3. Bukan Untuk Pamer

19.5K 2.4K 85
                                    

"Mau kemana kamu?" tanya Mama saat melihatku turun tangga dengan memakai celana hitam panjang dan kemeja biru.

"Nia keluar sebentar ya, Ma. Mau kirim paket sekalian mampir ke Loca Mall, sudah janjian sama Arini disana."

"Pengangguran aja pergi-pergian mulu."

Aku terdiam mendengar sindiran Mama. Ini pasti gara-gara Tante Tari kesini kemarin dan dia bangga-banggain anaknya yang sudah kerja di depan Mama. Akhirnya Mama jadi kemakan sama omongannya dan aku yang kena imbasnya.

"Ya terus aku boleh pergi atau enggak nih?"

"Ya sudah sana pergi aja. Di rumah juga gak ada kerjaannya kan?" ujar Mama yang kemudian berlalu.

Aku menghela napas panjang. Mengelus dadaku sendiri sambil membisikkan kata-kata pamungkas: sabar, jangan emosi.

Aku pun melanjutkan langkahku keluar rumah dengan kardus berisi buket bunga flanel yang sudah kupacking. Saat hendak memesan ojek online, ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk.

"Farzan?" gumamku membaca nama yang tertera di layar ponsel. Farzan adalah teman kuliahku dulu. Sama halnya seperti Arini. Kalau aku dan Arini dekat karena satu kelompok selama masa ospek dan berlanjut dengan selalu janjian untuk mengambil sesi kelas yang sama, dengan Farzan aku cukup dekat karena kebetulan jalan pulang kami searah dan Farzan pernah menawariku pulang bareng yang akhirnya malah jadi kebiasaan.

"Halo, kenapa, Zan?"

"Lu di mana, Ya?" tanyanya.

"Di rumah tapi mau pergi kirim paket terus main sama Arini. Kenapa?"

"Ya sudah gue anterin, Ya! Tunggu ya gue otw jemput lu nih."

"Lah, mau ngapain dah, Zan? Halo? Farzan?!" Ish! Kurang ajar ini anak main matiin teleponnya gitu aja.

Eh, tapi kalau dipikir-pikir lumayan juga misalnya si Farzan mau antar aku kan jadinya uang ongkosku tetap utuh. Bisa dipakai buat keperluan yang lain. Ya sudah lah kutungguin aja.

Tak sampai sepuluh menit Farzan sudah tiba di depan rumahku. Kayaknya sih pas dia telepon aku tadi memang dia sudah lagi di jalan ke arah rumahku deh. Soalnya kalau enggak, gak mungkin dia sampai secepat ini.

Aku menghampirinya lalu mengambil helm yang ia sodorkan padaku. "Lu lagi jam istirahat apa gimana deh, Zan?"

"Hari Sabtu nih, cuy! Libur lah gue masa kerja mulu kayak zaman penjajahan," jawabnya

Aku menepuk dahiku. "Oh, iya! Di kantor lu mah Sabtu-Minggu libur ya?" Aku suka linglung soalnya ada beberapa teman dekatku yang kadang Sabtu atau Minggu tetap masuk walau setengah hari. Jadi ingatanku tentang hari libur mereka suka ketukar-tukar.

"Mau kirim via ekspedisi mana nih?" tanyanya.

"JTE aja," jawabku seraya meregangkan kaki untuk duduk di belakangnya.

"Oke!"

Setelah mengirim paket, Farzan lanjut mengantarku ke mall juga untuk bertemu dengan Arini. Sebenarnya aku heran kenapa anak ini tiba-tiba mau mengantarku. Biasanya kalau memang mau mengajakku pergi, minimal kita janjian satu hari sebelumnya dulu. Gak mendadak seperti ini.

"Zan, lu lagi mau buang-buang bensin apa gimana deh?" tanyaku saat kami berjalan bersama keluar parkiran menuju pintu masuk mall.

Mendengar pertanyaanku Farzan tertawa. "Pengusaha tambang minyak apa gimana gue masa hedon banget buang-buang bensin?" sahutnya.

"Ya habisnya lu aneh aja masa gak ada angin gak ada hujan tahu-tahu mau nganterin gue gini."

"Kalau ada angin sama hujan mana mungkin gue bisa nganterin lu? Justru karena gak ada angin sama hujan makanya gue anterin," jawab Farzan santai.

Karunia di Seperempat Abad (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang