"Inilah ujianmu, Nak." Hangat Syarif memeluk Mahika. Air mata putrinya serupa belati yang menyayat hati. "Jika sebelumnya Allah mengujimu dengan suami yang tidak menghargai, kali ini lain lagi. Dia selalu ingin mendengar kamu merintih, Dia cemburu karena waktumu terlalu banyak untuk Hafla. Seperti lingkaran, tidak ada ujian yang berkesudahan."
Mahika kian tersedu, "Aku tidak menyesali ujian yang Allah berikan, Ayah. Aku hanya takut tidak mampu, aku terlalu takut kehilangan Hafla ...."
"Jangan takut kehilangan apa yang sebenarnya bukan milikmu. Sama seperti dirimu, ia juga titipan yang kapan pun akan diambil, dan kamu tidak boleh mengeluhkan itu."
Mahika mengusap paksa air mata yang masih mengalir tak berjeda. Ia sudah mencoba untuk menyingkirkan rasa takut yang memenuhi kalbu. Namun, tetap saja sisi manusia (dan wanitanya) kian mendominasi.
"Kamu ingin tahu pesan terakhir ibumu sebelum ia menutup mata?"
Mahika menatap sang ayah penuh tunggu.
"Ia ingin Ayah membiarkanmu tumbuh mandiri. Agar kamu mengerti, bahwa pahit dan manis adalah pelengkap jalannya uji. Ayah terluka melihat air matamu, tapi pesan ibumu selalu terngiang, dan seperti biasa ... ibumu selalu benar, kuatlah, Mahika."
Banyak orang ingin menjadi secerah mentari. Namun, tidak jarang mereka lupa, bahwa matahari tak pernah redup meski hujan turun dan mendung menyelimuti.
Manusia tetaplah manusia, keluh dan kesah adalah lumrah. Karena fakta, bahwa hidup tidaklah selalu indah.
***
Kiara berdiri di halaman rumah sakit cukup lama. Senyumnya terbentuk tipis ketika para perawat dan rekan dokter mengantarkannya keluar. Semua orang menangis. Mereka kehilangan seorang dokter yang berdedikasi, yang tidak kalah penting, mereka kehilangan sosok sahabat yang selalu ada saat siapa pun membutuhkan.
"Jaga para residen nakal itu," bisik Kiara kepada Andini --teman dekatnya.
"Jangan lupakan kami, Ki."
"Aku tidak akan melupakan kalian. Jangan khawatir, aku hanya keluar dari sini, bukan dari bumi."
Semua orang melambaikan tangan seiring langkah Kiara memasuki mobil. Mereka tidak percaya, sepasang dokter terbaik itu kini tidak lagi berada di sana.
Hafla harus menanggung hukuman disiplin, izin dinasnya di rumah sakit itu telah dibekukan untuk satu tahun ke depan. Sementara Kiara, harus kehilangan segalanya, ia benar-benar telah dicopot dan tidak memiliki izin menggunakan kemampuannya untuk menangani siapa pun.
"Dia luar biasa," kata Andini kepada beberapa temannya. "Tidak mudah menemukan sosok teman yang untukmu ia selalu ada. Kantuk terlupa, sakit tiada dirasa, lelah bukan apa-apa, jika sahabatnya tengah membutuhkan, apa pun ia tinggalkan. Meski terkadang apa yang dilakukan itu tak jarang terabaikan tanpa dihargai barang sedikit pun."
Kiara adalah idola. Caranya menangani kepolosan para dokter residen sangat dikagumi. Tidak merendahkan meskipun sedang kesal, tidak menyakiti meskipun sedang disakiti.
"Bagaimana sekarang?" Cindy menunduk menyembunyikan rasa bersalah. Jika saja ia tidak menghubungi Hafla hari itu. Kini, ia diliputi ketakutan, takut jika orang-orang akan tahu bahwa dirinyalah penyebab semua itu terjadi.
Posisi setinggi apa pun hanyalah soal tempat, dan tempat bisa digeser dan diambil alih oleh siapa pun. Sebuah pembelajaran, bahwa tidak jarang Allah menguji manusia dengan penghargaan untuk kemudian merasakan kejatuhan. Bukan untuk menghukum, tapi untuk menyadarkan betapa dunia hanyalah sementara.
"Maaf ...." Kiara menyentuh lembut punggung tangan William yang sedang fokus dengan kemudi. Wajah pria itu tampak marah. Tentu saja ia tidak setuju dengan pilihan Kiara, mengorbankan karier demi orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Cantik?
RomanceMentari tetaplah mentari ia bersinar tak peduli seberapa tebal mendung menutupi