Malvaras-05

6.9K 689 70
                                    

Meninggalkan atau ditinggalkan itu adalah pilihan. Dari keduanya sama-sama menyakitkan. Tidak akan ada kata baik-baik saja jika ditinggalkan oleh orang yang disayangi. Tak terkecuali Alvin.

Bagi Alvin, putus dari seorang Kanara adalah petaka. Alvin tak menyangka, sikapnya selama ini menjadikan boomerang untuk hubungannya dengan Ara.

Ara, mata cantik gadis itu mampu membius Alvin. Dua tahun yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu. Alvin, laki-laki dengan wajah datarnya mampu jatuh cinta dengan Ara hanya dengan sekejap. Ara satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Malvin jatuh cinta. Dan tiga hari yang lalu. Satu kata dari Ara mampu menghancurkan hati dan dunia Alvin.

Alvin, laki-laki itu tidak tau bagaimana caranya mengekspresikan apa yang dia rasakan. Alvin selalu bersikap datar dalam menghadapi sesuatu. Alvin, juga jarang bisa mengendalikan emosinya.

Dan disinilah Alvin sekarang, terbaring lebih di ranjang rumah sakit. Beberapa jam yang lalu Alvin kembali melukai dirinya sendiri, dan kini dia melukai telapak tangannya dan memberi goresen kecil di wajahnya sendiri. Alvin di temukan pingsan berlumur darah dan segera dibawa ke rumah sakit. Untung saja luka pada wajah Alvin tidak parah, jadi tidak akan menimbulkan bekas nantinya.

"Akhirnya lo sadar juga."

Alvin membuka matanya, dilihatnya Zio sekarang ada di hadapnnya.

"Gue di rumah sakit lagi?"

Ingin sekali Zio memukul kepala Alvin, setelah membuat panik satu rumah. Dan sekarang dia melontarkan pertanyaan seperti itu? Gila!

"Iya lah, lo aja pingsan sambil berdarah gitu. Gue aja ngiranya lo udah mati."

"Gue ga akan mati semudah itu," Alvin mencoba mendudukan dirinya. Dia baru sadar jika kini tangannya di perban.

"Lo emang gila! Putus dari Ara aja lo bisa sampe kayak gini lagi. Padahal udah lama lo ga kumat."

"Lo tau kan, gue sembuh juga karena Ara. Kalo Ara pergi, ya--" Alvin tidak melanjutkan kalimatnya. Pikirannya menerawang jauh memikirnya mantan kekasihnya itu. Ara. Alvin merasa sangat bodoh karena telah melepaskan gadis itu.

"Gue denger dari Zela, si Deas mulai deketin Ara lagi. Btw, meskipun agak tengil, si Deas baik juga sih kelihatannya. Jadi, ga ada salahnya sih kalo Ara mau sama Deas," kalimat itu melesat begitu saja dari mulut Zio. Tanpa Dia sadari jika Alvin tidak akan suka mendengar perkataannya.

"Lo mau mati?"

Zio baru saja tersadar akan ucapannya. Dan Alvin mengatakan ancaman seperti biasanya.

"Halah, lo mah ngancemnya itu mulu. Ga bakal beneran bunuh gue juga."

Alvin meraih pisau yang tergeletak di meja. Hanya sepersekian detik, pisau itu sudah berada di hadapan wajah Zio.

Tubuh Zio langsung menegang. Gila! Siapa juga yang naruh pisau disitu?

"Bercanda sayang. Yuk, turuin pisaunya," secara perlahan Zio melepaskan pisau tersebut dari tangan Alvin. Zio bernafas lega, untung saja Alvin tidak memberontak.

Tuhan, masih memberi kesempatan Zio untuk hidup.

"Alhamdulillah, ternyata anak Mama udah bangun."

Alvin dan Zio menutup telinganya saat Alya--Mama Alvin tiba di ruangan tersebut.

"Aduh, kamu tuh ya, suka banget bikin Mama khawatir. Lihat! Sekarang kamu ngelukain wajah kamu. Kan sayang wajah kamu yang ganteng ini jadi ternodai. Kalau sampai bekasnya ga bisa hilang, kamu harus operasi plastik. Pokoknya--"

"Mah," nada tidak suka keluar dari mulut Alvin, membuat Alya tidak melanjutkan kalimatnya.

"Oke, Mama diem. Tapi inget, kamu ga boleh kabur lagi kayak biasanya," Alca menjeda sebentar kalimatnya, lalu menepuk pundak Zio. "Zi, kamu jagain Alvin ya. Tante mau keluar sebentar, mau kasih kabar ke Om kamu."

"Iya, Tante."

Selepasnya Alya keluar dari ruangan tersebut. Alvin segara ingin melancarkan aksinya. Larangan adalah perintah bagi Alvin.

"Zi, bantu gue kabur."

***

Ara melangkahkan kakinya menelusuri jalan. Hingga kakinya membawanya ke suatu tempat yang Ara sendiri tidak ingin berada disana. Tempat dimana kenangan itu dilahirkan.

Ara tak mengerti, sejauh kakinya melangkah kenapa di tempat ini kakinya melangkah.

Dua ayunan yang berjarak tiga langkah dengannya, adalah tempat dimana Ara menjadi kekasih Alvin. Sejak saat itu pula hidup Ara berubah.

Semakin Ara melihat ayunan tersebut, semakin membuat ingat Ara tentang Alvin bersarang di otaknya. Ara menggelengkan kepalanya. Move on Ara, Move on!

Ara menoleh kebelakang saat mendengar langkah kaki yang menghampirinya. Kaki Ara rasanya lemas saat dia tau Alvinlah yang ada dibelakangnya. Ara mengerjap, untuk pertama kalinya setelah mereka putus, mereka bertemu kembali.

"Alvin.." Ucap Ara sangat lirih. Bahkan Alvinpun tak mendengarnya.

Ara dia langsung berbalik untuk melangkahkan kakinya. Ara belum siap untuk bertegur sapa dengan laki-laki itu.

"Harus banget ya ngehindarin mantan," suara Alvin mengayun begitu tenang.

Nafas Ara terkecat, langkahnya mendadak terhenti. Ara menggigit bibir bawahnya. Dia harus bisa menghadapi Alvin. Ara tak ingin terus-terusan berada dalam bayang-bayang mantan kekasihnya itu.

Ara berbalik, bertatapan langsung dengan mata yang selalu bisa membiusnya.

"Siapa juga yang ngehindarin kamu!" Ara mencoba bicara sesantai mungkin menutupi kegugupannya.

Mata Ara terpusat pada perban yang menempel di wajah Alvin. Jadi, ini alasan Alvin tidak masuk selama beberapa hari. Ara langsung menggelangkan kepalanya. Tidak! Untuk apa dia peduli.

"Ngapain kesini? Kangen?"

"Siapa juga sih yang kangen sama kamu!"

"Ga ada yang bilang gitu."

Ara merutuki perkataannya. Kenapa dia tidak berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Bisa saja yang dimaksud Alvin adalah Ara kangen dengan tempat ini, atau kangen ingin jalan-jalan disini. Bukan artinya Ara merindukan Alvin.

Ara berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya. Langkahnya terhenti lagi saat dia melihat suara langkah kaki yang mengikutinya.

"Kamu ngapain sih ngikutin aku?"

"Kalau yang kita tuju searah, apa itu dianggap aku ngikutin kamu?"

"Terserah!"

Ara berjalan dengan tergesa-gesa. Hingga tidak sengaja dirinya tersandung sebuah batu. Membuat tubuh Ara tersungkur ditanah.

Bruk

Bukan rasa sakit yang Ara rasakan, melainkan rasa malu. Bagaimana bisa dia tersungkur dihadapan Alvin.

Ara melongo saat Alvin berjalan melawatinya tanpa menolongnya. Alvin hanya sekali menatap Ara datar kemudian melenggang pergi.

Dasar laki-laki tak berperasaan!

Ara segera menepis rasa kecewanya. Bukankah ini yang Ara inginkan? Jika Alvin tidak peduli dengannya. Itu akan memudahkan Ara untuk moveon.

"Fokus Ara, fokus. Kamu harusnya seneng kalau Alvin ga peduli sama kamu. Kalau Alvin sampai nolongin kamu yang ada kamu ambyar!" Ara bermonolog.

***

Adakah yang masih mau menghujat Alvin? 😂

Next atau ga?

MalvarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang