Part 6. Napak Tilas

2.1K 111 34
                                    

Aku membolak-balik dua flier biro perjalanan haji. Bersama Mahesa, aku baru saja meninggalkan parkiran biro perjalanan haji yang disarankan kolega Papa. Sebelumnya kami juga sudah ke tempat yang disarankan Rezly, teman sesama dosen yang tahun ini mendapat panggilan berhaji. Tebersit rasa iri melihat kegembiraannya. Sejak lama berhaji menjadi salah satu mimpiku.

Berawal dari kedekatanku dengan Hilma, tetangga dan teman sepermainan masa kecil. Ketika kedua orangtuanya pulang berhaji, aku sempat ikut mendengar cerita mereka. Mereka, terutama ibunya, memang sering mengajak kami berbincang. Tidak jarang Ummi, panggilan Hilma dan kakak-kakaknya kepada sang ibu, ikut bermain bersama kami. Di sela-sela permainan, dengan sangat lembut dan tidak kentara ia menyelipkan nasihat-nasihat berlandaskan agama. Darinya aku mengenal Islam lebih dalam. Setiap menemukan hal baru tentang Islam, saat belum paham aku berlari padanya. Ummi dan Hilma juga orang pertama yang mendukungku berhijab sewaktu kuliah. Di keluargaku, akulah yang pertama berhijab dan bersyukur tidak lama setelah itu Ibu dan Kintan mengikuti jejakku.

Cara Ummi bercerita tentang agama tidak membosankan dan kerap meninggalkan kesan mendalam. Begitu juga saat ia mengisahkan perjalanan hajinya. Berkali-kali mataku membelalak saking menariknya. Satu hal yang tak pernah hilang dari ingatan dan menguasai benakku yang kala itu duduk di kelas X adalah bagaimana Ummi mengungkapkan perasaannya berhaji bersama Abi, ayah Hilma. Ia merasa cinta keduanya makin besar bukan hanya di antara mereka tetapi juga kepada Allah. Aku menyaksikan mereka makin mesra sepulang berhaji.

Tiba-tiba klakson mobil di belakang kendaraan kami membawa pikiranku kembali ke masa kini. Sepertinya Mahesa telat menginjak gas saat  lampu merah berubah hijau. Dengan ekor mata, aku melihatnya baru saja menaruh ponsel di tempat receh. Laki-laki itu berkonsentrasi menatap jalanan yang sudah kosong sewaktu melajukan mobil kami. Sementara  Dua flier biro perjalanan haji di pangkuanku menguasai netra. Sekali lagi kubolak-balik keduanya, tetapi kebingungan belum teratasi. Keduanya tampak sama bagus.

"Mutiara Kalbu aja kali ya, Sa?" Kuacungkan satu flier mendekat ke wajah Mahesa yang sedang mengemudi. Ia hanya melirik.

Aku melihat-lihat ulang kedua flier tadi. Walaupun belum menemukan keunggulan dari masing-masing biro perjalanan haji, tetapi entah kenapa hati sudah terpaut kepada Mutiara Kalbu, saran dari kolega Papa. Mungkin karena ada tambahan kata-kata, "Pembimbingnya bagus. Sangat perhatian, tak pernah membiarkan jemaah kebingungan. Semua yang kita tanyakan atau kebutuhan kita, terpenuhi dengan baik."

"Sa, Mutiara Kalbu aja, ya?" Sekali lagi kuucap tanya dengan suara lebih keras. Mungkin tadi pertanyaanku tidak terlalu jelas terdengar, tertimpa lagu yang sedang diputar audio mobil.

Kulihat mulut Mahesa membuka seperti akan menjawab saat ia melirikku lagi, ketika ponselnya berbunyi. Laki-laki itu batal berbicara. Ia memakai earphone yang sudah terpasang di ponsel dan mengecilkan volume audio mobil sebelum menerima panggilan telepon.

Aku melirik layarnya dan mengerti. Nama Papa tertulis di sana. Mahesa tak pernah membiarkan tidak terjawab panggilan telepon dari kedua orangtuanya. Ia mengatakan, "Kalau enggak penting, mereka pasti kirim pesan bukan telepon langsung."

Percakapan berlangsung sebentar saja setelah Mahesa mengatakan, "Lagi di jalan, Pa. Iya, nyetir."

Begitu percakapan berakhir, laki-laki beralis tebal itu berkata," Run, minggu ini jadwal ngajar kamu bisa digeser, enggak?"

"Kenapa?"

"Aku diajak Papa ke Bali, lusa. Lima hari. Ikut yuk! Napak tilas."

Napak tilas! Napasku tertahan sejenak. Rasa haru seketika membuncah di dada. Ingatanku terbang ketika aku berkunjung pertama kali ke sana. Berdua saja dengannya untuk berbulan madu. Selama seminggu tak ada yang mengganggu. Waktu memanjakan kami dengan permainan kasih yang begitu memukau sehingga seminggu terasa hanya sekejap. Dalam bahagia dan berbunga-bunga, kami kembali ke Bandung walaupun hati agak kecewa. Aku sampai bertanya-tanya dalam hati, kenapa setiap berdua dengannya, waktu serasa berlari. Tiba-tiba saja semuanya sudah berakhir.

Ketika Hati BerhajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang