#Ternyata_Kamu
Part 16_Gus Hamzah_
Aku berdiri di dekat kafe kopi bernama "Kedai Cafe" yang tertulis besar di papan namanya. Watsapp Bima tadi pagi membuatku tidak sabar untuk menemuinya.
[Bro. Eh, Gus. Ada kabar buruk. Bidadarimu kemungkinan akan menderita karenanya.]
Aku penasaran, siapa -nya- yang dimaksud Bima.
Sepuluh menit aku menunggu di teras kafe. Choco Maca, nama minuman untuk teh bercampur susu kental manis di daftar menu kupesan dan segera disajikan. Toping daun mint di atasnya menggugah selera. Uap panasnya kuhirup dengan penuh penghayatan. Aku benar-benar membutuhkan sesuatu yang menenangkan sebelum bertemu Bima. Ternyata, hal-hal yang berhubungan dengan Aisy masih membuat hatiku mendidih dan perih.
Lalu, lelaki dengan dua anak sebentar lagi itu datang sambil berlari kecil. Kopyah santrinya tak lepas walau dia memakai celana jeans.
Aku tersenyum samar. Pantas dia selalu menjadi santri kebanggaan Abah yang menyenangkan.
"Assalamualaikum, Gus-ku yang tampan. Maaf, terlambat."
Alih-alih menyalamiku dengan mencium tangan, kami melakukan toss. Jijik aku kalau dia yang mencium tanganku. Dia akan selalu menjadi sahabatku, tidak ada jarak patriarki diantara kami, Gus, hanya menjadi sebatas gelar bagiku di benaknya karena aku semata anak kyai nya, guru Bima.
"Mau pesan apa. Cepat pesan dulu. Dengan perut berisi, otak kita akan cepat dingin jika stress."
"Dih, kata siapa?" tanya Bima sambil melihat daftar menu.
"Kataku. Syeikh Hamzah al-jumblui," jawabku yang langsung membuatnya tertawa terbahak-bahak hingga beberapa pengunjung menatap kami dengan heran.
Dih, beberapa pandangan mereka mengira kami lebih dari "teman". Ih, najis.
"Bagus, Gus! Saya suka dengan gurauan anda yang menertawakan diri sendiri," kata Bima sambil memegangi perutnya yang baik turun karena tawa.
Senang sekali rupanya dia melihatku nelangsa.
"Udah. Langsung saja. Berita apa yang kau bawa?"
Aku sangat tak sabar.
"Gamal." Bima mengatakan nama itu kemudian aku menyuruhnya berhenti.
"Stop. Tidak usah diteruskan. Aku sudah memperingatkan Aisy tentang laki-laki itu, tapi ... dia sudah siap menanggung resiko."
"A-apa?" kata Bima.
"Gus Hamzah mengatakan padanya bahwa Gamal itu tukang kawin dan tukang cerai?"
Aku menggeleng.
"Dia tidak memberiku waktu untuk menjelaskan. Dia, marah. Menganggapku hanya ingin menghalangi pernikahannya." Aku menyesap choco maca-ku berharap gemuruh di dadaku segera tenang. Mengingat kejadian waktu itu benar-benar membuat frustasi.
"Jadi, Aisya kekeh menikahinya?"
Aku mengangguk.
"Undangan pernikahannya sudah diterima Abah."
"Astaghfirullah. Kapan Gus?"
"Tiga hari lagi."
"Gus, ehm ... maaf aku menanyakan ini. Jika, ini hanya sebuah pengandaian."
Aku mengangguk menatap mata Bima yang tulus.
"Lanjutkan."
Bima mendekat ke arahku, suaranya seperti berbisik.
"Jika, Gamal menceraikan Aisy, masih maukah Gus Hamzah menerimanya?"
Mulutku terkatup. Pertanyaan Bima sangat realistis, mengingat aku benar-benar mencintai Aisy dengan sepenuh hati, sedangkan aku juga tahu calon suami seperti apa yang akan menikahinya. Tetapi, benarkah aku masih mau menerimanya jika dia berstatus janda?
Aku menenggak Choco Maca sekali teguk dan habis. Pertanyaan Bima membuatku semakin stress.
"Maaf, Gus. Jika perceraian itu terjadi dalam hidup Ning Aisy, maka jalan hidupnya akan semakin berat. Aku hanya ingin menguji ketulusan Gus Hamzah atas perasaan cinta Gus Hamzah sendiri."
Bima meniup kopi hitamnya yang masih panas.
"Aku tahu, Bim. Ternyata, untuk pertanyaanmu yang ini, aku harus memikirkannya sungguh-sungguh. Karena, kelak jika aku sudah mantap-pun, Aisya akan tetap menanyakan ini padaku. Betul bukan?" tanyaku kepada Bima.
"Bingo! Gus Hamzah memang cerdas. As always." Bima menepuk pundakku lagi lalu memakan brownies kukus bertabur keju parut di atasnya.
***
"Nak, kamu tak apa kan? Kalau Ibu dan Abah datang ke walimah Aisya?" Ibu membangunkanku sebelum shubuh untuk berpamitan.
Aku mengangguk.
"Bagaimanapun juga, selain calon mantu yang gagal, Aisya itu murid favorit Ibu. Titip salam untuknya ya, Bu." Aku bangun dan mencium tangan Ibu.
"Bocah semprul. Datang kesana saja ibu harus menahan air mata, masih kau titipi salam. Coba bayangkan sekarang, apa ya pantes?" tanya Ibu.
"Hei, Nduk Aisy. Salam dari Gus Hamzah yang sudah patah hati karenamu, begitu?"
Ibu memperagakan kata-katanya nanti di depan Aisy. Lalu aku memeluknya hingga tanpa sadar air mataku menetes membasahi kerudung Ibu.
"Sabar, Nang. Anakku sayang. Ibu tidak pernah melarangmu menangis. Karena dengan menangis kau menolak untuk menyimpan kesedihan itu sendiri," kata Ibu berusaha menenangkan, tapi nyatanya airmataku menjadi semakin deras.
Ah, Ibu, dikau memang peri dalam hidupku.
***
"Bah, itu tadi Kyai Nawawi sinis banget ketemu kita." Ibu datang dari nikahan Aisy saat Maghrib menjelang. Mereka mampir ke rumah teman mereka sebelum pulang, jadi agak lama di jalan. Suaranya yang lantang sudah terdengar dari kamarku. Kurasa Ibu sedang kesal.
Aku memberanikan diri keluar, sambil membenarkan letak kopyahku. Sebentar lagi iqomah di masjid dan aku akan berjamaah dengan anak-anak putra.
"Salah Abah. Siapa suruh datang ke keluarga seperti itu," kata Ibu masih marah. Sementara Abah hanya diam dan menyeruput wedang teh campur jahe yang sudah disediakan mbak-mbak ndalem.
"Kenapa, Bu?" tanyaku sambil mencium tangan Ibu dan kemudian Abah.
"Biasa, orang-orang yang kalah dalam persaingan, eh malah membuat kambing hitam. Masak, tadi tanpa sengaja kudengar Ibunya si Jannah menyalahkan Aisy karena kita tidak kunjung melamar. Katanya, Aisy menghasutmu dengan kata-kata buruk tentang mereka."
Aku terdiam mengeja perlahan celotehan Ibu. Ternyata, sebegitu tak sukanya keluarga Kyai Nawawi kepada keluarga Adiknya. Sungguh rumit.
"Untung Ibu masih bisa menahan diri, ya ... Bah?"
Abah mengangguk lalu berkata dengan tegas.
"Harusnya dulu kita lamar Aisy, meskipun bocah nakal ini gak mau!"
Kami berdua melongo, sedangkan Abah langsung masuk ke dalam kamar tanpa kata. Ternyata Abah juga sayang kepada Aisy. Mungkin hanya akulah lelaki paling bodoh dalam keluarga ini. Sial.
Kemudian, pertanyaan Bima terngiang kembali dalam kepalaku.
Bim, sekarang aku tahu apa jawaban pertanyaanmu.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu (Gus Hamzah)
Narrativa generaleDua sahabat yang kembali dipertemukan setelah empat tahun berpisah mengalami banyak masalah pelik. usaha untuk meluruskan kesalahpahaman di masa lalu ternyata membuat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang tersimpan rapi dalam lubuk hati mereka. sa...