"Widih, emang terbaik lo, Ce. Kapan-kapan gue lari lagi ke sini kali ya, kalau hujan?"
Sontak, Chaeyoung mengalihkan pandangannya pada Hyunjin. "Iya, lari aja ke sini. Nanti gue bilang biar lo jangan dilayanin, biarin aja kayak gembel kehujanan."
Heejin menyadari refleks Chaeyoung. "Tadi kenapa, Ce? Ada sesua—"
"Nggak kok, cuma ada tamu gue." Chaeyoung segera duduk dan menarik Heejin yang hampir berbalik untuk melihat keluar melalui jendela di belakang mereka. "Tadi mau cerita 'kan? Nyampe mana?"
Tubuh kecil Heejin pun kalah oleh tarikan Chaeyoung. "Lupa, bahas apa sih, kita?"
"Itu loh, Mahardika Jaemin Narendra lo," balas Hyunjin dengan penekanan.
Heejin membentuk o bulat dengan mulutnya. "Oh itu, alasan kenapa gue adem-adem aja kali, ya?"
"Mungkin, Jaemin emang sesabar itu ngadepin orang. Lo sendiri tahu 'kan, kalau anak gendeng pernah ribut dan Haechan terang-terangan nuduh Jaemin. Padahal salah paham doang.
"Jaemin ngadepin gendeng yang beneran gendeng aja sabar banget, dituduh pun dia nggak marah. Dia terbiasa kali, makanya jarang marah."
Hyunjin angkat bicara. "Iya, dia nggak marah waktu itu. Tapi, sorenya dia tiba-tiba nongol di rumah Jeno sambil main voli sendirian. Padahal di rumah Jeno adanya ring basket. Itu namanya nggak marah?"
Heejin mengangkat bahunya. "Lo tahu sendiri 'ka—"
Hyunjin membalas. "Gue nggak tahu, Jin. Gue nebak, yang pacaran sama Jaemin 'kan lo."
"Tapi, yang deket sama Jaemin? Lo 'kan?"
"Yee, gue mah, deketnya sama Felix, Jisung, Seungmin, Sunwoo," timbal Hyunjin mulai kesal.
Chaeyoung menatap keduanya. Ia masih menanti kelanjutan cerita dari Heejin. Siapa tahu ada sesuatu yang dapat digali lebih dalam tentang Jaemin. Mungkin, soal perempuan yang dekat dengannya selain Heejin?
Gadis jangkung itu berdiri, berharap dapat menangkap keduanya. Namun, cuaca sudah cerah kembali. Kedua sosok itu sudah tak lagi di sana.
"Lo berdua nggak mau pulang?"
Heejin melirik keluar. "Gue pulang deh, mau istirahat."
Hyunjin pun berdiri. Namun, Chaeyoung mencegatnya. "Lo nggak mau bayar dulu?"
Lelaki itu menggeleng. "Lo nggak mau minggir? Gue 'kan mau pulang," ujarnya sembari meloloskan diri. Chaeyoung tak lagi menahannya, toh ia hanya bercanda.
"Eh, Jin. Temenin ke kampus mau? Atau lo mau langsung pulang?" tanya Hyunjin sesudah keduanya berpamitan dengan Chaeyoung.
"Nggak tahu, sini gue temenin lo. Lagian, nggak pasti bakal langsung istirahat juga." Heejin berjalan di depan Hyunjin, membuat lelaki itu harus mengejar untuk menyetarakan langkahnya.
Beruntung, Hyunjin mengajak Heejin mengobrol. Membuatnya tak sadar akan kehadiran Jaemin di seberang jalan, tengah berbagi payung dengan seseorang yang seharusnya adalah Heejin.
✩
Jaemin mengangkat tangannya. Rupanya hujan sudah cukup reda. Ia pun menutup payung pemberian Heejin dan merapikan tasnya.
"Loh, kenapa ditutup, Kak? Udah reda?"
Minju pun turut mengangkat tangannya. Rintik kecil hujan masih terasa membasahi tangan kecilnya. Ya, cukup reda. Artinya, ia harus pulang—juga berpisah dengan Jaemin.
"Pulang ya, jangan keluyuran. Lo dicariin nanti," pesan Jaemin sembari mengacungkan jempol. Tak lama punggung pemuda itu sudah menjauh dari tempat semula.
Minju hanya dapat melambaikan tangannya pelan dan menghembus napas kecewa. Gadis itu tidak meminta lebih dari Jaemin. Cukup kedekatan mereka seperti dulu lagi. Seperti kakak beradik lagi.
Namun, keadaan seakan berbalik. Atensi Jaemin terarah pada Heejin dan mulai melupakan keberadaan Minju. Tidak, melupakan itu berlebihan. Jaemin masih sering bertukar kabar dengan Minju. Mungkin, dapat dihitung dengan jari, 1 kali sebulan.
Minju hanya ingin kakaknya kembali. Minju ingin Jaemin kembali menganggapnya seperti adik perempuannya sendiri. Tapi satu sisi, gadis itu bingung dengan tingkahnya. Apa Heejin nggak cemburu kalau tahu?
Netra gadis itu menyapu pandangan sekitar. Itu Jaemin! pekiknya dalam hati dan bergegas mengejar pemuda itu. Ia tidak ingin ada salah paham, bahkan dianggap orang ketiga dalam hubungan kedua pasangan itu. Minju harus jujur, hanya itu.
Namun, lagi-lagi. Sepasang mata menangkap interaksi mereka dan salah mengartikannya. Terlambat bagi Minju, ia sudah tertangkap dalam foto yang kini tersimpan dalam handphone sang saksi mata.
✩
"Shu, lo sini deh. Kita bahas di sini aja mumpung sepi, teleponan gini 'kan repot."
'Duh, sebenernya gue males. Eh, tap—bentar, Ce!'
Chaeyoung memutar matanya malas. "Yaudah, besok aja lagi ya. Kebetulan mendadak rame nih, kafe."
Sambungan telepon itu terputus sebelum Shuhua sempat membalas. Chaeyoung malas jika harus membahas hal seperti ini lewat telepon. Pertama, telinganya panas. Kedua, nggak enak aja kalau gibah nggak ketemuan langsung.
Rasa penasaran semakin mendesaknya untuk mencari tahu siapa Minju. Yang ia tahu, Minju sempat bergabung dengan ekstrakurikuler yang sama seperti Chaeyeon dan satu tim. Ia tidak pernah tahu kalau Minju dekat dengan Jaemin.
Satu sisi, Chaeyoung tidak ingin ikut terjun dalam masalah ini. Namun, sisi lain. Chaeyoung takut ia salah jika tidak bertindak. Bagaimana kalau omongan Hyunjin benar? Bagaimana kala—udahlah. Nggak usah dipikir! Bukan urusan lo!
Chaeyoung menggeleng kuat. Bersamaan dengan itu, terdengar pintu yang dibuka dan seorang pelanggan masuk. Pandangan gadis itu mengekor si pelanggan baru yang kini tengah mengantri. Chaeyoung terkejut. Ia mengenali pelanggan itu.
Empat Delapan
hyebae ✩ 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Delapan.
FanfictionSelamat datang dalam dunia mereka, sembilan belas muda-mudi Bandung yang terikat dalam benang merah persahabatan. Contain harsh words. © liareumdaun, 2019. Find us on LINE! #PATLAPAN Best record : #1 on Millenial 💥