4. Rintangan

17K 2.2K 20
                                    

"Lu sudah daritadi, Ya?" tanya Arini begitu ia menghampiriku.

Aku mengangguk. "Lumayan sih," jawabku.

"Sampai habis dua gelas kopi?" tanyanya menatap takjub pada dua gelas kosong di meja tempat kami duduk.

Aku menggeleng. "Kagak. Itu yang satu bekas Farzan. Tadi dia temani gue di sini sampai lu datang."

Arini tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Pokoknya gue sih sudah gak heran lagi kalau nanti dapat undangan dari kalian berdua."

Aku memilih untuk tak meresponnya atas pernyataannya yang satu itu. "Kita jadinya mau kemana dulu nih?" tanyaku mengalihkan topik.

"Kemana ya? Gue cuma ngidam pengin keluar rumah sih," jawabnya.

"Ya Allah, Rin, kalau gitu mah kenapa gak ajak suami lu aja sih?" cibirku. Arini ini sudah menikah sejak kami masih kuliah di awal semester delapan dan sekarang dia sedang hamil enam bulan.

"Laki gue lagi ada kerjaan. Lagian kan gue kangen juga kali, Ya, kelayapan sama lu. Kita ke stasiun aja kali yuk? Kita makan siang di Bogor kayaknya enak."

Aku langsung menggeleng menolak usulnya. "Ah, yang bener aja lu ingat perut dong."

Dulu waktu kuliah Arini memang biasa pergi-pergian denganku naik motor melintasi jabodetabek, namun sejak menikah rutinitas itu otomatis berkurang. Apalagi ditambah saat ini ia sedang hamil besar dan sudah tidak diperbolehkan membawa motor lagi oleh suaminya. Aku sendiri juga agak cemas sekarang kalau pergi jauh cuma berdua saja dengannya sekalipun naik transportasi umum seperti taxi atau bus transjakarta. Bukan apa-apa, dengan kondisinya yang lagi hamil begini kalau terjadi sesuatu di jalan kan aku paniknya jadi double. Mikirin emaknya plus bayinya juga. Daripada harus mengambil risiko terlalu tinggi, mendingan kutolak saja ajakannya itu.

"Yah, lu mah gak asik nih. Kan gue juga perlu banyak jalan, Ya, biar lahirannya gampang," keluh Arini

"Ya tapi jalannya gak ke Bogor juga kali. Sudah, makan di sini aja deh. Lagian lu sama laki lu juga izinnya kesini, kan?"

"Iya sih, tapi kan Bogor juga dekat, Ya, naik kereta cuma sekali."

Aku tetap menggeleng. "Mau deket kek mau jauh kek, masa lu mau bohong sama laki lu? Kalau lu mau ke Bogor nanti aja ajak laki lu biar lebih aman."

Arini berdecak pelan. "Ah lu mah bukan teman gue lagi nih," cibirnya.

"Yeu! Justru karena gue teman lu makanya gue berani mengingatkan," sahutku. "Sudahlah, Rin, di sini aja ya?"

Meski sempat terlihat bete, Arini akhirnya setuju. Kami pun pergi menuju foodcourt untuk mengisi perut.

"Jadi, anak lu cewek apa cowok, Rin?" tanyaku saat kami tengah menyantap nasi katsu.

Arini mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Belum ketahuan juga nih. Ngumpet terus dia. Gue sih apa aja lah mau cewek atau cowok yang penting sehat."

"Aamiin," sahutku. Semoga Arini pun diberi kesehatan dan dapat melahirkan dengan selamat nanti. "Terus lu sudah siapin apaan aja nih buat lahiran nanti?" tanyaku lagi.

"Belum siapin apa-apa. Paling nanti saja lah pas tujuh bulan ke atas. Kata mertua gue masih pamali kalau di bawah tujuh bulan sudah siapin perlengkapan bayi."

Aku mengangguk mafhum. "Oh, ya sudah lah turuti saja."

Arini tiba-tiba saja menghela napas panjang sambil meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. "Pusing dah gue, Ya," keluhnya.

Aku seketika langsung panik mendengarnya. "Loh, kenapa? Bayi lu gak cocok makan katsu apa gimana nih? Mau gue telepon suami lu?"

Bukannya menjawab, Arini malah memukul pelan bahuku. "Bukan pusing karena itu, bahlul!" omelnya.

"Ah, lu mah nakutin aja deh, Rin," keluhku. "Terus pusing kenapa dong?"

"Yaa gue pusing aja married life ternyata tak seindah ekspetasi gue."

Aku jadi tergelak mendengarnya. "Memangnya ekspetasi lu itu gimana sih, Rin? Tiap hari bulan madu?" ledekku.

Arini mencebik. "Ya gak gitu-gitu amat juga sih. Cuma kan gue pikir kalau sudah menikah tuh kita bakal punya keluarga sendiri. Dalam artian berarti rumah tangga gue itu urusan gue sama laki gue dong, ya kan? Eh, ini mah kagak. Ada aja gitu yang bikin pusing. Ya dari keluarga gue lah, dari keluarga laki gue lah."

Aku mengernyitkan dahiku. Bingung dengan apa maksud dari pembicaraan Arini ini. Aku kan belum berkeluarga ya, eh ini anak ngomongin masalah rumah tangga sama aku. Mana aku paham coba? "To the point aja, Rin, lu lagi ada masalah apaan sebenarnya?" tanyaku langsung.

"Mumet gue, Ya, nyokap sama mertua gue beda pendapat mulu. Dulu sebulan dua bulan pasca menikah, mertua gue nanyain 'kapan nih isinya?' Sedangkan kalau nyokap gue malah nyuruh tunda dulu jangan langsung punya anak soalnya lu kan tahu lah gue masih kuliah bahkan sampe sekarang juga belum kelar itu kuliah gue kebanyakan cuti. Ya cuti gara-gara ikut nemenin suami tugas di luar kota lah, terus belum lagi nanti kalau udah masuk akhir bulan ke delapan pasti gue cuti lagi persiapan melahirkan. Makin kagak jelas aja kapan sarjananya gue.

"Nah terus giliran sekarang nih gue hamil dan kira-kira tiga bulan lagi lahiran kan ya, eh mereka beda pendapat lagi. Mertua gue maunya gue fokus ngurus anak jangan sampai anak ditangani sama pengasuh, sedangkan nyokap maunya setelah lahiran gue harus sewa baby sitter biar gue tetap bisa kuliah. Sudah mana kan dua-duanya ngomongnya ke gue mulu, pusing gue jadinya. Sedangkan gue sama laki gue aja belum ada keputusan apa-apa."

Aku hanya diam mendengarkan kegalauan Arini. Baik dari ibunya Arini atau pun ibu mertuanya sebenarnya punya maksud yang sama-sama baik. Yang satu ingin anaknya menyelesaikan pendidikannya, yang satu lagi ingin memastikan kalau calon cucunya benar-benar mendapat perhatian penuh dari ibunya.

"Lu belum ngomong sama sekali ke suami lu memangnya, Rin?" tanyaku.

"Sudah sih, tapi laki gue juga ada-ada aja lagi. Kayaknya sih dia mau ambil tuh tawaran tugas ke Pekanbaru selama setahun. Katanya biar naik jabatan. Oke, gue tahu maksudnya kan dengan jabatan naik, gaji juga otomatis naik. Apalagi kita bakal punya anak dan otomatis biaya hidup juga bakal bertambah jadi gue gak heran sih kalau dia mikir mau naik jabatan biar pemasukan juga jadi naik. Cuma ya dipikir aja kali masa gue mau lahiran anak pertama ditinggal?"

Aku hanya bisa menepuk-nepuk bahu Arini sebagai bentuk dukunganku untuknya. Aku tak bisa berkomentar apa-apa, terlebih ini sudah menyangkut masalah rumah tangga dan keluarga mereka.

"Eh, sorry nih, Ya, tapi jangan gara-gara gue curhat begini lu jadi takut nikah ya. Kalau lu mah kan seenggaknya sudah lulus, Ya, jadi kalaupun menikah minimal sudah gak pusing bagi waktu sama kuliah lagi."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Santai, Rin."

Dulu waktu pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, aku sempat berpikir ingin menikah saja supaya tidak perlu bersusah payah mengerjakan skripsi. Tapi kini aku sadar, apapun yang kita lakukan pasti akan selalu ada rintangannya. Farzan benar, kita memang gak akan pernah tahu lika-liku apa yang akan kita temui di jalan kita.

***

To be continue

Karunia di Seperempat Abad (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang