“Sudah, cermin itu akan pecah apabila kau terus menatapinya,” celetuk Donghyuck pada pemuda bertubuh mungil itu.
“Sialan, Hyuck. Berhenti mengangguku dan bantu aku memasang dasiku ini,” sungut Renjun kesal pada sahabatnya itu.
Donghyuck tergelak. “Umurmu sudah kepala dua, tetapi memasang dasi pun kau tak bisa? Hei, keponakanku yang berumur sepuluh saja sudah bisa memasang dasi!”
Renjun reflek memukul lengan Donghyuck kesal. “Kalau kau enggan membantu setidaknya jangan mengejekku!” Bibirnya menekuk ke bawah.
Donghyuck memegangi bahu Renjun dan memutar tubuh pemuda manis itu hingga menghadap kepadanya. Dengan cekatan—dan senyuman jahil yang terlukis pada paras tampan itu—Donghyuck memasangkan dasi pada Renjun.
“Sudah. Sekarang, ayo sarapan?” Ajak Donghyuck seraya mengusap punggung Renjun yang sempit.
Renjun sekali lagi melayangkan pandangannya pada cermin lebar yang terpajang di kamarnya itu. Setelah itu, ia tersenyum puas.
Huang Renjun sudah siap untuk hari pertamanya bekerja.
Selesai mematut dirinya di depan cermin, Renjun segera melangkah menuju ruang makan mereka.
Memang, apartemen mereka itu memiliki ruang makan tersendiri dengan dapur terpisah, dan ruang baca yang teramat luas, didesain dengan apik oleh Donghyuck sendiri.
Benar. Apartemen itu milik Donghyuck. Renjun sendiri ada di sana karena Donghyuck memaksa Renjun untuk tinggal bersamanya saja. Baginya, Renjun sudah seperti keluarga, dan ia tak akan rela apabila Renjun terlantar pasca kematian sang ibu.
Donghyuck lah yang selalu menghiburnya, memaksa Renjun untuk makan saat ia disibukkan dengan tugas akhir, atau saat Renjun sakit, Donghyuck yang merawatnya.
Renjun selalu merasa tak enak dengan Donghyuck, pemuda itu bahkan yang membelikan bahan makanan untuk mereka, atau perhatian-perhatian kecil Donghyuck padanya seperti membelikan Renjun sepatu baru saat sepatu pemuda itu sudah terlampau usang dan rusak.
Padahal Renjun sendiri cenderung abai dengan sepatunya. Saat sol sepatunya lepas, yang ia lakukan adalah membeli lem untuk merekatkannya kembali, dan bukan sepatu baru.
“Pagi ini aku hanya memasak nasi goreng. Tidak masalah kan?” Tanya pemuda yang lebih tinggi.
Renjun menatap Donghyuck geli. “Kau tidak meracuniku kan?”
“Ya Tuhan Injun-ah! Kau itu membuatku teringat bahwa aku belum membubuhkan racun pada nasimu,” balas Donghyuck dramatis. “Ah, sial.”
Renjun tertawa kencang namun jemarinya tak luput mencubit kulit perut Donghyuck dengan keras membuat pemuda itu mengaduh.
“Sialan, kau, Huang!” Pekiknya kesal.
Dengan senyum puas, Renjun duduk di atas kursi dan mulai menyendokkan nasi goreng acak-acakan itu ke piringnya. Donghyuck itu tak pandai memasak, namun ia selalu berusaha dengan keras.
Mereka mulai sarapan itu dengan tenang. Sesekali Renjun dan Donghyuck akan saling berbincang dengan ringan diselingi candaan untuk menemani santapan pagi mereka.
Setelah selesai, Renjun segera bangkit dan membereskan meja makan, serta mencuci piring-piring di meja makan. Sedang Donghyuck bersiap untuk segera berangkat.
Pemuda yang dipanggil Haechan semasa kecil itu berangkat lebih lamban ketimbang Renjun. Renjun harus sudah tiba di kantor pada pukul delapan sedang Donghyuck pukul 9.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Your Typical CEO [Lucas x Renjun]
Fiksi PenggemarHanya sebuah cerita tentang keseharian pemuda bernama Huang Renjun menjadi sekretaris CEO perusahaan ternama, Wong Yukhei.