Part 19

4.1K 414 28
                                    

#Ternyata_Kamu
Part 19

_Gus Hamzah_

____

Saat aku turun dari masjid selepas mengajar anak-anak, kulihat Ibu berlari tergopoh-gopoh menyusulku.

"Hamzah. Nak." Ibu memanggilku sambil berurai air mata.

Begitu Ibu sudah berada di depanku, tangannya  memegang erat lenganku.

"Nang, Abah Aisy wafat."

Makdeg.

Hatiku seakan berhenti bergerak. Kemungkinan terburuk ini ternyata luput dari pemikiran manusia. Karena sejatinya maut adalah hak prerogatif Tuhan dan tak ada yang bisa menginterupsi.

Air mataku perlahan menetes, bahkan Ibu menangis dalam pelukanku.

"Aisy, bagaimana nasibnya," kata Ibu. Hanya itu yang selalu ada dalam bayangan Ibu.

Aku mengusap pundak Ibu dengan pelan kemudian membawanya pulang dan bersiap ke rumah Aisya untuk memberi penghormatan terakhir.

***

"Kamu di sini saja," kata Abah saat kami bertiga  sudah sampai di ndalem Kyai.

"Aku tak ingin perasaan Aisya tak karuan jika melihatmu, Hamzah."

Aku mengangguk. Perintah Abah kuturuti. Saat Abah dan Ibu masuk ke dalam ndalem, aku hanya berdiri di bawah pohon kelengkeng kecil dekat teras rumah Aisy dan melihatnya duduk dengan kesedihan sambil sesekali menyeka air matanya dengan ujung kerudung hijaunya yang berenda.

Beberapa anak-anak alumni yang datang menyalamiku dengan penuh tanda tanya. Beberapa yang lain menanyakan kenapa aku tidak masuk ke dalam,.ah aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala atau gerakan tangan. Hingga jenazah siap disholatkan aku ikut mensholati Abah Aisy di bagian paling samping dekat pintu keluar. Lalu ikut menyemayamkan jenazah di pemakaman setempat.

Hatiku menangis, mataku sembab karena menahan air mata.

Ketika tanah demi tanah mengubur jasad Abah Aisy aku mengucapkan tekad dalam hati. Semoga Abah ridlo jika aku meminang putrinya kelak.

Lalu bacaan tahlil membahana di makam, pelayat yang banyaknya luar biasa menandakan bahwa Abah Aisy adalah seorang kyai yang dicintai oleh masyarakat, meskipun dia tidak memiliki pesantren besar. Sementara kedatangan kyai Nawawi saat terakhir acara menjadikannya kurang dihormati warga. Kyai hanya gelar, bukan sesuatu yang bisa diminta apalagi dibangga-banggakan. Bergelar Kyai lebih berat menanggung amanah, karena kelakuan, tindak laku semua harus sejalan dengan kealiman, bukan untuk semakin congkak dan merasa lebih dibandingkan yang lain.

Abah Aisya sudah menjadi contoh bahwa masyarakat merasa kehilangan sikap kyai yang suka menjadi pengayom masyarakat.

***

Aisy masih terduduk di depan makam Abahnya. Buku tahlil, Yasin dan doa di tangannya terbuka tetapi matanya terpejam sedangkan mulutnya bergerak-gerak melantunkan dzikir.

Raut wajah kehilangan nampak jelas di wajahnya. Beberapa Minggu lalu dia diceraikan, dan sekarang dia kehilangan tempat untuk bersandar.

Tuhan, bolehkah aku berandai-andai berada di sisinya kemudian memberinya dukungan?

Namun, kutepis bayang itu. Kurasa untuk menemuiku saja, Aisya akan merasa segan dan tak senang.

Ya Allah, semua ini tetap salahku sendiri. Dan aku harus berjuang untuk menaklukkan kerasnya hati Aisy.

Harus.

Kemudian Tuhan ternyata memberikan jalan. Begitu aku pulang ke rumah, Abah dan Ibu sudah menungguku di ruang tamu. Beberapa lembar surat bertuliskan tangan di pegang Abah.

"Hamzah. Ini adalah surat Abah Aisya. Bacalah sendiri dan selami. Ketika Abah menemui Abah Aisya kemudian beliau memberikan surat ini, Abah yakin kalau pesan ini memang untukmu. Abah Aisya menyerahkan putrinya kepadamu. Karena ini ditulis tidak lama menjelang wafatnya, maka surat ini menjadi wasiat buatmu, Nak."

Abah menepuk pundakku kemudian berlalu. Sementara Ibu memelukku dengan erat, binar bahagia nampak di wajahnya.

"Jangan lepaskan Aisya lagi. Gusti Allah memberimu satu kesempatan lagi, Nang." Ibu memelukku erat.

Aku merasa mendapat angin segar yang membahagiakan.

Malam itu aku membaca semua isi surat Abah Aisya. Air mata di pipi jatuh tak terasa. Sebagai lelaki aku merasa malu jika tak bisa memenuhi keinginan terakhir Abah Aisy.

Keinginan beliau sangat sederhana. "Jagalah putriku dengan kasih sayangmu." Itu yang tertulis di atas suratnya.

Namun, menaklukkan Aisy, itu yang sulit. Percayalah, dia sahabatku sejak lama, aku tahu siapa dia.

***

Dua hari sudah sejak surat Abah Aisya kubaca. Malam ini aku berniat mengikuti tahlil di rumah Aisy.

Bersamaan dengan banyak alumni yang kukerahkan, kami mengikuti tahlil itu. Selepas tahlil aku mencuri waktu Aisya sebentar.

Malam itu, sekali lagi aku mengutarakan perasaanku sekaligus melamarnya.

Namun, bisa ditebak. Aisya menolak. Dia merasa aku hanya mengasihani dia. Sudah kuduga. Maka kutinggalkan surat Abahnya di meja yang ada dihadapannya.

"Aku pamit. Bacalah surat itu, diskusikan dengan Ibumu dan kabari aku." Aku berkata sedikit tegas dan penuh emosi.

"Aku tak mau menjadi lelaki yang tak bisa diandalkan, bahkan oleh Abahmu yang sudah wafat. Tidak bisakah kita memenuhi pesan terakhirnya?"

Wajah Aisy terangkat, tanda dia penasaran. Biarlah dia membaca surat itu. Aku hanya tinggal menunggu.

Bersambung ....

Aku ikut menunggu juga gaesss ❤️

Ternyata Kamu (Gus Hamzah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang