Rupanya kakiku melangkah terlalu jauh hingga sampai ke Taman RPTRA di kompleks sebelah. Ah, sudahlah, karena terlanjur berada di sini mungkin tak ada salahnya kalau aku duduk dulu untuk beristirahat.
Suasana di sini cukup ramai. Ada banyak ibu-ibu yang sepertinya baru selesai senam. Jujur saja biarpun aku sering melewati taman ini, tapi baru kali ini aku benar-benar mendatanginya. Luasnya sih memang tidak seberapa karena terbagi dengan lapangan bulu tangkis di sebelahnya. Kalau kebetulan aku lewat sini pas sore atau malam hari, biasanya suka ada banyak bapak-bapak yang sedang tanding bulu tangkis di sana.
"Huaaa!"
Aku terlonjak kaget begitu mendengar suara itu, lebih kaget lagi karena suara itu berasal dari anak perempuan yang jatuh di dekat tempatku duduk. Aku pun lantas menghampirinya dan membantunya berdiri.
"Kamu gak apa-apa? Mana yang sakit?" tanyaku tapi gadis kecil yang sepertinya baru berusia enam tahun ini tidak menjawab pertanyaanku dan malah menangis kencang.
Kulihat kaki dan tangannya tidak ada yang berdarah atau tergores, hanya sedikit kotor karena mengenai rumput saja. Mungkin dia menangis karena kaget setelah jatuh.
"Ya ampun, Mifta!" Salah seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri kami lalu memeluk gadis kecil di hadapanku. Ooh, nama anak ini Mifta.
"Sakit, Nek," adu gadis kecil itu. Ah, rupanya Ibu ini adalah neneknya.
"Iya, nanti kita obatin di rumah ya," ujar wanita paruh baya itu sambil mengusap-usap punggung cucunya.
"Gak mau! Maunya sekarang! Sakit, Nek, huhuhu."
Kulihat ibu itu seperti gelagapan. Mungkin beliau bingung mau mencari obat kemana di sekitar sini. Tapi... anak ini kan kayaknya juga gak luka deh, cuma ada kotoran-kotoran yang memang masih menempel di beberapa bagian tubuhnya.
"Ehm, maaf, Bu, tunggu sebentar ya." Tanpa menunggu jawaban dari ibu itu, aku lantas berlari menuju pedagang asongan di depan taman untuk membeli air mineral dan tisu. Untung saja aku selalu menyimpan uang di dalam case handphoneku, jadi kan bisa berguna di saat-saat darurat seperti ini.
Setelah mendapatkan air mineral dan tisu, aku pun kembali menghampiri neneknya Mifta tadi. Kuambil dua helai tisu dari kemasannya yang sudah kusobek, lalu kusiram tisu itu dengan air sampai basah semua permukaannya. "Sini tangannya Kakak lap ya biar gak kotor lagi, supaya kalau ada yang luka bisa kelihatan," ujarku pada gadis kecil yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun itu.
Meski tampak sungkan, gadis itu akhirnya mengulurkan kedua tangannya. Aku pun tersenyum sambil mengelap kotoran-kotoran di tangannya dengan tisu yang sudah kubasahi tadi. "Ada yang perih gak?" tanyaku padanya dan gadis kecil itu menggeleng.
Aku pun kemudian lanjut mengelap kotoran di lututnya juga. "Kamu namanya Mifta?" tanyaku iseng dan gadis kecil itu mengangguk.
"Wah, namanya cantik kayak orangnya yaa. Kalau nama panjang Mifta tahu gak siapa?"
"Miftahul Jannah," jawabnya pelan.
"MasyaAllah cantiknya," pujiku. Eits, tapi aku gak perez ya. Gadis kecil ini memang cantik dengan bola mata yang berbinar dan rambut hitam panjang berponi yang lebat.
"Nah, sekarang tangan sama kakinya sudah bersih. Lain kali jalannya lebih hati-hati ya," ucapku seraya mengelus rambutnya.
Gadis kecil bernama Mifta itu mengangguk. Dengan malu-malu ia bersembunyi di belakang wanita yang tadi dipanggilnya nenek.
"Terima kasih ya, Nak..."
"Karunia, Bu," ujarku memperkenalkan diri.
"Saya Winda. Panggil saja Ibu Winda. Terima kasih ya Nak Karunia sudah bantu saya."
Aku mengangguk. "Sama-sama, Bu."
"Mifta ini kalau sudah nangis, ampun susah banget dibujukinnya. Harus sama papanya baru mau nurut," ujar Bu Winda. Aku hanya tersenyum mendengarkannya.
"Ngomong-ngomong, Ibu kayaknya baru pertama kali lihat kamu di sini. Kamu baru pindah ke sini ya?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Enggak, Bu, kebetulan saya memang tinggalnya di kompleks sebelah," jawabku.
"Ooh begitu, pantas aja Ibu kayaknya gak pernah lihat kamu di sekitaran sini. Kalau gitu, ayo mampir dulu, Nak Karunia. Kebetulan rumah Ibu di dekat sini."
Aku tersenyum sungkan. "Terima kasih banyak, Bu, tapi sepertinya gak usah. Kebetulan saya juga sebentar lagi sudah mau pulang kok."
"Ooh begitu... ya sudah kalau gitu sekali lagi terima kasih banyak ya, Nak Karunia. Saya dan Mifta pamit dulu"
Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, sama-sama, Bu. Hati-hati di jalan ya."
Setelah berpamitan, Mifta dan Bu Winda pun berlalu pergi. Dari jarak yang belum terlalu jauh, aku masih bisa mendengar Mifta bertanya pada Bu Winda, "Nek, kok kakak itu boleh main sendirian? Kenapa aku gak boleh?"
"Kak Karunia itu sudah besar. Nanti Mifta kalau sudah besar juga boleh kok main sendiri, tapi pulangnya tetap harus tepat waktu."
Aku tersenyum mendengarnya. Nanti kalau sudah besar ya... gumamku dalam hati. Mifta pasti menaruh banyak ekspetasi tentang hal-hal menyenangkan yang ia pikir akan bisa dilakukannya ketika dewasa nanti.
Sama sepertiku dulu...
"Ma, nanti kalau sudah besar aku kerja kayak Papa juga ya?"
"Aku boleh masak beneran kalau udah gede ya, Ma?"
"Nanti kalau sudah besar aku boleh jalan-jalan jauh, Pa? Boleh menginap di rumah teman kayak Mas Arga?"
"Wah, kuliah enak ya bawa bukunya sedikit. Nanti aku kalau sudah gede mau juga ah biar kayak di TV!"
"Pas besar nanti, berarti aku akan menikah terus punya anak kayak Papa sama Mama ya?"
"Aku gak sabar mau cepat gede deh biar bisa dandan kayak Mama."
"Hm, aku mau beli apa ya nanti kalau sudah punya uang sendiri? Kalau Papa mau aku beliin apa?"
Aku tersenyum mengingat semua hal yang pernah terlintas di benakku tentang menjadi orang dewasa. Sewaktu aku masih kecil, kupikir menjadi dewasa itu menyenangkan. Bisa pergi sendiri kemana-mana sesuka hati, bisa punya banyak uang dengan bekerja, bisa menikah lalu hidup bahagia, tapi kini aku sadar kalau itu semua ternyata tidak semudah yang kubayangkan.
Mencari penghasilan tidak semudah mendapatkan sisa kembalian saat disuruh pergi ke warung, pun dengan menikah yang tidak semudah adegan tabrakan di dalam film yang kemudian saling tatap-tatapan lalu menjadi pasangan.
Tapi, biar bagaimanapun juga menjadi dewasa adalah sesuatu yang tak dapat aku hindari. Jika aku tak bisa beradaptasi, hidupku akan jadi tak berarti. Aku tak mampu mencari cara untuk kembali ke masa lalu, yang aku bisa lakukan adalah berupaya menyusun rencana untuk bergerak maju.
Namun...
Bagaimana bisa aku bergerak maju jika disaat kakiku baru saja ingin mulai melangkah, telingaku sudah dipenuhi dengan prediksi kekalahan?
Hidup ini saja sudah sulit, tetapi pola pikir manusia jauh lebih rumit. Padahal sama-sama punya hati, tapi kenapa kerap kali bersikap tak pakai hati?
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Karunia di Seperempat Abad (E-book)
Fiksi Umum[Tersedia di google play store] Link: https://play.google.com/store/books/details/Atyampela_Karunia_di_Seperempat_Abad?id=XshdEAAAQBAJ Pandangannya terkait dunia mulai berubah sejak Karunia Miderlani memasuki usia seperempat abad. Karunia tak pernah...