#Ternyata_Kamu
Part 11_Ning Aisya_
Kemana langkahku pergi selama ini, aku selalu terbayang kemarahan Gus Hamzah saat dulu. Ketika aku mengingatkannya agar tidak mengumbar pesona kepada banyak wanita. Sungguh, aku mengesampingkan rasa sukaku kepadanya saat itu, semua semata demi menjaga harga dirinya sebagai Gus-ku, putra Kyaiku. Tapi, niat baik terkadang tidak sejalan dengan realita. Mungkin saat itu caraku mengingatkannya salah. Berujung kemarahan, membuat jarak sangat panjang diantara kami, melintasi waktu juga.
Sekarang, sebulan setelah peringatan Gus Hamzah dulu, aku baru memahami. Setiap mataku hendak terpejam kupanjatkan doa kepada Tuhan agar menunjukkan letak kesalahanku. Saat ini, aku berada dalam posisi sebagai Gus Hamzah yang dulu. Diingatkan untuk berhati-hati tetapi aku malah menanggapinya dengan kemarahan.
Hah. Dunia memang berputar. Aku merasakan sakitnya dan marahnya jadi Gus Hamzah dulu, yang kunilai sebelah mata, berdasarkan perspektifku.
Kenyataannya, dia hanya berusaha menjaga persahabatan kami agar tidak jatuh menjadi hubungan cinta sepasang kekasih. Dia sakit saat membuang rasa itu, tapi dia menanggung rasa itu sendirian. Sementara aku, menganggapnya 'pencilakan' bahkan playboy kacangan.
***
"Satu kata saja. Sebelum aku kembali ke rumah, jawab jujur Aisy." Gus Hamzah mendadak sudah berada di depan dapur. Wajahku pucat pasi.
"Apakah kau pernah mencintaiku?"
Mulutku terkatup. Jemariku saling terpaut.
"Lalu, jika aku menjawab pertanyaanmu, apakah akan merubah keadaan?" tanyaku, sebenarnya lebih kepada diriku sendiri.
"Mungkin."
"Stop, Gus. Jangan muncul di hadapanku untuk membuatku kembali jatuh dalam kenangan."
Aku beranjak dari depannya tapi Gus Hamzah merentangkan kedua tangannya.
"Jawab dulu. Atau kau kubawa lari!" Dia berkata dengan tegas. Matanya menyiratkan kesungguhan.
"Iya. Tapi itu dulu, Gus," jawabku lesu. Akhirnya, aku berhasil mengeluarkan semua itu.
"Kalau begitu batalkan pertunanganmu."
"Hamzah!"
Kami berdua terkejut.
"Jangan seperti lelaki pengecut yang main belakang." Bu Nyai datang dengan tergopoh-gopoh menarik telinga Gus Hamzah.
"Kau, yang sudah memilih nasibmu sendiri, Ingat?" Suara Bu Nyai membuat wajah Gus Hamzah pucat. Entah apa maksudnya.
"Biarkan Aisya memilih keputusannya sendiri, bukan karena pengaruhmu."
Lalu Bu Nyai mendekatiku. Mengelus tanganku.
"Sejujurnya, aku sangat mengharap kaulah yang jadi menantuku, Aisy. Tapi, jika banyak orang terluka dan malu karena obsesiku, maka aku memilih melepasmu. Hiduplah dengan bahagia."
Bu Nyai berkata sangat lembut, membelai jiwaku yang rapuh.
Lalu beliau berbalik sambil menggandeng Gus Hamzah untuk berpamitan.
"Sebentar, Bu." Gus Hamzah meminta waktu. Bu Nyai mengangguk kemudian meninggalkan kami.
"Aku tetap berdoa semoga Allah masih menjodohkan kita berdua." Gus Hamzah berpaling setelah mengucapkan semua itu, membuatku menangis dalam hati. Kenapa semua jadi begini rumit.
Namun, benar kata Bu Nyai. Aku tak boleh bahagia jika mengorbankan orang lain, dalam hal ini, kedua orang tuaku, Mas Hambali dan kedua orang tua angkatnya. Bahkan juga demi keluarga pak De Nawawi dan Ning Jannah.
***
Semuanya sudah berkumpul di rumah hari ini. Beberapa menit lagi akad nikahku akan dilaksanakan. Dengan memakai kebaya brukat warna putih sedikit kuning, aku menunggu di dekat ruangan antara ruang tamu dan ruang tengah rumahku.
Tangisanku sudah kukeluarkan semalam. Saat kukemasi semua barang-barang yang mengingatkanku pada Gus Hamzah. Kecuali kaktus itu. Mereka sudah beranak pinak dan bahagia di halaman rumahku. Beberapa kutaruh dalam pot dan tumbuh dengan cantik.
Saat ingatanku hampir kembali kepada masa lalu, tabuhan rebana anak-anak kampung yang mengaji di masjid menyadarkanku. Calon mempelai ku sudah datang dan disambut dengan lantunan sholawat. Sebentar lagi akad itu akan diucapkan. Dan ... sejak saat itu aku harus melupakan semua tentang Gus Hamzah, tentang masa remaja kami dan pengakuan cinta yang datang terlambat.
Gus, meski kita sudah menyemai cinta kita dalam hati masing-masing, tapi aku tak mungkin menggapainya, karena saat semua yang indah ini datang, aku sudah tak bisa lagi menjadi belahan jiwamu.
Maafkan aku. Doakan kebahagiaanku.
Lalu semua ucapan sah. Membahana di seluruh ruangan. Aku keluar dari tempat pengantin wanita, menyalami tangan suamiku dan mengecup pelan punggung tangannya. Sisa air mataku ternyata masih ada. Kuteteskan semua itu bersama dengan bayanganmu yang menari di pelupuk mataku.
Selamat tinggal Gus Hamzah. Izinkan aku bahagia.
Bersambung ....
Hujankah di luar gaess? 😭 Kenapa hujan di mataku 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu (Gus Hamzah)
General FictionDua sahabat yang kembali dipertemukan setelah empat tahun berpisah mengalami banyak masalah pelik. usaha untuk meluruskan kesalahpahaman di masa lalu ternyata membuat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang tersimpan rapi dalam lubuk hati mereka. sa...