Akibat Pandemi #2 | 20 Maret

1K 133 15
                                    

Kostan sepi, sunyi, damai. Jelas, jarum masih menunjuk pukul satu pagi. Ruang tengah yang biasa ramai oleh canda tawa para lelaki kini hanya diisi oleh detik jarum jam. Lagipula, siapa juga yang masih melek jam segini?

Ada, ada Angkasa yang masih berkutat dengan laptop dan buku di sekitarnya. Pemuda itu memilih jam pagi untuk mengerjakan tugas. Tentu alasannya karena ia butuh ketenangan.

Bagaimana tidak, pagi-pagi semua penghuni sibuk. Entah itu sibuk rebutan kamar mandi, rebutan meja belajar, bahkan rebutan sambungan kabel untuk laptop mereka. Siangnya, keributan dilanjut oleh pertanyaan Makan apa hari ini? Yang masak siapa?

Jenuh, Angkasa pun melirik ponselnya. Bertepatan dengan masuknya sebuah notifikasi dari reminder yang dengan mudah menarik atensinya.

"Ya Allah, reminder gue telat satu jam!"

"Ya Allah, gue udah kepala dua ya, sekarang ...."

Sudah 3 kali pemuda kelahiran Maret itu mengulang pernyataannya, seakan belum terima bahwa umurnya sudah melepas angka belasan satu jam yang lalu.

Lagi-lagi, Marven menatap wajahnya melalui pantulan layar ponsel. "Tapi, kalau dipikir muka gue masih layak disebut anak SMA. Gantengnya masih seger," ujarnya diakhiri tawa.

"Padahal gue punya wishlist, ulang tahun kedua puluh harus diucapin pacar. Eh, pacarnya malah putus sebelum 20."

"Yah, siapa dong, yang baka⎯"

Kost. Angkasa

Monolog pemuda itu berhenti saat sebuah panggilan masuk menyapa ponselnya. Angkasa. Jangan tanya mengapa rename-nya begitu, Marven bilang biar gampang.

"WOI MAKASIH YA, ANGKASA. SENENG BANGET AKHIRNYA ADA YANG MAU NGUCAPIN GUE ULANG⎯"

'Ini portofolio punya lo ada yang ketinggalan satu di meja kostan.'

Marven hanya dapat mengembus napas kecewa. Kalau dipikir, apa sih, yang dapat diharapkan dari seorang Angkasa soal kepekaannya dengan teman-temannya?

Angkasa tertawa di seberang sana. 'Ya elah, lo pikir, gue mau nelepon orang jam segini cuma buat ngasih tau barangnya ketinggalan? Kagak lah.'

'Selamat ulang tahun ya, kawanku. Wish-nya, semoga ulang tahun. Amiiin.'

Lagi, Marven bingung harus bersedih atau bersyukur.

"Iya, Amin aja dulu. Gue yakin pasti wish yang asli udah diucap dalam doa," balasnya pasrah.

'Ngarep lo ketinggian.'

"Dih, tahun lalu ada yang bilang, 'Kadonya gue transfer lewat doa, elu nanti balikin sisanya lewat go-pud.'" balas Marven nyinyir.

'Itu 'kan tahun lalu, different year different wish different ways to traktiran lah.'

Tawa keduanya mengisi hening pagi buta itu. Yang dulu merayakan di satu ruang, kini harus dirayakan melalui layar saja. Yah, yang penting tidak menghalangi traktiran.

Obrolan ngalor ngidul mereka lewati, yang tadinya via suara pun beralih menjadi tatap muka. Rupanya, satu penghuni kost pun terbangun dan bergabung dengan obrolan tersebut.

"Tawa lo kedenger sampai belakang, gimana gue nggak kebangun?" ujar Felix sambil mengumpulkan nyawanya.

"Nggak kuat gue ngobrol sama dia subuh begini. Nggak ada nyambung-nyambungnya," balas Angkasa.

Sepertinya Felix mulai sadar, walau masih menggosok mata dan menguap beberapa kali. "Lo ultah ya, Ven??? Kok lo nggak bikin announcement, sih? Kayaknya tiap taun lo doang, yang paling ribut soal ulang tahun."

'Kayak ada yang ngomong, siapa ya, Kas? Sebelah lo jurig, ya?'

"Iya, kali. Pantesan gue merinding daritadi, emang kostan ini bahaya subuh-subuh."

Felix pun menjadikan punggung Angkasa sebagai sasaran empuk pukulannya. "Sialan lo, anjir. Anyway, happy birthday, bro! Wish you all the best as always, God bless you lah, intinya."

'Hatur nuhun so much, Felix. Hairul nggak bangun, ya?'

Angkasa dan Felix bertukar tatap, keduanya menggeleng. Tahu sendiri, Hairul tidak akan bangun kecuali ia dibangunkan atau niatnya sendiri. Yah, apalagi jam-jam pagi seperti ini. Mungkin Hairul lagi menikmati jalan-jalan via alam mimpi.

'Yah yaudah, gue pamit ya, ngantuk. Lo tidur, Kas. Lo juga sambung lagi mimpinya, Lix. See you deh, secepetnya.'

Pemuda itu melambaikan tangannya dan menutup sambungan telepon. Begitu pula dengan Angkasa dan Felix, yang kini bersiap kembali ke kamar masing-masing. Felix melirik jam, sudah pukul 2 pagi. Masih ada beberapa jam untuk tidur.

Keduanya berjalan bersamaan, namun berpisah di tangga karena kamar Angkasa berada di atas. Felix pun berbelok menuju kamarnya yang terletak di deret belakang. Namun⎯

"Lah, Rul? Tumben banget lo bangun jam segini?"

Hairul menggosok mata dan pipinya bergantian, nampak linglung karena baru bangun. "Gue laper. Eh, tadi kayak ada ribut-ribut, kenapa?"

Felix tertawa pelan. "Lo telat, baru aja gue sama Kasa ngerayain ultahnya Marven tadi."

Sesaat, Hairul langsung melek. "Kok lo nggak bangunin gue? Temen suportif bukan lo? Ya Allah, gue telepon sekarang deh, anaknya."

Pemuda Aussie itu melanjutkan tawanya dan masuk ke kamar. Bisa-bisa Marven batal tidur karena harus dengerin Hairul ngomong berjam-jam, pikirnya.

Yah, selamat tidur deh, Marven.

Pemuda yang dimaksud hanya dapat melongo mendapati sebuah voice note yang dikirimkan oknum Hairul. Ya Tuhan, kenapa pagi-pagi gini gue disambut suara Hairul?

Hairul J.

GUE TELAT YA
Sent a voice message.
Dengernya bangun tidur ya

'WOWWW SELAMAT ULANG TAHUN GANTENG PRET GANTENGAN GUE. MAAF GAK IKUT NGOBROL BARENG KARENA GUE BARU BANGUN. SEMOGA PANJANG UMUR WALAU UMUR BAKAL TERUS MEMENDEK. APALAGI GUE BINGUNG NGUCAPIN SELAMAT ULANG TAHUN 6 TAHUN BERTURUT-TURUT ISINYA SAMA. Ya pokoknya selamat ulang tahun Marven! Ah capek, gak lagi gue besok-besok ngucapin pas lagi laper.'

Walau begitu, senyum pun tak dapat lepas dari wajahnya. Haha, makasih ya, Hair

Empat Delapan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang