Part 8

3.5K 355 30
                                    

#Ternyata_Kamu
Part 8

_____

_Gus Hamzah_

Mobil kami sudah berjalan pelan meninggalkan pelataran pesantren Kyai Nawawi malam itu. Semua orang  yang kurasa masih keluarga ikut berbaris rapi di teras melambaikan tangan kepada rombongan kami yang hanya beberapa orang. Tapi, entah itu hanya perasaanku saja atau memang seperti itu, tak banyak dari mereka yang menyapa Aisya. Bukankah mereka masih berkerabat? Hanya beberapa orang kalau bisa kuhitung dengan jari, termasuk wanita cantik tadi yang bernama Ning Jannah.

Kemudian kutatap wajah Aisy di spion mobil.

Hm. Mirip dengan Aisy, tapi entah kenapa Aisy lebih manis seratus kali.

Astaghfirullah, aku harus mulai mencuci otakku agar tidak memikirkan Aisy mulu.

Saat kupandangi spion untuk kedua kali kulihat wajah Ibu merona dan satu sudut bibirnya terangkat. Biasanya kalau seperti ini maka Ibis sedang merangkai sekian muslihat.

"Ah, Nang. Hamzah, kita malam ini menginap saja di rumah Aisy. Tadi Ibu kebanyakan makan udang nih. Kepala berat rasanya."

Nah, kan. Apa yang kukata.

"Ibu sudah mengabari Abah?"

"Belum. Sebentar kutelpon dulu."

Ibu menekan nomer Abah, tapi suara yang kudengar bukan Ibu.

"Assalamualaikum, Kyai."

"Iya, ini Aisya. Bu Nyai menyuruh saya berbicara dengan Kyai untuk meminta izin menginap. Badannya rada kurang enak badan."

Sempurna. Ibu memang lihai merangkai siasat. Tanpa banyak sanggahan Abah akan mengizinkan jika sudah Aisy sebagai tuan rumah yang berbicara.

Menyebalkan.

Wajah Aisya lebih sangar lagi, dia merasa bersalah sudah ikut dalam siasat Ibu untuk membohongi Abah.

***

"Bu. Masak bohong sih, sama Abah?" tanyaku saat kami duduk di ruang tamu rumah Aisy. Sementara Aisy dan Ibunya sibuk menyiapkan kamar.

"Ibu tidak bohong," jawabnya centil. Tangannya di dekatkan kepadaku.

"Lihat, ibu berkeringat banyak."

Luar biasa. Mimiknya bisa pas berakting bak sakit.

Jangan-jangan kepandaianku menyembunyikan perasaan juga menurun dari Ibu?

Oh.

Bisa jadi.

Lalu saat kamar sudah siap, kamipun beristirahat di dalam sana dengan tenang. Kulihat rembulan bersinar terang dari celah dia atas jendela kamar. Sangat cantik, membawaku membayangkan wajah Aisy yang terkaget saat kurebut paksa piringnya.

Aku tersenyum sendiri. Memalukan. Semoga hal itu tidak membuat Aisya berpikir macam-macam.

Hatiku semakin berdebar saat kutahu tadi sebelum masuk kamar Aisy berujar kepada Ibu bahwa kamarnya bersebelahan dengan kami.

"Jika nanti Ibu perlu apa-apa, gedor saja pembatas kayu ini, kamar saya di sebelah Bu Nyai." Aisya berkata dengan halus, bahkan lembut ucapannya menggetarkan kalbuku. Dan Ibu memegangi tangannya lama sebelum akhirnya dilepaskan dan memilih masuk kamar.

Ibu, dialah penggemar Aisya yang paling utama.

"Nang ... Zah."

Tiba-tiba suara Ibu memanggilku.

"Dalem, Bu. Ada apa? Kukira sudah tidur?" tanyaku kemudian menghadap ke arah Ibu yang matanya tetap terpejam. Bulir bening mengalir di pipinya.

"Kasihan Aisy. Tadi kulihat sekilas di keluarga Kyai Nawawi tadi dia seperti diabaikan."

Lalu, Ibu sesenggukan.

Sementara aku diam tidak dapat memberinya penghiburan.

"Sudah, kita tak usah bikin jawaban dulu. Biar nanti aku bicara sama Abah kalau sudah di rumah." Setelah mengatakan itu beliau bergerak ke samping dan tertidur.

Hingga bulan mulai perlahan turun ke peraduan mataku belum mau terpejam.

Sebenarnya ada perseteruan apa antara keluarga Aisy dan keluarga besar Kyai Nawawi.

Haruskah aku menanyakan kepada Aisy?

Ah, tidak. Itu namanya terlalu ikut campur.

***

Selepas sholat subuh beberapa keluarga kecil Aisya datang beramai-ramai membawa banyak hasil pasar. Sepertinya mereka hendak memasak sesuatu untuk acara besar. Tak mungkin kan hanya karena kedatangan kami yang menginap mereka masak besar?

Aku berusaha biasa saja menyikapinya sambil berdzikir di teras mushola kecil di samping rumah Aisy. Saat itulah dua orang nini-nini yang habis jamaah subuh terdengar bergosip.

"Oh, iya. Hari ini kan Gus Hambali putranya Kyai Somad mau datang untuk menentukan tanggal pernikahan, ya." Seorang Nini bermukena terusan membuka percakapan.

"Hooh. Alhamdulillah akhirnya Ning Aisy ada yang meminang. Kukira lelaki itu akan milih Ning Jannah sebagai pilihan. Ternyata dia memilih Ning Aisy." Satu temannya lagi dengan kerudung bentuk Ciput di kepalanya menimpali ucapan temannya.

Mereka tampak ikut bahagia, sementara aku menekuk wajah dan menyembunyikan diri di sela-sela tiang bangunan mushola. Hatiku merasa tak terima.

Lebih baik, aku segera mengajak Ibu pulang pagi-pagi. Aku tak sanggup menyaksikan ini, nanti.

Tak sanggup.

Namun, ketika semua kuutarakan kepada Ibu, beliau menolaknya mentah-mentah.

"Tidak, aku ingin melihat segagah apa lelaki yang meminang Aisy. Jika dia sesuai kriteria Ibu maka aku akan merelakannya."

"Memang kalau tidak sesuai kriteria Ibu, lalu Ibu mau apa?" tanyaku mulai khawatir.

"Entahlah. Aku hanya belum rela kalau dia gagal jadi mantuku."

Mendengar itu, bibirku hanya bisa diam. Hatiku menyesal, tapi merebut pinangan orang lain bukanlah sesuatu yang dianjurkan dalam agama.

Aku hanya bisa menutup mulut saja. Hingga siang menjelang dan keluarga lelaki itu datang. Satu rombongan. Pria gagah di kursi depan dengan kopyah hitamnya turun dari mobil dan menyalami erat Abah Aisy.

Lelaki itu yang paling tampan dalam rombongan, kurasa dialah tunangan Aisy yang rupawan. Saat tiba di depanku wajahnya sedikit berkernyit, lalu dia berteriak.

"Kau, Gus Hamzah, kan? Anak Science 11."

Tebakannya benar. Tapi dia siapa? Sungguh aku kehilangan memori atasnya.

Bersambung ....

Loalah ternyata, dunia ini lebarnya seperti daun kelor. Ada aja yang sama ya 😍🤭

Ternyata Kamu (Gus Hamzah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang