#Ternyata_Kamu
Part 20_Ning Aisya_
___
"Assalamualaikum, Aisy cantik."
Ya Allah. Bu Nyai sudah tersenyum cerah di depan pintu rumahku.
Sebelum sempat kucium tangannya, Ibu di belakangku langsung datang dan membuatku terhuyung. Ibu bersalaman dengan Ibu Gus Hamzah kemudian saling berangkulan.
"Ngapunten, Bu Nyai. Maaf kemarin pas hurmat wafatnya Abah, kami tidak bisa menyapa dengan baik," kata Ibu. Kemudian Bu Nyai mengangguk sambil berkata tak apa-apa berkali-kali hingga kami persilahkan duduk di dalam ruang tamu.
Sejenak, aku memandang keluar.
Ternyata, Gus Hamzah tidak ikut datang. Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat menutupi sedikit kekecewaan.
Astaghfirullah.
Aku merasa kecewa karena Gus Hamzah tidak ikut serta? Kucubiti lenganku pelan-pelan untuk mengenyahkan bayangan atasnya.
Namun, aku begitu terhenyak saat sudah duduk di depan Bu Nyai, beliau langsung menembak sasaran dengan tepat.
"Nduk, Aisya. Bu Nyai." Ibu Gus Hamzah langsung membuka percakapan.
"Langsung aja. Tas tes. Kalau mengharapkan dua anak muda yang kita punya wah, bakal muter-muter ndak karuan." Bu Nyai langsung berkata tanpa jeda.
"Nduk. Aisya, saya melamar kamu untuk jadi menantu di keluarga kami."
Ya Allah. Ucapan Bu Nyai tegas dan lugas.
"Kalaupun kau belum cinta sama Hamzah, tak masalah. Waktu akan merekatkan ikatan kalian. Yang penting ... kamu jadi mantuku dulu. Ngurusi aku."
Loalah, Bu Nyai benar-benar tidak memberi cela untuk diri ini menolak.
Santri mana yang akan menolak berbakti kepada gurunya? Kata-kata 'ngurusi aku' itu jadi password akan keikhlasan murid terhadap gurunya.
Aku menoleh ke arah Ibu. Ada senyum di wajahnya.
"Apalagi, kau sudah membaca surat Abahmu, kan?"
Aku mengangguk, kemudian Ibu juga. Beliau juga memegang tanganku dengan roman bahagia.
"Tapi, saya sudah menolak Gus Hamzah sebelumnya."
"Sudah tahu. Syukurin."
Apa? Bu Nyai malah mentertawakan Gus Hamzah. Lucu sekali.
"Dia, itu kalau ngadepin cewek ya gitu maju mundur cantik. Tapi, kalau ngadepin cowok macam Hambali itu pasti langsung dijotosnya."
Lalu Bu Nyai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Beliau agaknya keceplosan.
"Apa Gus Hamzah memukul Hambali, Nyai?" Ibuku bertanya kepada Bu Nyai. Hal senada juga ingin kutanyakan.
"I-iya. Kata anak-anak. Soalnya pas kami tak ada di rumah."
"Jadi, Hambali datang ke rumah jenengan?" tanya Ibu lagi. Meskipun wajahnya datar tapi ada amarah yang terdengar dari nada bicara Ibu.
Bu Nyai mengangguk.
"Su'ul adab. Semoga Allah yang menghukumnya."
Akhirnya, emosi Ibu terucap juga. Bu Nyai sampai menenangkan Ibu.
"Bagaimanapun Ibu masih sakit hati padanya. Aisy, jangan bersedih lagi karena ulah lelaki tak beradab seperti dia. Kejar kebahagiaanmu, Nduk." Ibu memegang tanganku.
Lalu kami bertiga saling menitikkan air mata.
"Pikirkan baik-baik, Nduk. Kalian dulu adalah teman baik. Tak ada salahnya kalau kalian memulai lagi hubungan persahabatan itu dalam pernikahan."
Aku mencerna kata-kata Bu Nyai barusan. Ada kebenaran di dalamnya.
"Tapi, apakah ini tidak terlalu terburu-buru."
"Kau mau menunggu sampai kapan?" tanya Bu Nyai pelan dan lembut.
"Paling tidak, sampai masa Iddah Ibuku selesai Bu Nyai." Aku menjawab dengan sedikit malu.
"Empat bulan sepuluh hari, sekarang sudah berapa bulan?" tanya Bu Nyai.
"Dua setengah bulan, Nyai."
Lalu Bu Nyai mengangguk.
"Kami akan datang lagi setelah Iddah Ibumu selesai. Selama itu berdamailah dengan hati kalian masing-masing. Karena sejatinya kejernihan fikir berasal dari hati yang tenang." Petuah Bu Nyai.
Sungguh, makna petuah itu sangatlah dalam.
Wahai hati, marilah kita berdamai sekali lagi.
Bersambung ....
Uhukk 😍 hidup Bu Nyai 🤩🤩
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu (Gus Hamzah)
Tiểu Thuyết ChungDua sahabat yang kembali dipertemukan setelah empat tahun berpisah mengalami banyak masalah pelik. usaha untuk meluruskan kesalahpahaman di masa lalu ternyata membuat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang tersimpan rapi dalam lubuk hati mereka. sa...