tubuh ini terasa goyah karena terbata-bata menangkap udara yang seolah berlarian menghindar. Dengan sisa-sisa energi, lengan-lengan maya hidungku mengulur sepanjang mungkin mencoba menjaring udara sebanyak yang mereka mampu. Begitu tubuh menjejak lebih kuat lagi di sofa Morning Sunshine, hal pertama yang menghampiri benak adalah janji yang diucapkan suamiku malam itu.

Malam itu, sepulang mengantarkan Ayrin dari restoran tempat kami makan malam, Mahesa memelukku begitu pintu kamar terbuka. "Run, maafkan aku. Aku enggak bermaksud membuatmu seperti ini."

Mungkin ia melihat aku seperti orang yang kalah perang. Wajah layu, bahu membungkuk, dan mataku menghindar dari miliknya. Menunggunya dengan kepala dibombardir tayangan berbagai hal yang bisa terjadi di antara mereka di mobil kami, menguras hampir seluruh energiku.

"Run ...," desah Mahesa. "Tolong dengar aku."

Aku tidak menolak pelukannya, tetapi tidak membalas. Hati kecilku seolah menyihir tubuh ini menjadi batu. Wangi parfum maskulin yang sangat kusuka dan hangat tubuh Mahesa tidak mampu membujuk hati kecil itu mengurangi kemarahannya.

Mahesa mengurai pelukan dan membimbingku duduk di pinggir tempat tidur. "Run, kalau tahu akan ada Ayrin, aku pasti menolak saat Mama mengajak dinner. Aku juga kaget dengan kehadiran dia. Kamu pasti marah karena aku mengatarkan Ayrin pulang, kan? Tapi, Mama ibuku, Run. Aku khawatir menyakitinya kalau menolak apa yang Mama minta."

Ada yang Mahesa tidak tahu. Walaupun energiku nyaris punah, sekepal bom bertahan di dada, yang bisa meledak saat ada yang menarik picunya. Dan, laki-laki di sampingku baru saja melakukan itu dengan mengatakan dua kalimat terakhirnya.

"Tapi permintaan seperti apa yang harus dikabulkan? Berduaan dalam mobil di kemacetan dengan perempuan bukan mahram dalam kondisi tidak urgent, bukan salah satunya, Sa! Bahkan terlarang! Apa kamu enggak sadar? Dia terus kasih perhatian ke kamu dan melakukan hal yang enggak boleh dilakukan perempuan kepada laki-laki yang bukan suaminya!" Bom itu meledak.

Aku berdiri menatap langsung ke bola matanya. Berkata-kata panjang lagi tajam dalam satu tarikan napas dengan energi tersisa membuatku terengah-engah. Selain itu, ledakan bom tersebut tidak hanya membobolkan tanggul pertahanan mulutku mencegah kata-kata itu terucap, tetapi juga memburamkan pandanganku.

Ingin kumelanjutkan mengeluarkan pecahan-pecahan bom yang berserakan di dada. Dan, kenapa tak serius menghindar saat dia mesra sama kamu? Karena Ayrin sangat menarik, cantik, modis, kaya, dan Mama maunya dia yang jadi istrimu, kan? Ah, Hesa ... kalau begitu kenapa dulu enggak kamu batalkan aja pernikahan kita. Waktu dia memohon-mohon sama kamu untuk menundanya. Sekalian aja nikahi dia. Mama pasti bahagia karena bisa menimang cucu. Jadi, kamu enggak perlu kaget dan khawatir menyakiti mama seperti tadi!

Hanya saja, mulut ini otomatis terkunci begitu satu tanggul lagi pecah karena tusukan pisau yang tiba-tiba muncul di dada sewaktu membayangkan Mahesa meninggalkanku. Air hangat berlomba-lomba membasahi pipi. Aku memejam seraya menguatkan rahang agar tidak tersedu-sedu.

"Run, Ya Allah. Maafkan aku."

Kurasakan kedua tangannya menarikku pelan dan memeluk lagi. Kali ini lebih erat. Aku juga merasakan belaian pelan di punggung dan embusan napas di sekitar pelipis karena Mahesa menempelkan bibirnya agak lama di sana.

"Enggak ada apa-apa selama di mobil, Run. Memang dia sempat kelihatan mau berulah. Tapi aku bilang, kalau masih seperti itu, aku akan meminggirkan mobil dan mempersilakan dia turun saat itu juga."

Aku ingin percaya. Namun, hati kecilku mengingatkan. Itu bukan sifat Ayrin. Perempuan itu selalu berusaha keras untuk mendapatkan keinginannya. Rasanya ada yang salah, hanya dengan kata-kata yang Mahesa ucapkan, Ayrin menurut begitu saja.

Ketika Hati BerhajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang