"Kamu blasteran ya?"
Eh?
Aku mengernyitkan dahi bingung menatap HRD yang yang tengah mewawancaraiku ini. Perasaan wujudku manusia deh bukan permen belang-belang.
"Nggak, Pak, saya asli Indo kok," jawabku.
"Nama kamu Karunia Miderlani. Miderlani-nya ini marga atau gimana?" tanyanya lagi sambil membaca keterangan nama di CV-ku.
Ooh karena itu... "Itu singkatan dari waktu kelahiran saya, Pak. Miderlani itu kependekan dari middle december sembilan lima," tuturku.
Beliau tersenyum mendengar penjelasanku. "Kreatif juga ya orang tua kamu," ujarnya.
Aku mengakui dalam hati. Papaku memang orang yang kreatif dan inovatif. Kalau ada barang yang rusak aja nih ya di rumah, bisa langsung diperbaiki dengan beragam cara sama Papa. Atau terkadang kalau udah gak bisa diperbaiki lagi ya disulap jadi suatu benda dengan fungsi baru.
Namaku ini saja hasil dari kreativitasnya merangkai kata. Aku lahir di tanggal 17 Desember 1995 dan dari situlah dia memperoleh inspirasi nama 'Miderlani', gabungan dari English dan Bahasa Indonesia yang artinya pertengahan Desember tahun 1995.
"Kamu lulus lima bulan lalu ya berarti? Coba ceritakan setelah lulus kegiatan kamu apa saja?"
"Setelah lulus saya aktif mencari lowongan pekerjaan, Pak. Selain itu saya juga mengisi waktu dengan menjual beberapa barang handmade pesanan orang yang biasanya untuk kado, Pak."
Beliau mengangguk-anggukkan kepalanya. "Belum pernah ada pengalaman kerja setelah lulus ya berarti?"
Aku mengangguk. "Kalau bekerja sebagai pegawai tetap setelah lulus memang belum pernah, Pak. Tapi saya pernah beberapa kali freelance di beberapa tempat seperti di kampus, PT Powerindo, dan biro konseling, Pak."
"Oh yang kamu tulis disini ya. Boleh coba diceritakan pengalaman kamu selama freelance."
"Kalau di kampus saya freelance sebagai sekretaris marketing, Pak. Lebih rincinya sih kerjaan saya sosialisasi ke sekolah-sekolah atau event tertentu dan mengenalkan tentang universitas kami ke masyarakat. Di PT Powerindo, saya freelance sebagai resepsionis menggantikan yang cuti melahirkan. Kalau di biro psikologi saya jadi admin yang bertugas menyusun jadwal kerjasama antara biro tersebut dengan beberapa perusahaan ataupun lembaga pendidikan."
Beliau menganggukkan kepalanya mendengarkan penjelasanku. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan umum dalam setiap wawancara seperti berapa besar gaji yang kuharapkan, rencanaku bila diterima di perusahaan ini, dan lain sebagainya. Aku sampai jadi hafal dengan pertanyaan-pertanyaan itu karena sudah beberapa kali mengikuti interview.
"Baiklah saya rasa cukup, nanti lolos atau tidaknya kamu ke tahap berikutnya akan diinfokan via email sekitar satu sampai dua minggu lagi ya." Beliau berdiri seraya mengulurkan tangannya untuk berjabatan dan aku pun ikut berdiri menyambut uluran tangannya itu.
"Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat siang."
Saat aku keluar dari ruangan HRD tersebut, HRD yang baru saja mewawancaraiku tadi pun ikut keluar dan meminta izin untuk istirahat makan siang terlebih dahulu kepada para pelamar kerja lainnya yang duduk di sofa ruang tunggu. Aku tersenyum dan menunduk sedikit sebagai salam pada para pelamar lainnya yang masih menunggu giliran wawancara sebelum kemudian melanjutkan kembali langkahku menuju meja resepsionis untuk mengambil kartu identitasku yang dijadikan jaminan.
Keluar dari gedung perusahaan itu, aku pun berjalan menuju halte terdekat sambil mengeluarkan ponselku untuk memesan ojek online. Selagi menunggu ojek pesananku datang, aku melihat beberapa pegawai keluar dari gedung kantor. Mungkin mereka sedang istirahat makan siang. Aku menghela napas sejenak. Ada sedikit perasaan iri melihat mereka semua yang telah memiliki pekerjaan, sedangkan aku? Masih luntang-lantung kesana-kemari berusaha mencari status sebagai 'karyawan'.
Dulu kupikir begitu dewasa setiap orang sudah pasti akan mendapat pekerjaan, tapi ternyata prosesnya sama sekali tidak instan. Bahkan seringkali hati ini harus siap untuk kecewa berkali-kali.
"Mbak Karunia?"
Aku sedikit tersentak begitu namaku dipanggil. Rupanya driver ojek onlineku sudah datang. "Iya, Pak." Aku pun lantas menghampirinya dan mengenakan helm yang diberikannya.
"Sudah Mbak?" tanyanya saat aku telah duduk di belakangnya.
"Sudah, Pak."
"Oke!"
Aku tiba di rumah sekitar setengah jam kemudian. Selain karena jaraknya yang cukup jauh, di beberapa ruas jalan juga sedang ada proyek galian sehingga sedikit menyebabkan kemacetan.
"Makasih ya, Pak," ujarku sambil mengembalikan helm kepada bapak driver. Untuk pembayaran, aku sudah memakai e-money.
"Sama-sama, Mbak. Marii."
Usai bapak driver itu pergi, aku pun masuk ke dalam rumah. Kulihat di teras ada alas kaki yang asing di mataku. Dugaanku sepertinya di dalam sedang ada tamu yang berkunjung.
"Assalamualaikum," ujarku sambil melangkah masuk ke ruang tamu. Rupanya benar dugaanku. Ada tanteku yang datang dan sedang ditemani ngobrol oleh Mama.
Aku pun berjalan menghampiri Tante Tari dan mengecup punggung tangannya. Tak lupa aku juga mengecup punggung tangan Mama.
"Nia dari mana?" tanya Tante Tari padaku.
"Abis interview, Tante," jawabku sekenanya. Jujur saja aku kurang akrab dengan semua saudara dari pihak papaku karena beberapa diantaranya ada yang berlidah tajam.
"Oh, Nia belum dapat kerja ya? Kalau Runi abis lulus alhamdulillah langsung kerja sih."
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Ya, Tante Tari ini adalah salah satunya yang berlidah tajam. Dia selalu saja membandingkan putrinya denganku. Seolah apapun yang aku lakukan, putrinya dapat melakukannya dengan lebih baik.
"Nia permisi ke kamar dulu ya, Tante," pamitku sambil beranjak pergi.
"Nia anaknya di rumah aja sih. Kurang sosialisasi itu dia. Jaringannya gak luas makanya belum kerja-kerja juga. Coba kayak anakku, suka ikut kegiatan organisasi masyarakat, jadinya kan banyak temannya. Kamu nasihati itu anakmu, Lin, biar cari kegiatan gitu."
Aku masih di depan tangga sewaktu telingaku menangkap omongan Tante Tari ke mamaku. Padahal aku masih terlihat olehnya, tapi secepat itu mulutnya sudah membicarakanku. Sabar Nia, bisikku pada diriku sendiri. Tapi sayangnya mataku terlanjur memanas. Aku pun melanjutkan kembali langkahku menaiki tangga menuju kamarku, tempat di mana air mataku menetes berkali-kali tanpa sungkan.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Karunia di Seperempat Abad (E-book)
General Fiction[Tersedia di google play store] Link: https://play.google.com/store/books/details/Atyampela_Karunia_di_Seperempat_Abad?id=XshdEAAAQBAJ Pandangannya terkait dunia mulai berubah sejak Karunia Miderlani memasuki usia seperempat abad. Karunia tak pernah...