Bag 10

7.8K 461 17
                                    

"Udah becandanya?" ucapku seraya menatap sebal wajah yang akhir-akhir ini mulai rajin menghiasi mimpi.

Pernyataannya perlu dicurigai. Bertahun-tahun mengenalnya mengajarkanku untuk tidak terlalu serius menanggapi omongan ngawur bocah sableng satu ini. Meski dalam hati ku akui, senyumnya mulai membuat jantungku kebat-kebit akhir-akhir ini. Hadeh. Beginikah rasanya jadi jomblo sekali lagi? Diperhatiin sedikit, rasanya selangit.

"Siapa bilang saya becanda?"

"Aku gak percaya!"

"Oke. Saya tantangin ya, kalau gitu."

"Apaan?"

"Kita makan nasi goreng ini sampai habis, sambil saling menatap. Kalau saya kalah, dan berkedip duluan. Mbak boleh beranggapan kalau saya becanda. Kalau saya menang, Mbak harus terima perasaan saya."

"Kamu nembak aku?"

"Iya." Aku memutar bola mata malas.

"Sejak kapan?" Mataku mencari setitik keraguan di dalam manik hitamnya, tapi sama sekali tak kutemukan. Akhirnya aku harus bertahan dengan jantung yang serasa ingin meloncat keluar. Menyakitkan.

"Sejak saya menemukan Mbak menangis sendirian di pinggir jalan. Saya berjanji bahwa saya lah yang akan membuat Mbak tersenyum kembali," ucapnya seraya mengunci retinaku dalam-dalam.

"Itu bukan cinta, Bay. Kamu cuma kasihan sama aku."

"Kalau begitu kenapa saya tak rela melihat Mbak dekat-dekat dengan Mas Kresna? Kenapa rasanya saya ingin menculik Mbak, dan bawa pergi secepatnya dari sana. Saya pria normal, Mbak. Dan saya sudah cukup dewasa untuk mengerti apa itu cinta."

"Tapi ...."

"Terima saja tantangan saya. Kalau saya kalah, saya berjanji tidak akan mengganggu Mbak lagi."

"Kalau aku kalah?"

"Ya, Mbak harus mau nikah sama saya."

"Kamu pikir nikah itu main-main?"

"Mbak pikir perasaan saya main-main?"

"Oke! Saya terima!"

Tidak ada gunanya berdebat dengan lelaki satu ini. Cukup sudah! Aku tidak mau dipermainkan. Lagipula apa salahnya menerima tantangan ajaib itu. Mungkin ini akan menjadi momen bersejarah sepanjang sisa hidupku.

Mempertaruhkan masa depanku di tangan bocah tengil dan gila itu. Sungguh aku merasa depresiku sudah sangat parah, mungkin telah ada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Aku pasti sudah gila karena menerima tantangan Bayu. Akan tetapi sudut hati ini rasanya tak pernah rela jika kesempatan ini berlalu begitu saja. Aku si pecinta tantangan, tidak akan pernah melewatkan satu kesempatan untuk menang. Tidak akan pernah.

Sudut bibir lelaki itu terangkat sebelah. Seperti seekor serigala yang berhasil menangkap buruannya. Belum apa-apa aku sudah merasa bahwa dia akan mengalahkanku dengan mudah, tapi dia salah kalau mengira aku akan cepat menyerah. Pantang bagiku lari sebelum mulai berperang.

Aroma nasi goreng ini tak lagi sekedar memancing perutku yang kelaparan, tapi juga jiwa bersaingku. Apa susahnya makan sambil mantengin si Bayu? Ini mah keciiill.

"Oke, peraturannya, kalau Mbak berkedip. Mbak terima perasaan saya. Kalau nasi gorengnya nggak habis, Mbak harus nikah sama saya." Bocah itu kembali menyeringai dengan begitu mengerikan. Membuatku sedikit minder, tapi tidak semudah itu menakklukkan seorang Dian Kamaratih, Fernando!

Apa pun yang terjadi, aku nggak boleh kalah!

"Oke. Kalau kamu ngedip duluan?"

"Gak akan."

JAMBU ALASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang