part 3

7K 455 10
                                    

Setelah puas menangis dengan ditemani Bayu yang sesekali menghapus air mata dan ingusku, aku terkejut mendapatkan tawaran dari pemuda berwajah manis itu. Walaupun kami cukup dekat, namun aku masih enggan merepotkannya. Apa kata orang kampung nanti bila melihatku tinggal di bawah satu atap dengannya yang jelas-jelas bukan muhrim.

"Gimana? Mau nggak? Atau kita muter-muter terus kek orang gak jelas?" tanya Bayu tanpa risih membereskan tissue yang bertebaran di sekitarku.

Aku masih bingung mau jawab apa, sampai tiba-tiba datang seorang lelaki tua menyapa di balik kemudi becaknya.

"Mas, itu Mbaknya diapain kok nangis?" 

"Nggak apa-apa, Mbah. Ini kakak saya kecopetan tadi, mau saya kejar copetnya sudah kelewatan. Jadi dia nangis," jelas Bayu dengan nada santai. Jelas-jelas dia berbohong tapi dia bisa memasang tampang sedatar itu. Meski kutahu dalam hati pasti ia tertawa terpingkal-pingkal.

"Makanya, Mbak. Kalau punya barang itu dijaga baik-baik. Jangan sampai lengah, dicuri orang kan akhirnya. Setelah hilang baru nangis kejer. Lain kali mbok ya hati-hati," nasehat pria tua itu, seolah sedang menyindirku. Setelah mengatakan itu dia pun berlalu. Melanjutkan mengayuh becak.

Mungkin dia benar, sejak awal harusnya aku tak pernah mengizinkan Mas Kresna menikahi Marini. Perempuan gila harta itu pasti akan memisahkan kami. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Andai waktu bisa diputar kembali, seharusnya aku bisa mempertahankan biduk rumah tanggaku dan menendang jauh pelakor itu. Namun, apa dayaku semua telah terjadi.

"Udah, Mbak. Ayo kita pergi," ujar Bayu seraya menjinjing tas pakaianku di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia ulurkan ke arahku.

Perlahan aku meraihnya, namun tubuhku yang lemas setelah kelelahan berjalan dan menangis membuatku tak kuasa untuk berdiri dengan benar. Tubuhku pun limbung dan hampir terhempas di jalanan, namun dengan sigap Bayu menangkap dan memelukku erat.

Astaghfirullah, apa yang kulakukan?

Aku ingin melepaskan diri dari pelukannya, namun terlalu lemah untuk berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa aba-aba Bayu segera menggendongku ala bridal style, dengan tas pakaian yang masih menggantung di lengan kirinya. Entah tubuhku yang terlampau ringan atau memang tenaganya yang terlalu kuat, ia berjalan dengan tenang menuju sebuah mobil 'Agya' merah yang terparkir tak jauh dari kami.

"Ini mobil siapa, Bay?" tanyaku setelah aku berhasil duduk dengan nyaman di samping kursi kemudi. Ralat, maksudku didudukkan di sana oleh Bayu.

"Mobil saya lah, Mbak. Hasil menabung selama ikut Mbak."

"Kok beli yang kecil begini? Adikmu kan banyak, Bay. Mana muat kalau cuma ada empat seat begini?" protesku.

"Memang sengaja, Mbak. Kalau muat pasti mereka sering minta jalan-jalan nanti, dan lalai dengan sekolah mereka. Nanti kalau sampai rumah, jangan bilang kalau ini mobil saya ya, Mbak. Bilang aja ini mobilnya Mbak Dian."

Loh, kok?

"Memangnya kenapa?"

"Saya takut aja dikira melarikan istri orang, hehe ... becanda.

Saya hanya ingin, kehormatan Mbak terjaga. Wong ndeso itu suka kepo Mbak. Apa-apa digosipin. Orang kentut aja satu kampung bisa tahu, karena mereka terbiasa ngumpul di warung-warung kopi dan toko kelontong. Nanti, kalau sampai sana bilang aja Mbak mau buka cabang di sana. Jangan pernah bilang kalau Mbak sudah resmi jadi janda. Bisa panjang urusannya."

"Baiklah," jawabku. Kuyakin dia lebih tahu yang terbaik untukku. Sejak dulu dia memang begitu. Memperlakukanku seperti tidak ada hal lain yang lebih penting baginya.

JAMBU ALASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang