BAB 3

2K 193 17
                                    

Hafla duduk lemas di sisi kiri ranjang Mahika. Sudah lebih dari dua jam wanita itu belum juga siuman. Tidak ada yang serius, hanya sedikit luka di bahu kanan dan beberapa lebam.

Berulang kali Hafla menghela napas berat. Ia tidak sampai hati melihat kondisi sang istri. Namun, ia selalu tahu, bahwa Mahika adalah sumber kekuatan terbesar untuknya, maka sudah pasti ia bisa melewati semua ini.

"Kenapa kamu harus menabrak taksi? Aneh."

Dalam kondisi apa pun, Hafla tidak ingin menjadi panik. Ia terlalu malu jika ada yang melihat perasaan takutnya saat ini.

"Bangunlah, Mahika, jangan jadikan aku duda di hari ketiga pernikahan kita. Sejarah akan mencatatnya dan aku akan dikasihani seumur hidup. Lagi pula, aku baru dua kali mencicipi nasi gorengmu yang terlalu asin. Masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan yodium dalam tubuhku yang hampir tidak pernah makan garam. Aah ...." Hafla menjatuhkan wajah dengan perasaan berkecamuk di dalam dada. "Ayolah, siapa yang akan aku buat kesal sekarang?"

Hafla tidak menyadari, mata sang istri memang terpejam, tapi telinganya mendengar dan seulas senyum tergambar di sana. Wanita itu sudah siuman.

"Aku juga ingin membawamu ke kebun Kakek. Tempat di mana aku menghabiskan masa kecil dulu. Kamu akan tertawa jika tahu kalau aku sangat suka memakan stroberi muda, dan Kakek akan menjewer telingaku. Ah, iya, aku juga sering menginjak kotoran sapi dan menangis kencang karena jijik. Aku pernah buang air kecil di celana saat SMA, waktu itu aku ditakuti oleh Kiara, menggunakan kain putih dan kelapa. Konyol. Sekarang aku bertanya-tanya, kenapa aku harus takut? Padahal saat itu hari belum gelap."

Hafla beralih posisi. Tubuhnya bersandar di kursi dan kepalanya mendongak menatap langit-langit. Napasnya berat, matanya mulai terlihat resah.

"Aku tidak pernah menceritakan ini kepada siapa pun. Bahkan aku tidak kan mengatakan kepadamu jika kamu sadar. Aku pernah dicium oleh seorang gadis saat SMP. Waktu itu kami sedang ada kontes seni yang selalu diadakan sekolah saat penghujung tahun. Aku lupa siapa namanya dan aku tidak berharap untuk ingat. Dia menciumku sebelum acara dimulai, dan kamu tahu apa yang terjadi? Aku pingsan, Mahika. Aku pingsan dan jatuh demam selama dua pekan. Memalukan."

Senyum di bibir Mahika tidak lagi bisa ditahan. Wanita itu membuka mata dan berkata, "Siapa gadis menyedihkan itu?"

"Hah?" Kedua mata Hafla terbelalak, wajahnya merah dan lidah kelu. "Kamu sudah ...."

"Ya!" seru Mahika memotong ucapan sang suami. "Kenapa kamu tidak bilang kalau nasi goreng buatanku terlalu asin?" tanyanya lirih.

"Karena, Cantik, masakan seorang istri bukan dinikmati sebatas rasa. Ada cinta di dalamnya yang pantas dibalas dengan cinta pula. Aku menyukai masakanmu, tidak peduli bagaimana rasanya. Karena yang menyajikan itu dirimu."

"Terima kasih," bisik Mahika lirih.

"Apa yang terjadi?" Hafla menatap Mahika serius. Ia tahu pasti ada sesuatu.

"Tidak ada. Hanya kecelakaan kecil."

"Ayolah. Ada apa?"

Mahika menghela napas panjang, ia tidak ingin mengulang sakitnya kisah silam. Namun, Hafla pantas untuk tahu.

"Cantik?"

"Aku bertemu mantan ibu mertuaku," sahut Mahika lirih.

"Lalu, apa yang terjadi?"

"Ia meneriaki aku dan mengatakan kalau aku adalah pembunuh ...." Suara Mahika menghilang di ujung kata. Matanya rapat terpejam, dan setitik bening mengalir di antara celahnya.

Sementara Hafla merasa kelu. Ia hanya bisa mendekat dan mengusap lembut air mata sang istri. Jemarinya berdiam lama di pipi Mahika, menyapunya pelan berharap bisa meninggalkan ketenangan. Hafla sudah mendengar semua yang terjadi di masa lalu Mahika, ayah wanita itu menceritakan semuanya.

Assalamualaikum, Cantik?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang