"Kamu yakin mau meminang putri saya? Putri saya itu seorang janda."
Hafla mengangguk pelan diiringi senyuman. "Insya Allah, Pak, saya yakin."
"Tapi, apa yang membuat Nak Hafla begitu ingin menikahi putri saya? Sedangkan lelaki lain menolak karena statusnya."
"Pak, menjadi janda tidaklah hina. Tidak ada satu wanita pun di dunia ini yang ingin berada di posisi tersebut. Saya akan katakan, bahwa saya sangat bersunggung-sungguh meminang putri Bapak. Insya Allah, untuk menjaganya dalam kemuliaan."
Syarif menatap pemuda berparas rupawan itu dengan serius. Tadi ia tidak percaya pada kesungguhan Hafla, tapi setelah melihat sorot di kedua matanya, ia yakin bahwa putrinya telah menemukan jodoh. "Baiklah, kalau begitu, bawalah keluargamu untuk menentukan tanggal pernikahan."
Hafla tersenyum, niat baiknya telah bersambut. "Terima kasih, Pak, saya akan segera memberi kabar."
Sementara pemuda itu berpamitan dengan wajah dipenuhi kebahagiaan. Di dalam kamarnya, Mahika merasakan tubuh yang sedang gemetar hebat, hingga sulit untuk dikendalikan. Setelah lima tahun menjanda, setelah berjuta penghinaan diterima dari para tetangga, juga tak lupa prasangka yang datang setiap harinya, kini seorang pemuda --yang tidak dikenalinya-- datang meminang.
Mahika mengusap bening air mata yang baru saja lolos. Seulas senyum terbentuk. Tipis. Ia mendengar bagaimana pemuda itu bicara, sangat lembut. Terlalu lembut, hingga membuat dadanya berdebar hebat.
"Siapakah gerangan engkau pemuda?" gumamnya seraya bangkit merapikan rambut yang sedikit kusut. "Benarkah datangmu untuk mengantarkan bahagia?"
Masih jelas dalam ingatan, bagaimana Mahika menderita pada pernikahan pertamanya. Lelaki yang disangka akan mengiringinya berjalan dalam bingkai bahagia, ternyata membawanya ke dalam Neraka. Sejak saat itu, ia takut mengenal lagi aroma cinta.
***
"Sakit, Rama, kamu melukaiku," rintih Mahika. Beberapa biru masih membekas, kini ditambah pula dengan yang baru. "Rama, aku mohon, sudah ...."
"Diam!" Pria beraroma alkohol itu mengayunkan tangan tanpa ampun. "Aku benci karena memutuskan menikah denganmu. Ibuku benar, kamu membawa kesialan. Usahaku bangkrut setelah menikahimu!"
Plak ...!
"Allah ...." Kuat wanita 23 tahun itu mencengkeram kaki meja. Mencoba bertahan dari Rama yang tampak mengerikan. "Rama, jangan ...." Mahika mencoba berdiri setelah dilihatnya mata sang suami merah menyala.
"Aku membencimu, Mahika!" Menggema suara Rama memenuhi rumah mereka. Tanpa sadar, tangannya meraih pisau lipat -yang selalu dibawa untuk melindungi diri-- dari dalam saku celana.
"Rama. Istigfar, Rama, aku mohon." Sekuat tenaga Mahika bangkit, menjauh dari pria yang sedang dipermainkan oleh Syetan itu.
Namun, baru beberapa langkah, tangan kokoh Rama sudah mencengkeram pundak Mahika kuat. Tanpa menoleh, Mahika meraih vas berukuran sedang dari atas meja. Dengan mata terpejam, tangannya mengayun sekuat tenaga ke arah kepala sang suami.
Hanya beberapa detik. Pria itu jatuh dan membentur sudut meja. Betapa terkejut Mahika, saat membuka mata ia melihat kepala dan hidung Rama mengeluarkan darah.
Pria itu mengembuskan napas terakhirnya di tangan Mahika. Tangan lembut yang selama ini menahan luka. Tangan yang segala kebencian ditumpahkan kepadanya.
Kejadian itu bukan hanya membunuh Rama. Namun, turut mengubur kehormatan Mahika. Meski pengadilan menyatakan ia tidak bersalah, sebab yang dilakukannya adalah membela diri. Akan tetapi, banyak orang memilih untuk tidak mengerti, termasuk keluarga Rama yang menganggapnya sebagai pembunuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Cantik?
RomanceMentari tetaplah mentari ia bersinar tak peduli seberapa tebal mendung menutupi