BAB 9

2.5K 142 24
                                    

Mahika berdiri menatap lurus bayangan diri di cermin. Tangannya mengusap lembut perut yang sudah membesar, tak lama lagi buah hatinya akan lahir dan tangisnya akan memenuhi seisi rumah.

"Tidak sabar ingin melihat kedua matamu, Sayang. Apakah gelap seperti Ibu atau keemasan seperti Ayah?"

Berat napas Mahika bertiup. Kali ini ia menatap kedua netranya sendiri.

"Assalamualaikum, Cantik?"

Setetes bening jatuh tanpa permisi. Berbulan-bulan sudah ia menyapa diri sendiri. Menggantikan Hafla yang tak kunjung bicara. Pria itu sudah bisa beraktivitas seperti biasa, wajahnya pun telah kembali ceria. Bahkan, kerutan khas di keningnya muncul setiap kali menyantap nasi goreng buatan Mahika.

"Bersabarlah, Cantik, bersabarlah. Kamu kuat, kamu hebat, kamu bisa!" Lentik jemarinya menghapus hangat yang melekat di pipi. "Inilah hidup, Mahika, bahagia dan duka selalu berdampingan. Selalu bahagia akan membuatmu terlalu jauh melayang, selalu terluka pun akan membuat harapanmu hilang. Baik sekali Allah meletakkanmu di antara keduanya."

Monolog seperti itu sangat membantu untuk Mahika. Ia bisa bicara apa saja, ia bisa mencurahkan setiap tetes rasa tanpa jeda.

"Kini aku benar-benar berterima kasih karena Hafla membeli cermin besar ini," gumam Mahika seraya merapikan anak rambut yang mulai memanjang.

Ia tidak menyadari, Hafla berdiri di luar kamar dan mendengar monolognya. Pria itu terluka, ia merasa tidak lagi berguna. Rasa bersalah kian muncul ke permukaan hingga tiada lagi jarak.

Dipenuhi amarah, Hafla melangkah naik ke kamar yang sudah lama tidak mereka tempati. Kamar di mana madu tertuang manis, juga canda pernah terukir menghapus tangis.

Hafla berhenti pada bayangan diri yang memantul di cermin. Ia bisa melihat wajah penuh sesal di sana, marah, dan memaki dengan teriak di dalam hati.

"Bodoh!" Sekuat tenaga batinnya menjerit. "Bicaralah, jangan jadi lelaki lemah. Ayo, bicara, dia membutuhkanmu, dia merindukanmu, Bodoh!"

Berada di antara sadar dan tidak, sekuat tenaga tangannya mengepal dan memukul pantulan diri di cermin. Amarahnya meledak, perasaan yang selama ini ia tahan. Batinnya terus berteriak, mewakili suara yang lama tak terdengar.

Sementara itu, mendengar suara benda pecah di lantai atas, Mahika keluar kamar dengan dada bergemuruh hebat.

"Haf ... Hafla!"

Sulit. Perutnya terlalu berat untuk dibawa berlari, hingga ia mencoba meniti anak tangga dengan perlahan. Sudah lama ia tidak naik ke atas sana, setiap hari ia hanya meminta orang lain untuk membersihkannya.

"Hafla ...." Dengan napas terengah dan dada yang sedikit sesak, Mahika tiba di depan pintu kamar dan mendapati Hafla tengah menangis dengan tangan berlumur darah. "Allah ...." Sedikit tertatih Mahika menghampiri sang suami.

"Ada apa?" tanyanya seraya memeluk Hafla dengan sedikit sulit. "Ada apa, Sayang?" bisiknya lagi.

Tak ada isyarat, tak ada jawaban, Hafla hanya menangis dan menjerit tanpa suara. Hatinya terus mengeluarkan kutukan terhadap kondisi diri. Ia tidak sampai hati melihat Mahika begitu menderita karena egonya.

"Hey ...." Mahika meraih tangan sang suami yang masih mengeluarkan darah. Cepat diambilnya handuk kecil yang selalu terlipat di meja rias. "Ada apa, Tampan?" tanyanya lembut. Dengan gerakan teratur ia membersihkan darah dari punggung tangan Hafla.

Melihat itu membuat tangis Hafla kian menjadi. Mulutnya bergerak, ia ingin mengatakan sesuatu hingga membuat Mahika menatap dan mencoba membaca isyarat tersebut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Assalamualaikum, Cantik?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang