Aku terbangun saat mendengar suara pintu diketuk. Rupanya aku ketiduran setelah menangis tadi. Bahkan aku belum sempat mengganti setelan bajuku. Aku pun beringsut turun dari kasur untuk membukakan pintu kamarku. Begitu pintu terbuka, Mama pun masuk ke dalam dan duduk di tepian ranjangku.
"Gimana interviewnya tadi?" tanyanya.
"Seperti biasa, nanti kelanjutannya dikabari seminggu atau dua minggu lagi," jawabku.
Mama mengangguk. "Ya sudah kamu mandi sana. Sudah sore, nih. Habis itu bantuin Mama masak makan malam."
"Tante Tari sudah pulang?" tanyaku. Rasanya malas kalau masih harus bertatap muka dengannya lagi.
"Sudah," jawab Mama.
Aku mengangguk. "Ya sudah kalau gitu," ujarku tapi Mama masih juga menatapku. Dari tatapannya, aku yakin ada hal lain yang ingin Mama katakan.
"Lain kali kamu jangan begitu, ada keluarga yang datang kok kamu malah masuk kamar. Kenapa sih kamu kebiasaan banget gak mau gabung sama saudara yang lain? Malah mendekam terus di kamar. Mama gak enak kan disangkanya nanti Mama yang gak pernah bilangin kamu."
Tuh, kan, benar dugaanku! Aku menghela napas panjang. Kalau saja topik obrolan yang mereka bahas menarik, aku pasti sangat senang berbaur dengan mereka, tapi kenyataannya pembicaraan mereka selalu saja tidak jauh dari pamer, dan saling membandingkan.
"Nia, kamu dengar gak sih Mama bilang apa?"
Aku mengangguk lemah. "Iya, Ma," sahutku.
"Ya sudah, sana mandi." Setelah mengatakan itu Mama pun berlalu keluar.
Aku melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah empat sore. Mungkin sebaiknya aku shalat ashar dulu baru mandi. Terlebih rasanya aku juga butuh wudhu untuk menenangkan hatiku.
Aku baru turun sekitar pukul setengah lima. Di dapur Mama sudah sibuk dengan peralatan masak dan beberapa bahan makanan. "Cuci beras sana terus masak nasi," titah Mama begitu melihatku. Aku pun lantas bergegas melakukan apa yang ditugaskannya.
Setelah menyalakan tombol 'cook' di ricecooker, aku pun membantu Mama menghaluskan cabai, bawang putih, garam dan gula untuk membuat sambal sebagai teman makan ikan bawal yang sudah Mama goreng.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Aku menoleh dan mendapati Mas Arga sudah duduk manis di meja makan.
"Lah ngapain lu, Mas?" tanyaku pada abang lelakiku itu.
"Numpang makan lah, Lyani kan masih di rumah ibunya."
Oh iya aku lupa kalau kakak iparku itu kan lagi menginap di rumah ibunya.
"Masak apa, Ma?" tanya Mas Arga pada Mama.
"Ini goreng ikan sama tahu tempe."
"Wah, enak tuh!" Tangan Mas Arga sudah bersiap meluncur mengambil tahu dan tempe yang baru mau Mama pindahkan ke piring, namun aku segera menepaknya.
"Kotor, bahlul!" omelku. "Pulang kerja bukannya mandi dulu dah lu."
"Ah, gak usah mandi juga sudah ganteng," sahutnya santai.
"Dih! Lagian kata siapa mandi biar ganteng? Mandi tuh biar bersih," sahutku lagi.
"Iih, katro nih anak! Kagak pernah dengar pepatah berani kotor itu baik lu ya?"
Aku baru saja hendak menjawabnya lagi, tapi Mama keburu mendahuluiku. "Sudah. Arga, mandi sana," titahnya.
Mendengar perintah Mama, Mas Arga pun lantas bangun. "Siap laksanakan!" ujarnya sambil menghampiri Mama dan mengecup punggung tangannya sebelum ia pergi ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karunia di Seperempat Abad (E-book)
General Fiction[Tersedia di google play store] Link: https://play.google.com/store/books/details/Atyampela_Karunia_di_Seperempat_Abad?id=XshdEAAAQBAJ Pandangannya terkait dunia mulai berubah sejak Karunia Miderlani memasuki usia seperempat abad. Karunia tak pernah...