#Ternyata_Kamu
Part 5_____
_Ning Aisya_
Lelaki itu berjalan berbalik arah dari kamar mandi. Aku melihat punggungnya yang tegap mulai menjauh, dia sebentar lagi akan masuk ke dalam rumah. Saat itulah aku tak tahan lagi menahan sesak di dada, sambil menengadah ke atas pohon sawo aku berharap air mata yang mulai deras ini bisa tertahan, tapi gagal. Aku menangis dengan pasrah. Sebegitunya Gus Hamzah tidak mau menyapaku. Sedalam itukah rasa marahnya dulu.
Aku merasa cukup lega setelah mengeluarkan semua air mata, hasilnya mata sembab bak digigit serangga akan muncul lambat laun, maka aku berwudlu kemudian menaruh irisan tomat di atas mataku. Lima menit, supaya bisa Segar kembali.
Namun, belum lima menit, suara Ibu menginterupsi.
"Aisy. Bu Nyai sudah mengajak berangkat sekarang. Kau siap?"
Waduh. Celaka dua belas. Mataku belum kembali seperti sedia kala. Tapi, ya sudah. Aku tak cukup berani untuk menunda rencana Bu Nyai dengan alasan enteng seperti ini.
"Iya, Bu. Sebentar."
Aku mematut diri di depan cermin, menata rapi kerudungku di antara sisi dua pipi kemudian menyematkan sebuah bross bunga Lily. Dan ... mataku hendak kembali berair saat melihat kaktus kecil di dekat jendela dari pantulan di dalam cermin.
Gus, kaktus hadiah jenengan sudah beranak pinak.
***
"Monggo, Bu Nyai. Kulo sampun siap." Aku mendekat ke arah Bu Nyai kemudian berbisik sebentar di telinganya.
"Loalah, Aisy. Ayune talah ...." Bu Nyai sekali lagi memujiku. Pipiku memerah dan bagai sebuah mimpi di siang hari, aku melihat senyum itu. Gus Hamzah tersenyum manis sekali. Hanya sebentar, kemudian wajahnya datar kembali.
"Syukurin kau, Hamzah. Kenapa tidak dari dulu kau khitbah Aisy. Ah, wanita ini akhirnya sudah dipinang orang lain," kata Bu Nyai lagi mengagetkanku.
Ya Allah, kehadiran Gus Hamzah sejenak melenakanku. Melupakan bahwa aku sudah dipinang lelaki tampan dari Gunungsari, seorang santri Kadiri.
Astaghfirullah.
Lalu, kulihat wajah Gus Hamzah menatap jauh ke arah luar. Tangannya sedikit mengepal, entah kenapa.
"Ya sudah ayo. Keburu malam." Bu Nyai menarik tanganku kemudian mengajakku duduk di belakang. Tangannya terpaut terus di lenganku.
"Ya Allah, Aisy. Maafkan Ibu. Baru bisa ke sini. Dulu, rencana Ibu bolak balik hendak ke sini gagal, karena itu nyariin kamu calon suami kok susah ya. Alhamdulillah, ternyata kau sudah dikhitbah orang."
Aku mengangguk.
"Matursuwun, Bu Nyai sudah bersedia mencarikan saya calon suami. Doakan semoga calon saya yang ini baik kepada saya," ucapku meminta restu. Tetapi sejatinya dalam hati aku merasa sedih. Kenapa bukan calon dari Bu Nyai saja yang kuterima, jika ada. Dengan begitu Gus Hamzah pasti bisa baikan lagi denganku.
"Amin. Kalau dia jahat sama kamu, biar nanti Hamzah yang mengatasi."
Loh, Bu Nyai ngomong apa ini. Gus Hamzah yang duduk di depan jadi merasa canggung lagi.
"Makanya, Hamzah. Kalau nanti kau sudah cocok dengan yang ini, cepat dikhitbah. Jangan lama-lama nanti kesambar orang loh." Bu Nyai memarahi Gus Hamzah dengan tegas. Membuatku teringat masa-masa remajanya dulu.
"Kalau sampai Ibu memarahiku setiap hari, itu tandanya Ibu masih sayang padaku," katanya dulu.
"Begitu juga denganmu, Aisy. Kalau kau cerewet terus sama aku, artinya kamu bakal rindu kalau tak ketemu denganku," katanya lagi. Entah kenapa saat itu hatiku terasa bahagia. Lalu aku mulai bermimpi, tapi segera kubuang mimpi itu. Aku sadar siapa diriku.
Aku tak ingin merusak persahabatan kami dengan sebuah rasa yang menelusup pelan-pelan. Batas sayang dan cinta bukankah sangat tipis?
Aku tak ingin salah mengenali rasa itu.
****
"Nanti kamu begini, Zah."
"Nanti itu, Zah."
Lalu banyak lagi wejangan Bu Nyai di dalam mobil untuk Gus Hamzah. Sementara aku mengarahkan jalan kepada Pak Sopir dengan kanan, Pak. Kiri, Pak. Hingga sampai di depan pelataran pondok Sabil asuhan Kyai Jamal. Salah satu Ningnya akan dilihat untuk kemudian dikhitbah jika ada kesepakatan antara Gus Hamzah dengan keluarganya.
Tidak seperti dulu saat remaja, di mana Gus Hamzah akan mengomel balik jika Bu Nyai mengingatkan ini itu kepadanya, tetapi Gus Hamzah sekarang sangat berbeda. Dia hanya mengangguk dan berkata njieh saja. Tidak ada perlawanan.
Sungguh, waktu bisa merubah kepribadian seseorang.
Tepat saat mobil sudah terparkir di halaman, Bu nyai menyuruhku mengambil buah tangan di bagasi sementara beliau bertamu lebih dulu ke dalam.
"Hamzah, kau bantu Aisy mengeluarkan barang-barang ya." Bu Nyai memberi titah. Gus Hamzah mengangguk dan langsung berjalan ke belakang mobil.
"Hati-hati membawanya," ucapnya untuk yang pertama kepadaku.
Aku bahagia, iya tapi mendadak sedih saat kutahu pesan itu ditujukan untuk menjaga barang-barang yang akan diberikannya kepada calon yang akan dilihatnya.
Sedih.
"Santai, Gus. Jangan gugup." Aku membalas ucapannya. Dia tak lagi berkata dan sibuk mengambil barang-barang di depannya.
"Jika gugup, kau bisa membaca doa yang dulu kau berikan kepadaku."
Tangannya berhenti bergerak.
"Doa apa?" tanyanya.
Lalu aku menjawabnya.
"Doa Nabi Daud saat hendak melawan Raja Jalut."
Gus Hamzah masih terdiam.
"Kam min fiatin qoliilatin, gholabat fiatan katsiirotan bi idznillah." Aku melafalkan dengan mantap dan menutup kata-kata itu dengan senyuman.
"Doa ini bisa meredakan kecemasan kita saat menghadapi hal-hal yang genting," kataku melanjutkan.
Bahkan, semua hal-hal yang mendebarkan. Lanjutku dalam hati.
Namun, Gus Hamzah membuatku malu seketika.
"Aku hendak melihat wanita cantik di sini. Bukan mau berperang." Dia berkata dengan seenaknya kemudian menutup pintu bagasi dan membiarkanku mematung di sana dalam kebingungan.
Salahkah aku jika ingin menyemangatinya layaknya seorang sahabat lama?
Kurasa waktu belum menyembuhkan hatinya dari rasa sakit kepadaku.
Hatiku mendadak mendung kembali, apalagi saat kulihat senyum sumringah Ning cantik teman baikku yang sepertinya sudah menaruh suka kepada Gus Hamzah sejak saat dia melihat lelaki itu memasuki rumahnya.
Ada yang tersayat di dalam diri ini. Duh, hati. Kau tak boleh ingkar janji.
Bersambung .....
Maaf, kemarin tidak update soalnya lagi jelong-jelong hehehe 💃
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu (Gus Hamzah)
General FictionDua sahabat yang kembali dipertemukan setelah empat tahun berpisah mengalami banyak masalah pelik. usaha untuk meluruskan kesalahpahaman di masa lalu ternyata membuat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang tersimpan rapi dalam lubuk hati mereka. sa...