#Ternyata_Kamu
Part 3_______
_Gus Hamzah_
Aku sedang tidur-tiduran di atas dipan yang ada di bawah pohon kelapa dekat rumah, saat Abah mendekat dan menyodorkan selembar foto.
"Ini, Ibukmu ngefans sama cewek ini. Katanya Abah disuruh jawil kamu."
Aku terdiam. Kuperhatikan wajah gadis dalam foto itu. Senyumannya menular kepadaku.
"Ah, Abah ada-ada saja. Bilang Ibu suruh nyari yang lain, Bah. Masak setiap tahun gadis ini terus yang disodorkan padaku. Gak kreatif ah," kataku mengelak lagi dan lagi.
"Hei, Nang. Tak bilangin ya. Dimana-mana feeling seorang Ibu itu kuat. Kau tak akan bisa mencarinya bahkan hingga ke ujung dunia. Tapi jika seorang Ibu yang mengendusnya maka kau mendapatkan keberuntungan."
Namun, keberuntungan itu terasa tak pantas untukku, Bah.
"Aku tahu itu, Bah. Tapi, akan lebih baik jika kita mencari yang lain."
Abah mengangguk kemudian pamit meninggalkanku sendiri. Beliau hendak ke daerah Jatilawang untuk mengisi pengajian.
Sejujurnya dalam hati aku berharap Abah tidak secepat itu menemukan calon menantu yang lain. Kupandangi wajah gadis dalam foto itu, lalu hatiku merasa rindu.
Apa kabarmu, Aisy. Senyuman dalam fotonya seolah menjawab pertanyaanku bahwa dia baik-baik saja.
Namun, tidak denganku.
***
[Apakah rasanya menahan perasaan itu sesakit ini, Bim?]
Aku mengirim pesan singkat ke watsapp Bima, teman sebangkuku waktu sekolah dulu. Dialah yang pertama kali mengatakan bahwa sebenarnya aku memiliki rasa kepada Aisya.
Namun, aku memungkiri dan menepisnya. Bagiku Aisya adalah sahabatku dan tak akan bisa berubah lebih dari itu.
Preketek.
Ternyata aku salah, Bima yang benar.
[Makanya Bro. Kalau diomongin orang yang berpengalaman itu percaya.]
Pret. Bagaimana berpengalaman. Satu dari satu orang yang ditembaknya menolak kok. Pengalaman dari Hongkong?
[Huum. Aku dulu salah. Tapi bukan karena gak percaya pengalaman elo. Itu hanya egoku semata, dan idealisme yang ngawur.]
Bima tidak menjawab. Lama jeda waktunya membalasi chat ku. Mungkin dia sekarang lebih sibuk dari aku. Menimang anak bayinya yang baru lahir dengan di dampingi satu-satunya wanita yang mau menerimanya, istrinya.
Sumpah. Aku iri.
[Lupakan, Gus. Menurut info yang beredar ... Aisya sudah bertunangan dengan orang lain.]
Seketika aku berdiri dari posisiku yang sedang duduk diam menikmati secangkir kopi. Bagaimana Ibu bisa menyodorkan foto Aisya padaku sementara dia telah dikhitbah orang.
Haram hukumnya.
Apa Ibu tak tahu info ini?
Tepat saat angin bertiup menampar pipiku lembut di teras depan, Abah datang dengan wajah sumringah.
"Nang, Hamzah."
"Njieh, Bah."
"Besok berangkat ke Jatilawang bareng Ibumu. Abah sudah memiliki calon untuk kau lihat."
Apa?
Belum juga Abah mengambil jeda istirahat, perintahnya langsung meluncur tak terbantahkan.
"Kenapa melongo? Kau bilang Abah dan Ibu harus mencari wanita lain." Abah menyindirku.
"Tapi, tak secepat ini juga, Bah," gerutuku.
"Apa? Secepat apa? Wis lebih cepat lebih baik. Selak jadi bujang lapuk, Kon." Abah berkata dengan sedikit pelan, mungkin beliau kecapaian. Ternyata gerutuanku tadi terdengar olehnya.
Malunya aku.
"Njieh, Bah." Akhirnya aku menjawab dengan sedikit menutup rasa enggan.
"Sebelum ke Jatilawang, kamu mampir ke dalem Kyai Amar. Tadi aku sudah meminta putrinya untuk mengantar kalian ke dalem Jatilawang. Kudengar putri Kyai Amar dan calon yang akan kau lihat ini kenal dekat. Jadi itu akan lebih baik."
Hatiku mendadak tak karuan. Ada gumpalan sesak di dada ini.
"Ah, lagian cewek yang Ibumu taksir ini juga sudah dikhitbah orang. Jadi aku punya alasan untuk membuatnya memalingkan pilihan."
Aku tahu hati Ibu akan sedih. Begitu juga hatiku.
***
Perjalanan ke rumah Aisya sangat terasa lama. Mungkin karena ada rasa gugup di hati serta rasa bersalah yang dulu masih ada padaku. Jadinya serba tak enak.
Aku membayangkan, pertemuan pertama kami akan sangat canggung. Empat tahun kami tak berjumpa. Tapi hampir setiap tahun aku dapat tahu wajahnya dari foto-foto yang selalu dibawa Ibu untukku.
Perhatianku menatap hamparan sawah di luar mobil teralihkan berkat tangisan Ibu dalam mobil.
"Lho, Ibu kenapa menangis?" tanyaku panik. Aku takut mag Ibu yang kronis kumat sekarang.
Oh, tidak.
Namun, beliau lantas mencubit lenganku.
"Jika dulu kau menurut dan mau segera menimang Aisy. Pasti tak akan seperti ini kejadiannya."
Aku tersenyum menanggapi Omelan Ibu, tapi juga sedih di sisi lain.
"Kau menyesal sekarang? Kita tak akan menemukan gadis sebaik Aisya lagi."
Hop. Ibu, jangan teruskan. Putramu ini jugasednag sedih. Tapi aku menyembunyikan dengan rapi.
"Mungkin dia memang bukan jodohku, Bu." Aku berkata pelan sembari menghibur diri sendiri.
Lalu percakapan itu terhenti. Ibu tertidur selama sisa perjalanan yang terasa lama.
Kami tiba di depan rumah Aisya saat matahari sedang cerah. Aisya dan Abahnya menyambut kami di depan gerbang. I
Dia, lebih cantik dari apa yang ada di foto. Meskipun wajah itu terlihat sedikit tertekuk tapi aku merasa Aisya sedang tersenyum dalam hati.
Namun, aku tak ingin terlihat rapuh di depannya. Aku harus tetap terlihat tangguh di depannya.
Akhirnya aku memasang wajah datar sepanjang pertemuanku dengannya. Sebuah hal yang sangat kurutuki pada akhirnya. Terlebih saat kulihat kaktus pemberianku masih dirawat Aisya hingga sekarang. Beberapa kaktus baru tumbuh banyak di sekitar rumahnya dalam pot bunga yang berwarna warni.
Bahkan, saat aku mendengar Abahnya mengatakan bahwa dia telah dikhitbah seorang santri Kadiri, dada ini berdesir. Gemuruh melanda jiwaku. Rasanya aku ingin meluapkan amarah saja.
Lalu, kulihat raut sedih di wajahnya. Sepertinya aku telah menyakitinya lagi dengan sikap dinginku.
Bodohnya aku.
Begitu kami ditawari makan, kumandangkan sambal pedas yang tersaji di depanku untuk meneteskan air mata.
Mataku berair akibat kepedasan dan di sisi lain karena menderita kekalahan.
Sungguh kamuflase yang sempurna. Tapi, ketika aku menuju kamar mandi untuk sedikit menenangkan diri, kulihat wanita itu menangis di bawah pohon sawo yang gelap dengan cahaya bulan yang meremang.
Ingin rasanya aku berlari mendekatinya kemudian menenangkannya. Tapi apa daya, mungkin akulah lelaki pengecut yang sekali lagi membuatnya menangis.
Maki saja aku Aisy. Hingga tangismu mereda dan kau mampu menatap jalan di depanmu dengan tegap sekali lagi, seperti saat aku menghilang dari hidupmu dulu.
Bersambung .....
Aww, aku kudu piye Iki?
Gus Hamzah sih, kaciaan kan jadinya 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu (Gus Hamzah)
Narrativa generaleDua sahabat yang kembali dipertemukan setelah empat tahun berpisah mengalami banyak masalah pelik. usaha untuk meluruskan kesalahpahaman di masa lalu ternyata membuat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang tersimpan rapi dalam lubuk hati mereka. sa...