10. Penghianatan

18 2 0
                                    


🌾🌾🌾

Inginku berkata seperti lirik lagu Judika

"Seandainya kamu mersakan jadi aku sebentar saja...takkan sanggup hatimu terima sakit ini begitu parah"

Tapi apalah dayaku, aku hanya berani menyimpan tanpa harus
mengungkapkan.

🌾🌾🌾

Inginku berkata 'aku lelah dengan keadaan ini'. Sampai kapankah ini akan berakhir, sanggupkah aku bertahan lebih lama lagi.

Akankah kujumpai bahagia sebelum hari itu tiba?

Akankah cintaku terbalas sebelum Allah menjemputku ke sisinya?

Ataukah aku tidak pernah mendapatkan bahagia hingga akhir hidupku?

Apakah terlalu tidak pantaskah aku merasa bahagia?

Bait demi bait kalimat kutuliskan sebagai pelipur laraku sebagai teman dari kesepianku. Tak banyak yang bisa ku lakukan. Terkadang hanya melakukan aktivitas yang berat saja tubuhku langsung nge-drop. Tak ada tempatku mengadu selain pada-Nya.

Sebulan sudah aku menjalani perawatan tanpa diketahui oleh siapapun termasuk mas Faiq, keluarga dan sahabat-sahabatku. Mengingat tentang sahabatku, aku jadi merindukkan mereka. Sumpek, sesak rasanya jika hari-hariku kulewati di sini tak ada aroma lain yang memasuki indera penciumanku selain bau obat-obatan yang memuakkan. Aku sudah sangat tidak betah. Dengan segala alasan akhirnya dokter memperbolehkanku untuk pulang dengan syarat selalu meminum obat dan istirahat yang cukup tidak lupa juga tidak boleh melakukan aktivitas yang berat-berat.

Setelah keluar dari rumah sakit aku tidak langsung pulang tapi justru memilih untuk menemui teman-temanku, karena aku sudah teramat merindukan mereka.

Kamipun bertemu di sebuah kafe. Berbincang-bincang melepas rindu.

"Za, kamu kemana ada Za? Kok nggak ada kabar sebulanan ini? Apa kamu baik-baik aja Za? Kalau ada masalah cerita aja jangan disimpan sendiri". Ucap Nia cemas.

"Ahahahaha...sebulan aja aku nggak ada kabar kalian udah rindunya kagak ketulungan apalagi kalau aku udah nggak ada". Ucapku tanpa sadar.

"Kamu ngomong apa sih Za, kaya orang mau meninggal aja pake bilang udah nggak ada" Ucap Hanna marah.

"Tau tuh Za, nggak boleh bilang kek gitu Za, kamukan tahu ucapan itu adalah doa, kok kamu ngatain yang nggak-nggak kamu gimana sih?" Sambung Isya.

"Iya nih, pokoknya kamu nggak boleh ngomong yang macem-macem...titik" Tambah Dini.

"Kalau kamu ngomong kek gitu lagi lebih baik kita nggak usah temenan lagi" Sambung Dini lagi.

"Sayang deh..". Ucapku yang tanpa sadar meneteskan air mata bahagia.

Merekapun menghambur ke dalam pelukanku. Saling menguatkan, menyayangi dan memahami, itulah kami bukan perbedaan yang membuat kami bertengkar tapi karena ucapan yang tidak enak didengar yang terkadang membuat kami saling memarahi.

Aku beruntung memiliki orang-orang seperti mereka yang begitu menyayangiku, yang masih perduli tentang keberadaanku.

Setelah 4 jam lamanya kami berkumpul, akupun memutuskan untuk pulang ke rumah.

Takdirku MemilihmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang