Bagian 6

6.7K 433 7
                                    

Sebuah rumah, semewah dan seindah apapun tidak akan sempurna tanpa adanya cinta di dalamnya. Mungkin mudah bagiku untuk membeli sebuah tempat tinggal, tapi tak mungkin aku bisa membeli sebuah hati untuk kucintai.

Aku berjalan di sepanjang perumahan kelas menengah atas itu. Melihat-lihat desain interior dan eksterior yang ada. Sesekali kudengar suara canda tawa dari dalam rumah yang telah berpenghuni. Membuatku merasa bahwa kini aku benar-benar sendiri. Meski ada Bayu yang menemaniku saat ini.

"Mbak suka yang mana? Biar nanti saya bilang Customer servicenya. Saya kenal. Kebetulan dia adalah teman sekolah saya dulunya."

"Aku suka rumah yang dekat dengan paud itu, Bay. Pasti menyenangkan bisa mendengar suara anak-anak bernyanyi tiap hari. Apa ada yang kosong?" ujarku seraya menunjuk ke arah bangunan berlantai dua bercat hijau di seberang sana.

"Bentar, ya. Aku tanya dulu."

Ia kemudian menghubungi seseorang melalui gawainya. Berbicara sebentar tentang harga, kemudian ia menutup teleponnya seraya tersenyum lebar.

"Alhamdulillah, Mbak. Rejeki janda solehah. Rumah ini mengalami kredit macet, dan sedang digadaikan dengan diskon harga yang menarik. Belum sempat dihuni, karena pemiliknya sedang mengalami kesulitan finansial."

"Ya sudah, buruan beli!" Alhamdulillah.

"Baik, Nyonya." Kembali ia tersenyum dan menatapku lama. Dih, bengong lagi dia.

"Kalau iya, ya cepetan. Kenapa kamu malah bengong? Laper?" tanyaku yang langsung disambut gelak tawa olehnya. Dasar cah gendeng. Kenapa aku baru sadar kalau punya asisten sableng macam begini. Hadeehh. 

Aku pun berlalu meninggalkannya yang masih tertawa tanpa sebab yang jelas. Ya Allah, cepat sadarkanlah Bayu ya Allah. Buat dia sekalem dan serajin dulu. Amiiin.

Terdengar suara langkah kaki mengejarku, iseng aku pun berlari menjauh. Membuat pemuda di belakang punggungku tertawa semakin keras.

"Tungguin, Mbak. Mbak!" Kembali ia tertawa.

Oke. Sepertinya dia harus diperiksakan ke rumah sakit jiwa. Namun, anehnya aku pun ikut tertawa mendengarnya. Sudah lama aku tak sesenang ini karena berhasil mengerjai seseorang. Padahal dulu di sekolah, aku dikenal murid paling bandel dan jahil di antara yang lain. Semenjak bertemu dengan Kresna aku seolah menjadi orang lain. Jauh berbeda dengan diriku yang dulu. Cinta kadang memang seajaib itu.

****
Usai menandatangani berkas-berkas jual beli dan meminta Bayu untuk mengurus sisanya, aku mengajaknya makan siang di kedai ayam geprek setempat. Di sekitar perumahan ini banyak rumah makan yang menyediakan menu  viral itu. Kebetulan aku belum pernah mencobanya. Aku bukan orang yang suka latah mengikuti tren yang sedang digemari banyak orang. Sebab aku lebih suka menikmati hidupku sendiri tanpa perlu mengekor pada orang lain.

"Mbak, mau minum apa? Aku es teh manis aja satu," tanya Bayu begitu kami telah duduk di kedai yang cukup ramai siang ini.

"Aku teh anget aja."

Tak lama kemudian pesanan kami datang, lalu terdengarlah suara denting sendok dan garpu yang beradu. Kami makan dalam diam, kelaparan setelah habis kejar-kejaran kayak artis dalam film India yang sedang nyanyi-nyanyi lipsing.

Usai makan kami memutuskan untuk langsung pulang, lelah bukan main rasanya. Sepertinya minggu ini aku mengalami pra menstruasi. Sesuai pengalaman yang sudah-sudah, aku mengalami gejala anemia setiap kali akan kedatangan tamu bulanan.

Perut kenyang dan hawa dingin AC mobil membuatku mengantuk. Tanpa sadar aku terlelap.

*****
Aku terbangun di dalam kamar dengan kipas angin yang masih menyala di sampingku. Meski begitu keringat tetap membasahi sekujur tubuhku. Aku merasakan ngilu pada tulang-tulang sendiku, seperti orang yang habis melakukan pekerjaan berat.

JAMBU ALASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang