Aku sedang mencari kado untuk pernikahan Cella di salah satu applikasi e-commerce. Mending aku kasih set teko dan mug kaca, atau set peralatan makan ya? Saat sedang bingung memilih kado apa yang tepat untuk Cella, fokusku teralih pada notifikasi e-mail yang masuk ke ponselku. Loh, ini kan dari perusahaan yang aku diinterview waktu itu! Aku pun lantas membukanya dan membaca isi pesannya.
Setelah membacanya secara keseluruhan, aku menghela napas pelan. Rupanya aku belum berjodoh dengan perusahaan itu. "Gak apa-apa, masih banyak tempat lain kok, Ya," gumamku menguatkan diri sendiri. Setidaknya HR perusahaan ini menepati kata-katanya untuk memberi kabar via e-mail. Ada banyak HR perusahaan lainnya yang bilang akan memberi kabar dalam waktu seminggu, namun hingga sebulan tetap tidak ada kejelasan. Kalau sudah begitu, kesimpulan yang bisa diambil ya berarti tidak diterima.
Aku kemudian beranjak turun dari kasurku lalu keluar kamar menuju dapur. Pusing memikirkan persoalan hidup, kayaknya aku perlu camilan deh. Seingatku aku masih menyimpan snack-snack kiloan yang kubeli online, tapi kucari di kulkas kok gak ada ya? Padahal kan aku simpan disini.
Kucari di laci buah bahkan sampai ke freezer juga gak ada. Apa dipindahin Mama ya? Aku pun menutup kulkas lalu membuka rak di atas kompor dan wastafel. Sayangnya, camilanku tetap saja tidak ada.
"Cari apa kamu?"
Aku berjengit kaget mendengar suara Mama. Aku pun kemudian lantas menoleh. "Camilanku kemana ya, Ma? Itu loh yang snack-snack dalam plastik bening besar."
"Kayaknya dibawa sama Arga ke kantornya deh waktu itu pas dia nginap disini. Mama pikir emang punya dia."
"Iih, punya aku itu, Ma..." rengekku.
"Ya lagian kamu gak bilang kalau taruh makanan gituan di kulkas. Arga juga kan suka taruh-taruh cemilan kalau kesini. Mana Mama tahu yang mana punya kamu dan yang mana punya Arga."
Emang Mas Arga aja nih yang resek. Aku pun kembali ke kamarku untuk mengambil ponselku dan menelepon Mas Arga. Niatnya tadi mau memperbaiki mood eh sekarang malah jadi tambah rusak.
"Halo, Mas, lu bawa ecemilan gue ya?!" omelku langsung begitu Mas Arga menjawab teleponku.
"Dih, cemilan lu yang mana?" tanyanya balik.
"Itu yang di kulkas. Snack snack kiloan!" ketusku.
Mas Arga terdiam sesaat. "Emang itu punya lu ya? Kirain punya gue hehehe," sahutnya santai.
Allahu akbar! Kesal sekali hatiku ini. "Gimana ceritanya sih lu beli juga kagak tapi kok ngaku-ngakuin?!"
"Ya maaf deh namanya juga lupa. Ya sudah gue ganti aja, berapa duit?"
"Seratus lima puluh ribu," jawabku cepat.
"Dih, mahal amat! Udah kayak makan di restoran aja gue," protesnya.
"Heh, itu tuh ada tiga bungkus. Per bungkus harganya tiga puluh ribu, nah sisanya buat ganti rugi karena bikin gue kesel lah."
Mas Arga mencibir. "Bisaan aja lu, ya udah ntar gue transfer."
"Sekarang lu ya awas aja kalau pura-pura lupa," ancamku.
"Iya, ya Allah bawel banget sih lu! Ya udah gue tutup dulu, bye!"
Setelah sambungan ditutup, tak sampai lima menit transferan dari Mas Arga sudah masuk ke rekeningku. Lumayan buat tambahan uang jajan. Kalau gini caranya, ntah aku harus kesel atau justru senang cemilanku dibawa sama Mas Arga.
Tapi gimana ya... mulutku masih iseng pingin ngunyah nih, cuma gak mau makan berat gitu loh. Apa aku ke minimarket aja ya? Tak perlu waktu lama untuk berpikir, aku pun mengambil dompet dan outerku lalu pergi menuju minimarket.
***
Chiki sudah, wafer, cereal, cokelat juga sudah ada. Pembalut, pengharum ruangan, kapas wajah, body mist juga ada. Hmm, apalagi ya?
Aku mengecek isi keranjangku. Niat awalnya cuma mau beli cemilan, eh jadi merembet beli barang lainnya yang stock persediaannya di kamarku juga sudah menipis. Yaa begini deh jadi cewek. Antara eksekusi sama niat awal suka tidak sesuai kalau udah urusan belanja.
Setelah yakin tidak ada lagi yang mau kutambahkan ke dalam keranjangku, aku pun hendak ke kasir. Namun langkahku berhenti karena ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. Aku pun lantas menoleh dan terkejut mendapati siapa yang menepuk bahuku itu.
"Eh, ternyata benar Karunia," ujar orang itu yang merupakan guru bimbingan belajar bahasa inggrisku dulu waktu aku kelas satu sampai dua SMA. Ma'am Anya panggilannya. Ya ampun ini orang sudah bertahun-tahun gak ketemu mukanya masih aja gak berubah. Tetep cantik kayak gadis 20-an padahal waktu aku bimbel dulu saja dia sudah berusia 30 tahun dengan satu orang anak. Kayaknya benar deh kata orang kalau guru itu awet muda.
Aku pun lantas menyalaminya. "Halo, Ma'am, sudah lama gak ketemu," sapaku.
"Iya, nih. Kamu apa kabar? Masih kuliah atau sudah kerja?" tanyanya.
"Alhamdulillah sudah lulus kuliah, Ma'am, tapi belum dapat kerja," jawabku.
Ma'am Anya mengangguk dan tersenyum. "Ooh begitu, jangan patah semangat ya, Nia," ujarnya menyemangatiku. Ma'am Anya ini sudah cantiknya gak berubah, suaranya juga masih sama lagi lembutnya kayak dulu. Kalau diajar sama dia tuh dulu ngantuk-ngantuk segan rasanya. Ngantuk karena mendengar suara lembutnya, tapi segan kalau mau ketiduran soalnya kami menghormati dia yang merupakan guru sekaligus pemilik tempat bimbel yang diberi nama 'Happy Learning' itu.
"Iya, Ma'am, makasih banyak yaa," sahutku.
"Ngomong-ngomong kalau kamu iseng selagi menunggu panggilan kerja dari tempat yang kamu inginkan, boleh loh freelance jadi admin di tempat bimbel Ma'am. Kebetulan Ma'am lagi cari admin baru soalnya Eci keluar karena ikut suaminya tinggal di luar kota."
Aku sedikit terkejut mendengarnya "Miss Eci udah married, Ma'am?" tanyaku. Aku kenal Miss Eci yang bertugas di bagian administrasi. Dulu aku juga suka bantu menggantikannya kalau Miss Eci gak masuk karena ada kerjaan di luar. Makanya aku jadi cukup akrab sama Ma'am Anya dan guru-guru lainnya. Miss Eci itu orangnya agak tomboy. Kalau pas jaga meja admin aja gayanya santai banget cuma pakai kaus sama jins aja. Waktu pertama kali daftar bimbel disana kupikir Miss Eci sesama calon pendaftar, eh ternyata dia adminnya.
"Iya, sudah mau satu tahun nikahnya sih. Terus Ma'am juga sekarang kan nambah kelas untuk anak-anak jadi lagi cari guru bimbel tambahan lagi juga. Pas lagi repot begini eh bisa-bisanya itu si Eci malah keluar, tapi yaa Ma'am juga gak bisa protes. Dia punya keluarga sendiri yang perlu dipriotaskan sekarang."
"Ooh sekarang tambah kelas bimbel untuk anak-anak juga, Ma'am?" tanyaku. Soalnya dulu tempat bimbel Ma'am Anya ini tuh semacam rumah tiga tingkat sederhana yang dijadikan tempat belajar gitu loh. Tingkat tiga dan dua dijadikan ruang kelas, dan paling bawah itu untuk bagian administrasi. Dulu, bimbel bahasa inggris juga hanya dibuka untuk usia SMP-SMA saja.
"Iya, Nia. Habis banyak permintaan begitu. Tapi yaa gak anak-anak banget sih. Minimal usia enam tahun. Seenggaknya harus sudah bisa baca juga perhitungan biar gurunya gak kecapean dan biar belajarnya lebih cepat. Jadi kalau usianya enam tahun tapi belum bisa baca ya gak kita terima."
Apa aku coba terima saja ya tawarannya Ma'am Anya? Kan lumayan juga untuk ngisi waktu daripada di rumah juga kena omelan Mama terus. "Kalau aku mau freelance di tempat Ma'am, persyaratannya apa aja Ma'am?" tanyaku.
"Kamu tinggal datang aja ya ke tempat bimbel Ma'am, bawa fotokopi KTP sama ijazah terakhir kamu. Udah itu aja. Ma'am mah udah percaya sama kamu, gak perlu syarat ribet-ribet pokoknya buat kamu mah."
Aku tersenyum. Gak sia-sia akrab sama yang punya tempat bimbel. "Oke, Ma'am, nanti agak sorean aku kesana deh ya."
"Ma'am tunggu looh."
Aku mengangguk. "Yes, Ma'am!"
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Karunia di Seperempat Abad (E-book)
General Fiction[Tersedia di google play store] Link: https://play.google.com/store/books/details/Atyampela_Karunia_di_Seperempat_Abad?id=XshdEAAAQBAJ Pandangannya terkait dunia mulai berubah sejak Karunia Miderlani memasuki usia seperempat abad. Karunia tak pernah...