"Nih tadi Mama abis ke minimarket terus sekalian beli dada ayam fillet. Katanya kamu mau bikin chicken katsu. Gih sana bikin."
Aku mengulum senyumku saat Mama menghampiriku lalu menyodorkan kantung belanjaannya padaku yang sedang menonton kartun di televisi. Aku tahu apa yang Papa bilang itu benar. Mama menyayangiku. Meski kata 'maaf' sangat jarang terdengar dari bibirnya, tapi aku paham Mama memiliki cara lain untuk mengekspresikan permintaan maafnya. Contohnya yaa seperti yang satu ini.
Biasanya setelah bertengkar denganku, Mama selalu membelikan makanan kesukaanku atau makanan yang sedang sangat ingin kumakan dengan alibi 'sekalian beli' padahal memang Mama sengaja membelikannya untukku.
Aku pun lantas pergi ke dapur. Mengeluarkan isi belanjaan dari kantung, lalu menyiapkan bumbu-bumbu untuk membuat chicken katsu. Saat sedang mengocok telur untuk bahan lapisan irisan daging ayam yang sudah kubumbui, ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Kulihat layarnya dan tertera nama Farzan disana.
"Halo kenapa, Zan?" sapaku menjawab panggilan teleponnya.
"Nanti malam lu free gak, Ya?" tanya Farzan.
Aku tertawa mendengarnya. "Lu ngeledek apa gimana deh, Zan? Pengangguran mah free-free aja lah," sahutku.
"Yee gak gitu juga lah. Ini gue mau ngajakin lu nonton acara 'Speak Up Poems' yang diadain sama komunitas Lapang Sajak, bisa gak lu? Tadi gue baru lihat posternya di instagram dan kebetulan mereka lagi bikin acaranya di Taman Jakpus nih."
Mataku langsung berbinar mendengarnya. Asli aku kepingin banget nonton acara yang berkonsep ala stand up comedy ataupun pidato, tapi yang disampaikan bukanlah cerita lucu ataupun narasi melainkan puisi yang telah mereka buat.
Dari awal tahu komunitas 'Lapang Sajak' aku pingin banget bergabung karena visi misi mereka yang menurut pandanganku cukup keren. Bukan keren dalam artian bergengsi, tapi keren karena memiliki makna yang apik. Dari nama komunitasnya aja sudah terkonsep rapi. Lapang yang bisa diartikan sebagai bebas atau lega, lalu juga bisa diartikan sebagai ruangan yang luas. Jadi, komunitas Lapang Sajak ini bermaksud membuat hati terasa lega lewat keresahan yang disampaikan dengan sajak yang dibacakan di tempat yang terbuka. Itu juga alasannya kenapa mereka punya acara rutin bernama 'Speak Up Poems' itu.
Sayangnya niatku untuk bergabung dengan komunitas mereka itu hanyalah sekadar keinginan terpendam belaka karena mereka berdomisili di Kota Bogor sedangkan aku di Jakarta. Agak repot kalau harus bolak-balik Jakarta-Bogor hanya untuk kegiatan komunitas. Apalagi aku ini anak bungsu ditambah juga anak perempuan satu-satunya yang mana menjadikanku agak susah mendapat izin untuk pergi-pergian terlalu sering.
Oh iya, balik lagi ke tawarannya Farzan...
"Mau banget lah gue, Zan. Gimana daftarnya?"
"Ntar gue yang coba daftarin. Syukur-syukur masih kebagian ya soalnya jam mereka posting posternya sih kemarin malem, tapi gue baru banget lihat tadi nih."
"Kalau gitu buruan sana daftar. Kabarin gue ya bisa apa nggaknya. Jangan lupa!" seruku antusias.
"Iya, bawel dah lu. Ya sudah gue tutup dulu nih."
"Oke!"
***
Farzan mengabariku bahwa masih ada tempat untuk kami menghadiri acara Speak Up Poems. Sekitar pukul tujuh malam, Farzan pun datang ke rumah untuk menjemputku.
"Sampai jam berapa acaranya, Zan?" tanya Papa saat Farzan meminta izin.
"Kalau perkiraan dari sana sih jam sembilan sudah selesai, Om. Nanti begitu acara selesai saya langsung antar Nia pulang, Om."
Papa mengangguk-anggukan kepalanya. "Jangan lewat dari jam setengah sepuluh ya. Kalau sudah jam segitu tapi acaranya masih belum selesai, kalian pulang duluan saja. Bukannya Om gak percaya kamu ya, Zan, tapi bahaya buat kalian juga. Jalanan malam hari itu rawan tindak kriminal."
Farzan mengangguk setuju dengan pesan Papa. Setelah izin didapat, kami pun lekas berpamitan pergi.
Setibanya di lokasi, aku lantas turun dari motor dan melepas helm milik Farzan. Tempatnya di taman, di atas rerumputan yang sudah diberi alas tikar dan di depannya ada stand mic juga panggung bulat kecil. Mungkin itu untuk perform nanti. Lalu di sekeliling tikar untuk kami duduk juga ada beberapa tiang buatan yang dililit dengan lampu tumblr sebagai penerangan tambahan.
Setelah memverifikasi tiket online dan menukarnya dengan merchandise pin bertuliskan 'Lapang Sajak', aku dan Farzan duduk di bagian pinggir tikar dengan tujuan supaya gampang keluar pas pulang nanti.
"Gue beli minum sebentar ya," ujar Farzan yang langsung berlalu ke area depan taman dimana banyak pedagang makanan dan minuman mangkal disitu.
Tak sampai sepuluh menit, Farzan pun kembali dengan dua minuman teh dalam kemasan botol dan juga dua bungkus siomay.
"Thankyou," ujarku.
Acara kemudian dimulai dengan sambutan dari ketua pelaksana acara ini yang mengucapkan terima kasih atas partisipasi para hadirin yang telah datang kesini, lalu dia pun menjelaskan tentang konsep Speak Up Poetry dan rencana pengadaan Speak Up Poetry melapak keliling kota dimana Jakarta adalah kota kedua sebagai uji coba. Kota pertama sebelumnya ialah Depok. Dengan peminatnya yang ternyata melebihi dugaan awal, dia bilang akan membahas rencana itu lebih jauh dengan komunitas dan menghadirkan konsep yang lebih tertata dari sekarang ini.
Setelah itu salah seorang panitia yang bertugas sebagai MC pun menjelaskan secara singkat garis besar rangkaian acara dimana yang pertama setelah kata sambutan adalah pembacaan puisi dari orang-orang yang telah mendaftarkan diri untuk tampil malam ini, lalu dilanjutkan dengan fun games yang berkaitan dengan sajak dan diakhiri dengan pembacaan doa bersama serta kata penutup dari perwakilan panitia.
Satu persatu orang yang telah terdaftar pun tampil di atas panggung mini dan menyuarakan keresahan mereka lewat puisi. Ada yang bahkan sampai membawakannya dengan alunan petikan gitar. Ini aku jadi berasa nonton musikalisasi puisi Dian Sastro di film 'Ada Apa Dengan Cinta' dulu. Tema yang dibawakan pun beragam. Ada tentang cinta, keluarga, teman, rasa takut, kecewa, dan masih banyak lagi. Tapi dari semua itu yang paling kena di hatiku adalah puisi dari seseorang bernama Novran yang mengangkat tema tentang sifat buruk orang-orang zaman sekarang yang mudah sekali memberikan komentar buruk pada orang lain tanpa mempedulikan perasaan orang itu.
"Aku termenung. Bersama nurani yang berkabung. Dulu, pahlawan mati-matian demi merdeka. Kini, insan malah mati-matian dalam mencela. Suka mengoreksi, lupa intropeksi. Sering menyalahkan, jarang mendengarkan. Berwujud manusia, tapi tak bersifat manusiawi. Memiliki hati, tapi tak mampu berempati. Akal diutamakan, akhlak ditinggalkan. Inikah sifat penghuni dunia akhir zaman?"
Kenapa relate banget sihh?! seruku dalam hati tatkala puisi itu membuatku terbayang sikap Tante Tari yang kerap kali menjelekanku di hadapan Mama. Tanpa sadar, mataku sudah dipenuhi dengan air yang menggenang karenanya.
***
To be continue
Jangan lupa untuk tag aku jika kamu mengutip kalimat dalam cerita ini ya😊
Much love,
Asty K
KAMU SEDANG MEMBACA
Karunia di Seperempat Abad (E-book)
Fiction générale[Tersedia di google play store] Link: https://play.google.com/store/books/details/Atyampela_Karunia_di_Seperempat_Abad?id=XshdEAAAQBAJ Pandangannya terkait dunia mulai berubah sejak Karunia Miderlani memasuki usia seperempat abad. Karunia tak pernah...