Part 6

3.4K 323 22
                                    

#Ternyata_Kamu
Part 6

_____

_Ning Aisya_

Kami semua berada di ndalem Pak De Nawawi. Ketika Ning Jannah menarik tanganku di pintu samping rumahnya, Gus Hamzah dan Bu Nyai sudah memasuki ruang tamu. Semua keluarga tumpah ruah di sana. Selalu seperti ini, jika keluarga Kyai besar yang bertandang ke rumah Pak De Nawawi maka semua keluarga dari kecil hingga besar akan disuruh berkumpul, tetapi tidak dengan keluargaku.

Perseteruan lama antara Abah dan Pak De membuat suasana tak pernah bisa membaik. Apalagi di dukung oleh sifat berbangga hati Bude Nawawi maka keluargaku tak akan pernah menjadi hebat di matanya.

Karena itu aku sangat malas datang ke sini. Ribuan santri yang dimiliki terkadang membuat sifat merendahkan pada yang lain muncul  di hati Pak De dan Bude Nawawi.

Pernah suatu ketika Pak De berbisik di telingaku saat berjumpa di sebuah halaqah internasional.

"Jangan panggil aku Pak De di sini." Begitu beliau berkata. Sementara aku hanya bisa terisak dalam hati.

"Iya, Kyai," jawabku sambil menahan tangis.

Namun, apa yang terjadi sebaliknya. Dia mengakui ku sebagai keponakannya setelah aku menjadi pemandu halaqah tadi dengan menggunakan bahasa Arab yang lancar. saat semua bertanya siapa aku yang ada di depan panggung dengan malu-malu dia mengakui aku adalah keponakannya.

Sungguh terlalu.

Namun, aku yakin Ning Jannah tidak seperti itu. Pengalamanku dengan Abahnya maka aku tak pernah memanggilnya dengan Mbak. Ning Jannah, selalu itu yang menjadi panggilanku untuknya.

"Eh, Aisya. Gus Hamzah ternyata cakep, ya?"

Ning Jannah menatap dari samping pintu ruang tengah sambil tidak berkedip.

Aku mengiyakan dalam hati.

Dulu, Gus Hamzah ganteng, sekarang diapun lebih cakep dan dewasa.

Sayang, aku tak ada tempat lagi di kehidupannya.

Game over.

****

Kami semua dipersilahkan makan di ruang makan, akhirnya. Perutku sudah kukuruyuk meminta mangsa.

Sebagai rombongan Bu Nyai dan Gus Hamzah, Bude Nawawi sedikit jengah mempersilahkanku makan bersama, tapi demi nama baik di hadapan Bu Nyai dia terpaksa menekan egonya.

Namun, aku sama sekali tidak bahagia.

Tepat saat Bu Nyai, Ibu dari Gus Hamzah mengambilkan aku sepiring menu dari nasi kuah merah, telur mata sapi dan beberapa potong udang plus sambal hijau di atasnya, Gus Hamzah langsung menyerobotnya begitu saja.

"Apa-apaan, kau. Tak lihat apa ada udang di sini."

Mak deg.

Hatiku tak karuan.

Sikap dinginnya, tatapan malasnya kepadaku, sikap dingin dan cueknya Gus Hamzah dari tadi, kenapa mendadak berubah.

Dia, masih mengingat kalau aku alergi udang.

"Ibu, orang alergi udang kok malah dikasih makan udang."

Bu Nyai melongo menatap putranya.

"Dengan sikap takzimnya Aisy kepada Ibu tentu akan dia terima saja. Besok-besok jangan diulangi lagi."

Mulutku terkatup rapat, sementara Bu Nyai senyum-senyum tidak jelas. Apalagi saat Gus Hamzah langsung duduk di dekat jendela dan menyantapnya langsung. Hatiku merana atau harus bahagia.

Aku sembunyikan senyum itu dalam hati, hanya dalam hati. Begitu aku menuju tempat sajian, mata Bude Nawawi tak berkedip memandangku. Dia memberikan peringatan secara tak terlihat.

Sementara itu, aku hanya bisa menundukkan mata dan menyantap sayur tahu dicampur taoge yang pedas berkuah kecap dalam diam.

Hatiku bimbang, tetapi demi semua aku harus berjalan pada rel yang sudah ditentukan.

Karena besok lusa semua akan kembali pada irama kehidupan sebelum munculnya Gus Hamzah kembali dalam hidupku.

[Nduk, besok keluarga Hambali akan datang untuk menentukan tanggal. Enaknya mereka dimasakkan apa?]

Sebuah pesan masuk ke gawaiku dari nomer Ibu.

Kusimpan galau itu dalam diam. Hatiku benar-benar harus beku dari romansa kisah masa lalu.

Harus.

Bersambung ....

Duh, loro gaesss

Ternyata Kamu (Gus Hamzah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang