Happy birthday Eunbin, happy birthday Eunbin! Happy birthday, happy birthday-
"Happy birthday, Eunika."
Perlahan Jinyoung membuka kedua tangannya. Ia memperhatikan Eunbin, lebih tepatnya binar mata sang gadis. Kagum, senang, bahagia. Entah bagaimana cara mendeskripsikannya. Yang Jinyoung pahami, ia turut senang.
"Wow, I've told you nggak usah re-"
"Repot? Siapa yang kerepotan nyiapin begini buat kesayangannya?" jawab Jinyoung tanpa ragu.
Jawaban Jinyoung jelas merupakan kejutan untuk Eunbin. Ya, dia sayang gue karena kita udah kenal sejak kecil 'kan? yakin Eunbin dalam hati kecilnya.
Ada sebuah pojok kecil di sana yang berharap, namun sisi lainnya melarang ia jatuh terlalu dalam. Eunbin menggeleng kuat, melepas pikiran yang sempat melintas lagi. Tanpa buang waktu, lilin itu ditiupnya. Tersisa remang cahaya dari luar jendela menyinari dapur kecil rumah Eunbin.
"Make a wish-nya udah? Kok sebentar?" Jinyoung mengernyit heran.
"Harapannya nggak sebanyak itu kali, lagian masih banyak kue yang harus gue tiup nanti," jawab Eunbin, pede.
Jinyoung hanya tertawa kecil dan mengacak rambut gadis yang masih berpakaian tidur itu. Sudah menjadi kebiasaan. Rasanya belum lengkap bila ia belum mengacak rambut Eunbin saat bertemu.
Mungkin orang menganggapnya bucin atau apalah. Tapi bagi Jinyoung, lumrah 'kan jika ia melakukannya pada seorang sahabat dekat? Lagipula, Jinyoung salah satu manusia bodoamat.
"Masih jam segini, pulang gih." Eunbin mengibas tangannya, seakan mengusir Jinyoung.
"Nanti lah, lo tega biarin gue pulang jam segini?" tanya Jinyoung.
"Lah, lo yang ngapain ke sini jam segini? Udah tau kawasan rumah gue angker, masih aja didatengin." Eunbin melipat tangannya, tanda ia menang atas argumen ini.
"'Kan gue udah bilang tadi, apa perlu gue ulang? Siapa yan-"
"Ssst, ah! Udah!" balas Eunbin yang segera mendorong Jinyoung keluar. "Hati-hati pulangnya, di gerbang suka ada yang ngawasin dan itu bukan satpam. Satpam komplek nggak pakai baju putih."
Jinyoung nampak panik, namun ia menyembunyikannya. "Oke, oke. Gue pulang ya, semoga aja gue nggak ketemu cewek berbaju putih itu."
Eunbin mengantar pemuda itu sampai pintu keluar rumahnya. Tangannya melambai kala mobil yang dibawa Jinyoung sudah berlalu pergi. Pukul 1 pagi. Tak dirasa, sudah satu jam berlalu sejak kejutan kecil. Gadis itu bergegas masuk, lalu berlari kecil menuju kamarnya dan terduduk di samping tempat tidur.
Jin, tolong berhenti. Gue nggak mau luka lama terulang kembali.
✩
Samar suara radio mengisi keheningan. Jinyoung melirik jam yang terpasang pada mobilnya-ah, bukan. Mobil ayahnya yang ia pinjam. Pukul 1, cukup lama juga ia berada di rumah Eunbin.
Mudah sekali untuk mendapat akses masuk. Keduanya sudah mengenal sejak bangku Sekolah Dasar, kedua orang tua mereka pula bekerja di bidang yang sama. Walaupun Jinyoung berkunjung tengah malam, tentu saja akan tetap dibukakan pintu. Apalagi rencana ulang tahun Eunbin, mudah sekali menyusunnya.
"Suka nggak sama kuenya? Semoga suka, ya." Jinyoung tidak sedang bermonolog. Ia tengah berbicara dengan Eunbin melalui telepon, seakan pertemuan tadi belum cukup.
'Belum dimakan. Lagian siapa sih, yang jam segini laper?'
"Lo lupa ya, sama siapa yang dulu sering banget ngadu ke gue? Jin, laper. Jin, mau mie. Tapi jam segini, Jin. Kepagian," jawab Jinyoung menirukan cara bicara Eunbin dulu.
'Nggak kenal, siapa sih? Gue mau tidur. Lo nelepon gue karena lo takut di bangku belakang ketambahan penumpang, 'kan?'
Lagi-lagi Jinyoung agak panik. Pemuda satu ini memang pernah memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan hal-hal gaib. Jadi, wajar saja.
"Hush, lo ngomong dijaga, ya. Kena sebaliknya gue ketawa paling keras."
'Haha, iya, deh! Pamit ya, Jin. Hati-hati nyetirnya, jangan lupa gasnya diteken.'
Sambungan itu terputus. Kembali lagi Jinyoung ditemani suara samar radio. "Tenang, jangan noleh belakang. Jangan. Noleh. Belakang."
Jinyoung tersenyum sekilas melihat panggilan yang sudah terputus itu. Eunika Bintang bukan hanya seorang teman bicara. Melainkan, sudah seperti pensil warna di atas kertas putih Jinyoung.
Tidak salah, mereka memang berteman sejak kecil. Awalnya mereka dekat karena terpaksa. Tetapi waktu berjalan, hubungan terjalin. Walau sempat terputus akibat ulah Jinyoung sendiri.
Januari, bulan yang sama. Pemuda itu ingat. Tahun lalu, Eunbin marah besar padanya, akibat mendekati salah satu teman dekatnya, Aurelia Seoyeon Andira, yang kini tengah mencari ilmu di negeri tetangga.
'Lo kalau mau main-main, liat dulu siapa yang dimainin. Lo tau sendiri 'kan, gue orangnya kayak gimana?
'Ya, gue pasti maju kalau tingkah lo keterlaluan sama temen gue. Jadi, sekarang lo tau sendiri gue bakal apa.'
Lapangan yang menjadi tempat favorit Jinyoung untuk menghabiskan waktu di sekolah, berubah menjadi tempat dimana Eunbin memutuskan untuk mendiamkannya selama beberapa saat. Lelaki itu sempat heran. Kenapa malah Eunbin yang kecewa? Kenapa bukan Seoyeon? Kenapa ia pun terima sampai saat ini?
Lampu merah menghentikan laju mobilnya. Jinyoung meraih gawainya sesaat.
Nggak, Bin. Apa yang terjadi sama temen lo, nggak akan terjadi sama lo.
Empat Delapan
hyebae ✩ 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Delapan.
FanfictionSelamat datang dalam dunia mereka, sembilan belas muda-mudi Bandung yang terikat dalam benang merah persahabatan. Contain harsh words. © liareumdaun, 2019. Find us on LINE! #PATLAPAN Best record : #1 on Millenial 💥