Lemah di Hadapanmu

77 2 1
                                    

🎶 Dari lahir sudah begitu, maafkan aku jatuh suka 🎶 -Tulus

***

"Iya, Mbak. Kata Mas Dani nanti dihubungi lagi." Dokumen laporan yang dibawa masuk barusan sudah dibuka-buka entah benar diperiksa atau hanya dibolak-balik karena tampak jelas sekali perempuan berusia enam tahun lebih tua dari dirinya itu dalam kondisi yang kurang baik. Masih sangat mudah untuk posisi manager keuangan di usia 32. Tapi jika berbicara tentang sepak terjangnya, Dayu, nama atasannya itu tidak bisa diragukan lagi.

"Rapat nanti ikut, ya?" Tidak selesai diperiksa semuanya, atasannya menutup laporan tersebut lalu menatapnya.

"Gimana, Mbak?" Biasanya juga ia tidak ikut.

"Kamu ikut masuk, ya nanti."

Ara segera mengangguk. "Iya, Mbak." lalu bergegas keluar setelah Dayu mengizinkan. Di luar ia berpapasan dengan sekretaris dari direktur utama dan tiga karyawan lainnya yang akan berbelok menuju meeting room yang terletak di samping ruangan bosnya. Ara melirik jam dinding di ujung kubikel, masih ada dua jam. Ia menuju ke mejanya, belum mengambil posisi duduk ketika mendapati ponsel miliknya bergetar, menampilkan satu nama. Panggilan masuk. Ara mengernyit dan terpaku sesaat. Ia mencoba mengingat apakah ada janji yang luput ia tunaikan? Karena normalnya, laki-laki itu tidak mungkin menghubunginya di waktu-waktu biasa seperti ini.

Ketika tak mendapatkan itu, yang ia lakukan adalah menerima panggilan masuk tersebut dan duduk. Kakinya di bawa melepas pantofel, sedang tangan satunya mengambil salinan dari laporan yang ia berikan ke atasannya tadi di samping komputer miliknya, hendak mempelajari kembali atau berusaha menutupi debaran yang muncul bersamaan dengan nama yang tertera di layar. "Halo, iya?"

"Gani di rumah sakit."

Jantung yang awalnya berdegup tidak normal karena akan mendengar suara itu lagi setelah hampir tiga pekan absen tiba-tiba berganti dengan dentuman yang menyakitkan.

Adiknya masuk rumah sakit. "Gimana? Kok bisa?"

"Nggak parah. Ada di Rumah sakit Rahardika sekarang, kalau mau kesini."

Tut...

Tidak berpikir panjang, ia memutus sepihak sambungan. Parah tidaknya, Ara harus segera meluncur ke rumah sakit. Jadi hal pertama yang ia lakukan adalah meminta izin. Untungnya ketika ia berjalan tergesa-gesa menuju ruangan atasannya, perempuan tersebut muncul di balik pintu, "Eh, Ra. Bantuin di ruang rapat yuk."

Ara menggeleng panik. "Mbak, aku izin keluar, nggak tahu balik lagi kesini atau nggak."

"Kenapa?" tanya atasannya tampak bingung.

"Adik aku masuk rumah sakit."

"Kok bisa? Sakit apa?" Dayu juga terlihat khawatir.

"Belum tahu, Mbak."

"Ya udah, cepet sana. Hati-hati kamu."

Tanpa membuang-buang waktu, Ara segera pamit dan menyambar tas di atas meja kerjanya lalu meleset menuju rumah sakit yang disebutkan oleh laki-laki barusan. Perjalanan terasa begitu lama pasalnya dirinya benar-benar dilanda kekhawatiran.

Sampai di rumah sakit, Ara berlari sesekali berjalan cepat menyusuri lorong-lorong. Kecepatan kakinya sangat dibantu oleh sandal jepit yang tanpa sadar masih melekat. Sandal jepit yang biasanya ia pakai lalu lalang di kubikel kantor. Saking kalang kabutnya sampai lupa memasang kembali pantofel yang selalu dia lepas saat baru duduk di kursi kerjanya dan memilih memakai sandal jepit dengan alasan sanda jepit simpel, nyaman dipakai dan tentu memudahkan. Dan alasan itulah yang membuat dirinya selama tiga tahun ini memelihara sandal jepit di kantor.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang