5. Bukan Mereka

15K 2.2K 79
                                    

Aku menghela napas lelah. Akhirnya selesai juga merombak suasana kamar. Lumayan lah, dengan mengganti tirai, seprai, dan menata ulang beberapa barang ternyata cukup memberiku nuansa baru yang menyegarkan pandangan. Kalau sudah rapi begini, leha-leha sedikit sebelum mandi boleh kali yaa...

Aku pun mengambil ponselku dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Setelah mengecek online shop milikku, aku pun mengecek akun aplikasi jobseeker milikku. Siapa tahu ada lowongan pekerjaan (lagi) yang cocok denganku, atau barangkali ada lamaranku yang sudah direspon lagi.

"Main HP terus!"

"Aduh!" Aku terlonjak kaget begitu mendengar teriakan itu sampai-sampai ponselku jatuh menimpa wajahku. Kulihat pintu kamarku sudah terbuka dengan Mama yang berdiri di ambang pintunya sambil bertolak pinggang.

"Mama nih bikin kaget aja deh," protesku seraya mengusap dahi yang menjadi pendaratan mendadak dari ponselku.

"Kirain mah ngapain di kamar gak keluar-keluar eh gak tahunya lagi goleran di atas kasur," omel Mama.

Asli ya, ini tuh masih jadi misteri tersendiri buatku. Kenapa tiap kali aku lagi mengerjakan sesuatu Mama gak pernah lihat, tapi giliran aku lagi santai sambil main ponsel selalu aja pas banget dilihat sama Mama? Aneh sekali semesta ini seolah-olah berkonspirasi untuk membuatku mendapat ceramah harian dari Mama.

"Ayo, turun. Bantu Mama siapin sarapan," tegur Mama lagi.

"Tapi aku belum mandi, Ma."

"Tuh gitu tuh kalau main HP terus jadinya lupa waktu kan," hardiknya.

Ini Mama gak lihat apa gimana ya? Kan seprai sama tirai kamarku beda sama kemarin-kemarin. "Ma, aku kan─"

"Sudah ah jangan banyak alasan," potong Mama. Tuh, kan! Selalu saja begitu. Kata-kata yang keluar dari mulutku tuh udah kayak kue ulang tahun, main dipotong-potong aja.

"Mandinya nanti aja abis sarapan. Lagian kamu juga kan gak kemana-kemana orang kerjaannya di rumah doang. Buruan ya Mama tunggu di bawah," ujarnya sambil berlalu keluar dari kamarku.

Aku menghela napas pelan kemudian beranjak turun dari ranjang. Belum juga kakiku menapak di lantai, sudah terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Karunia, buruan! Jangan tidur-tiduran lagi!" seru Mama dari balik pintu.

"Iyaa, Mamaaa!" sahutku.

Aku pun memasukkan ponselku ke saku celanaku lalu berjalan ke meja rias mengambil jepitan untuk menjepit rambutku. Selagi aku menjepit rambutku, ketukan dari luar pintu kamarku kembali terdengar. Astaghfirullah, Mama kenapa gak sabaran banget sih?

"Iya, Ma, iya ini Nia tur─"

Kalimatku terhenti begitu melihat bukan Mama yang berdiri di depan pintu kamarku. "Papa?!" seruku yang kemudian langsung memeluknya. "Papa sudah pulang? Dari kapan?"

Bisa kurasakan tangan Papa mengelus puncak kepalaku. "Dari semalam, tapi kamunya sudah tidur. Terus sekarang Papa tungguin di bawah kok belum turun-turun juga, jadi Papa minta tolong Mama panggilin kamu deh, eh malah dua-duanya gak turun-turun."

Aku mengurai pelukanku. "Habis beres-beres kamar aja, Pa. Ganti seprai sama gorden," jawabku. Mama nih, bukannya tinggal bilang aja kalau Papa sudah pulang dan nungguin aku buat sarapan bareng eh ini malah pakai marah-marah segala.

"Hmm ya sudah, beres-beresnya dilanjut nanti saja. Kita sarapan dulu ya?"

Aku mengangguk kemudian bersama Papa berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Papaku ini bekerja sebagai teknisi di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Kebetulan dua minggu lalu Papa berangkat ke Jogja karena ada masalah teknis di kantor cabang sana. Setelah sekian waktu tak bersua, akhirnya rinduku terbayarkan. Dari kecil aku lebih dekat dengan Papa dibanding dengan Mama. Mungkin karena aku anak perempuan sekaligus bungsu, makanya aku merasa kalau Papa mencurahkan perhatiannya lebih besar untukku sehingga aku nyaman berada di sampingnya.

"Waktu itu di telepon kamu bilang sama Papa ada interview? Gimana? Lancar?" tanya Papa saat kami sudah di ruang makan.

"Lancar-lancar aja sih, Pa, tapi hasilnya belum tahu. Katanya sih nanti dikabari via e-mail, atau kalau gak ada kabar ya berarti aku gak keterima," jawabku.

Papa tersenyum dengan satu tangannya terulur mengusap punggungku. "Rezeki itu ada di tangan Allah dan Allah itu Maha Pengasih, jadi kamu jangan pesimis. Gak dapat di satu tempat ya kita coba di tempat lain. Ada banyak jalan untuk menuju angka sepuluh, bukan cuma sekadar lima tambah lima, oke?"

Aku mengangguk. Kan adem rasanya hati ini kalau dikasih semangat kayak gitu. Gimana aku gak cinta sama papaku coba?

"Yaa... selagi nganggur gini cari kegiatan apa kek gitu. Ini mah ngeram aja di rumah kayak ayam bertelur."

Nah ini. Tuhan itu Maha Adil juga dalam menentukan pasangan. Kalau papaku sudah bermulut manis, mamaku ini bagiannya bermulut sinis.

"Kemarin aku pergi ke luar diomelin, eh sekarang di rumah aja juga diomelin," keluhku seraya menuangkan secentong nasi goreng ke atas piring makanku.

"Ya kamu keluarnya malah main sih. Maksud Mama tuh cari kegiatan yang produktif lah, apa kek gitu. Kamu waktu itu diajak ikutan sanggar tari gratis sama anaknya Bu Rere eh malah gak mau. Padahal kan lumayan buat isi waktu. Tuh lihat anaknya Bu Rere mah sekarang sudah jadi guru ekskul tari daerah di sekolah-sekolah. Kan lumayan kegiatannya jadi menghasilkan."

Aku hanya diam mendengarkan. Ya, anak-anak lain memang selalu lebih hebat dariku. Aku mah apa sih cuma bisa tidur-tiduran doang di kamar sambil mengecek akun online shop dan jobseekerku. Tak sebanding lah dengan mereka yang sibuk mengerjakan ini-itu.

Biasanya aku bisa menghabiskan sarapan hingga dua centong nasi, tapi kali ini satu centong saja kenapa terasa begitu banyak ya? Mungkin perutku sedikit bermasalah pagi ini. Kurasa sepertinya aku perlu sedikit olahraga di pagi yang sudah cukup terik ini.

"Nia udah kenyang. Mau olahraga bentar biar nanti sekalian mandi," ujarku sambil berjalan meninggalkan ruang makan.

Sayup-sayup saat langkahku memasuki ruang tamu kudengar suara Papa yang menegur Mama.

"Mama nih apa-apaan sih? Nia gak mau ikut sanggar tari ya mungkin karena dia gak minat kesitu. Buat apa kita paksa dia melakukan sesuatu yang gak diminatinya?"

"Bukan gitu, Pa. Mama cuma mau Nia punya kegiatan. Mama gak mau anak kita dibilang kurang wawasan lah, minim pergaulan lah."

"Tapi bukan begitu caranya, Ma. Kamu membandingkan anak sendiri dengan anak-anak orang lain, memangnya kamu suka kalau aku bandingkan kamu dengan istri-istri orang lain? Enggak kan?"

Aku menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya aku tak ingin sampai Papa dan Mama bertengkar, tapi kata-kata Mama tadi benar-benar membuatku tak sanggup untuk tetap duduk diam begitu saja dan berakting seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku bukan kamu, dia, atau mereka. Jika aku tak bisa melakukan apa yang orang lain lakukan, bukankah orang lain juga mungkin saja tak bisa melakukan sesuatu yang aku bisa lakukan?

***

To be continue

Karunia di Seperempat Abad (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang